Senin, 26 Desember 2011

LPS Turunkan Tingkat Bunga Penjaminan 25 Basis Poin

Apabila tingkat bunga simpanan yang diperjanjikan antara bank dengan nasabah penyimpang melebihi tingkat bunga wajar, maka simpnan nasabah dimaksud menjadi tidak dijamin. Rully Ferdian
Jakarta–Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memutuskan untuk menurunkan tingkat bunga penjaminan simpanan rupiah di bank umum dan BPR (bank perkreditan rakyat) serta tingkat bunga penjaminan valuta asing di bank umum masing-masing sebesar 25 basis poin, sehingga tingkat bunga penjaminan simpanan yang berlaku periode 15 Desember 2011 sampai 14 Januari 2012: bank umum 6,50% (rupiah) dan 1,50% (valuta asing), serta BPR 9,50% (rupiah).
Kepala LPS Firdaus Djaelani, dalam keterangan pes-nya, di Jakarta, Selasa, 13 Desember 2011, mengatakan, perubahan tingkat bunga penjaminan dilakukan atas dasar beberapa pertimbangan di antaranya realisasi inflasi yang rendah sebeasr 4,15% (yoy: year on year) pada November 2011, perkembangan likuiditas perekonomian yang secara umum membaik serta kinerja dan stabilitas perekonomian domestik.
Sesuai ketenuan LPS, apabila tingkat bunga simpanan yang diperjanjikan antara bank dengan nasabah penyimpang melebihi tingkat bunga wajar, maka simpnan nasabah dimaksud menjadi tidak dijamin.
Berkenan dengan hal tersebut, bank diwajibkan unutk memberitahukan kepada nasabah penyimpang mengenai tingkat bunga wajar yang berlaku dengan menempatkan informasi mengenai tingkat bunga wajar pada tempat yang mudah diketahui oleh nasabah penyimpan. (*)

Sumber : Infobank

Efisiensi, Ketahanan dan Intermediasi Perbankan Jadi Fokus Kebijakan BI 2012

Dalam menciptakan industri perbankan yang prudent, memerhatikan kebutuhan nasabah dan tetap tidak lupa menjalankan fungsi intermediasi, Bank Indonesia akan menyasar fokus kebijakan pada efisiensi, ketahanan dan intermediasi. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) memfokuskan arah kebijakan industri perbankan pada tiga hal pada 2012, yakni efisiensi, ketahanan dan peningkatan peran intermediasi.
“Jadi, kita arahkan untuk menjaga keseimbangan antara peningkatan efisiensi, penguatan ketahanan perbankan dan mendorong intermediasi bank termasuk memperluas akses masyarakat ke layanan jasa perbankan berbiaya rendah,” tukas Kepala Biro Hubungan Masyarakat BI Difi A. Johansyah, kepada wartawan, Jakarta, Kamis 15 Desember 2011.
Untuk efisiensi perbankan sendiri diperlukan kepastian mekanisme pasar berjalan dengan baik sehingga sasaran kebijakan dapat tercapai. Untuk itu, bank sentral melakukan fungsi regulatornya dengan melakukan enforcement (pemaksaan).
“Kita wajibkan dalam rencana bisnis bank (RBB) mencantumkan targer-target peningkatan efisiensi dan penurunan suku bunga kredit pada level yang wajar,” tutur Difi.
Bank sentral sendiri, lanjutnya, terus melakukan kajian dalam praktek pemberian tingkat bunga dana pihak ketiga (DPK) di atas tingkat bunga LPS (Lembaga Penjamin simpanan). Juga bisa dilakukan dengan pembatasan pemberian hadiah bagi nasabah.
Sementara untuk ketahanan perbankan, Difi memaparkan beberapa kebijakan yang akan diambil, antara lain:
- penguatan permodalan agar bank siap mengantisipasi perubahan siklus bisnis ke depan untuk mengantisipasi risiko.
- melanjutkan kebijakan perlindungan nasabah.
- menyempurnakan ketentuan transparansi laporan keuangan.
- mengkaji kebijakan kepemilikan di perbankan dan multi-license sejalan dengan semakin kompleksnya kegiatan usaha bank.
Sedangkan untuk mendorong intermediasi perbankan, bank sentral akan melakukan beberapa hal, antara lain:
- peningkatan kualitas program TabunganKu.
- pengembangan edukasi keuangan.
- pelaksanaan financial indentity number dan pelaksanaan survei literacy.
- memfasilitasi pembiayaan di berbagai sektor potensial bekerjasama dengan berbagai instansi pemerintah.
- mengkaji berbagai hambatan pembiayaan sektor-sektor yang tingkat pertumbuhan kreditnya rendah. (*)

Sumber : Infobank

Senin, 12 Desember 2011

60% UMKM Dikelola Pengusaha Wanita

Terdapat tiga tantangan besar yang dihadapi perempuan Indonesia ketika memasuki dunia usaha, yaitu rendahnya pendidikan dan kurangnya kesempatan pelatihan bagi perempuan, keterbatasan dalam budaya dan kurangnya akses ke layanan pinjaman. Rully Ferdian
Jakarta–Pengusaha mikro, kecil dan menengah merupakan fondasi bagi perkembangan ekonomi di Indonesia. Pengusaha mikro, kecil dan menengah menjadi motor inovasi dan perkembangan nasional karena dapat membuka lapangan pekerjaan, menyediakan barang dan jasa nasional serta berkontribusi dalam PDB dan memberantas kemiskinan.
Demikian disampaikan dalam talk show “Tantangan dan Peluang Wirausaha Wanita Menuju Kesuksesan”, di Jakarta, Selaa, 6 Desember 2011, yang digelar Sahabat Wanita, inisiatif dari Putera Sampoerna Foundation dalam menjalankan kegiatan pencerahan masyarakat melalui pemberdayaan wanita
Perempuan pengusaha mempunyai peranan yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, dari total kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia, 60% dikelola oleh kaum pengusaha wanita. Berdasarkan data di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan pengusaha mempunyai peranan yang sangat penting dalam ekonomi nasional.
“Partisipasi perempuan dalam pertumbuhan ekonomi sangatlah penting, tidak hanya untuk menurunkan tingkat kemiskinan di kalangan perempuan, tetapi juga sebagai langkah penting menuju peningkatan pendapatan rumah tangga dan mendorong pembangunan ekonomi negara secara keseluruhan,” ungkap Managing Director Putera Sampoerna Foundation, Nenny Soemawinata, sekaligus Ketua Pengurus Koperasi Sahabat Wanita.
Namun, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh perempuan pengusaha untuk maju. Pada dasarnya, terdapat tiga tantangan besar yang dihadapi oleh perempuan di Indonesia ketika memasuki dunia usaha, yaitu rendahnya pendidikan dan kurangnya kesempatan pelatihan bagi perempuan, keterbatasan dalam budaya dan kurangnya akses ke layanan pinjaman.
“Tantangan ini dapat diatasi oleh pengembangan kesempatan pendidikan dan pelatihan kepada perempuan pengusaha dan juga membuka akses kredit untuk mereka. Dengan demikian, mendorong pertumbuhan perempuan pengusaha UMKM dan membantu mengurangi angka kemiskinan di Indonesia,” ujarnya.
Berdasarkan data BPS 2009, terdapat 3,9 juta perempuan angkatan kerja yang termasuk ke dalam pengangguran dan 30 juta perempuan yang hanya bekerja mengurus rumah tangga dan tidak mandiri secara ekonomi. Jika pun mereka bekerja, 72% dari perempuan Indonesia bekerja di sektor pertanian, 28% bekerja di sektor non-pertanian dan 19,63% bekerja di sektor informal. Data juga menunjukkan bahwa penghasilan pekerja perempuan 50% lebih rendah dibandingkan pekerja laki-laki.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa perempuan akan memiliki kesempatan yang kecil untuk melakukan pemutusan proses pewarisan kemiskinan karena tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan dengan upah yang lebih baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya.
“Peningkatan pemberdayaan perempuan diperlukan untuk memperjuangkan kesetaraan gender melalui pelatihan dan pemberdayaan ekonomi, demi menciptakan kemandirian di kalangan kaum perempuan. Sebagai mitra strategis Putera Sampoerna Foundation, Sahabat Wanita merupakan kegiatan pencerahan masyarakat melalui pemberdayaan perempuan, dimana perempuan merupakan elemen penting dalam penciptaan calon-calon pemimpin masa depan,” jelas Nenny.
“Selain tantangan dalam bentuk pengembangan SDM perempuan, budaya dan pembiayaan usaha, masih ada satu lagi tantangan bagi perempuan dalam membangun dan mengembangkan usaha mereka. Tantangan tersebut adalah jaringan pemasaran,” tambah President Director PT Jaty Arthamas, Santi Mia Sipan, yang menjadi salah satu narasumber dalam talk show.
Dalam sisi membangun jaringan pemasaran bagi pengusaha perempuan, Sahabat Wanita juga membantu anggotanya melalui program “Jaringan Ritel Sahabat”, yaitu membantu anggotanya untuk mempunyai warung kelontong ataupun usaha lainnya dan membangun bisnis mereka. (*)

Sumber : Infobank

2012, Pemerintah Tidak Naikkan BBM, Tapi Naikkan TDL 10%

Masuk 2012, pemerintah akan mengurangi kuota BBM bersubsidi, sementara untuk kenaikkan harga hanya akan dilakukan untuk tarif dasar listrik. Paulus Yoga
Jakarta–Pemerintah akan menurunkan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi pada 2012, menjadi 37,5 juta kiloliter dari kuota 2011 sebesar 40,4 juta kiloliter. Namun, terdapat alokasi cadangan BBM subsidi sebesar 2,5 juta kiloliter.
“Pemerintah di tahun depan tentu harus mengejar penggunaan BBM subsidi 40 juta kilo liter, kurang 2,5 juta kilo liter, jadi di tahun 2012 pemerintah sesuai dengan APBN tidak merencakan meningkatkan harga BBM,” tutur Menteri Keuangan Agus Martowardojo, kepada wartawan di Jakarta, Senin 12 Desember 2011.
Ia menambahkan, pada 2012 pemerintah tidak akan menaikkan harga minyak, melainkan akan fokus menaikkan tarif dasar listrik sebesar 10%.
“Tarif listrik akan kita naikkan, tapi itu juga masih tergantung pemerintah dengan komisi VII yang akan kita naikkan rata rata 10%,” katanya.
Untuk mencapai target pengunaan BBM subsidi tersebut, sebelumnya pemerintah berencana menerapkan pembatasan BBM bersubsidi untuk kendaraan roda empat di Jawa dan Bali mulai April 2012. Hal ini dimaksudkan, untuk menghemat penggunaan BBM subsidi pada 2012.
“Asumsi kita, penggunaan BBM bersubsidi dalam 2012 hanya 37,8 juta kiloliter. Terdiri dari 22 juta kilo liter premium dan 15,6 juta kilo liter untuk minyak tanah dan solar,” ucap Agus belum lama ini. (*)

Sumber : Infobank

Perekonomian Tumbuh 6,5%, BI Yakin Kredit Bisa Naik 27%

Kendati tetap optimis pertumbuhan kredit perbankan bisa mencapai 27% pada tahun 2012, Bank Indonesia tetap memerhatikan kualitas kredit yang penyalurannya akan lebih diarahkan ke sektor produktif melalui berbagai kebijakan yang sudah disiapkan. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) tetap optimis pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5% bisa terulang oada 2012. Untuk itu, bank sentral memperkirakan pertumbuhan kucuran kredit perbankan masih bisa menyamai kinerja 2011 mencapai 27%.
“Pertumbuhan kredit 27% pada 2011, harapan kita memang begitu. Pertumbuhan paling tinggi di kredit investasi, sedangkan kredit modal kerja dan kredit konsumsi hampir sama,” tukas Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono, saat ditemui wartawan di Jakarta, Senin 12 Desember 2011.
Menurutnya, dengan catatan pertumbuhan per jenis kredit tersebut, bank sentral melihat kualitas dari pertumbuhan kredit perbankan cukup bagus pada 2011.
“Totalnya juga mungkin 27% kita harapkan pada tahun 2012. Karena pertumbuhan ekonomi kan juga sekitar 6,5%. Tahun ini 6,5%, tahun depan 6,5%. Jadi tahun depan kalau kita ambil best line scenarionya 6,5%, pertumbuhan kredit 27% masih cukup,” terangnya.
BI sendiri akan mengarahkan pertumbuhan kredit ke sektor produktif. Bank sentral akan menyiapkan kebijakan-kebijakan yang nantinya lebih mengarahkan peningkatan pertumbuhan kredit ke sektor produktif dari proyeksi pertumbuhan sebesar 27% tersebut.
“Yang kita inginkan kualitas kredit mengalir lagi ke investasi dan modal kerja. Kita ada kebijakan-kebijakan yang kita sebut makroprudensial. Itu bisa kita lakukan, tapi sekaran belum kita lakukan. Namun, kalau diperlukan kita akan bisa terapkan. Nanti kita tunggu tanggal mainnya,” pungkas Hartadi. (*)

Sumber : Infobank

Jumat, 09 Desember 2011

Tahan Krisis, Perbankan Harus Tingkatkan Kredit ke Sektor Riil dan UMKM

Dalam menjaga pertumbuhan ekonomi tetap bertumbuh sesuai target dan menahan krisis, industri perbankan yang dianggap tidak terlalu terpapar dampak krisis Eropa perlu meningkatkan kucuran kredit ke sektor riil dan UMKM. Paulus Yoga
Nusa Dua, Bali–Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Adrianus Mooy melihat, industri perbankan perlu meningkatkan pembiayaan ke sektor riil, terkait dengan berkepanjangannya krisis di Eropa yang menyebabkan perekonomian global bergejolak.
“Tantangan bagi kita itu bagaimana sektor keuangan, dari perbankan dan anggaran yang relatif lebih kuat, jangan hanya kuat tapi bagaimana dukungan ke sektor riil agar bisa tumbuh tinggi,” tuturnya kepada wartawan disela seminar internasional “The Intesifying Global Economic Turmoil: How Should Emerging Economies Respond?”, di Nusa Dua, Bali, Jumat 9 Desember 2011.
Secara umum, ia menilai ketahanan industri perbankan terhadap krisis saat ini jauh lebih baik ketimbang krisis Asia pada 1997-1998 dan krisis keuangan 2008 lalu. Menurutnya, saat ini perbankan sudah banyak belajar dari pengalaman dua krisis sebelumnya.
“Eksposur bank kita ke Eropa, kan tidak banyak. Jadi tidak akan terkena dampak langsung, dampak tidak langsungnya lebih ke likuiditas (valas) yang lebih ketat,” ucapnya.
Menurutnya, hal tersebut wajar, karena investor jangka pendek mulai mencari aman dengan menggeser dananya sehingga tidak terpaku hanya pada return yang bisa diperoleh.
“Dalam krisis itu kan mereka cari aman, tidak lihat return. Jadi amankan diri dulu,” cakapnya.
Namun, secara keseluruhan dampak krisis terhadap perekonomian masih bisa ditahan oleh peran serta usaha mikro, kecil dan memengah (UMKM), yang terbukti dari pengalaman dua krisis sebelumnya mampu bertahan.
“Dalam keadaan krisis, sektor UMKM jadi tulang punggung. Dengan NPL (kredit bermasalah) rendah. Kadi perbankan masih ada ruang untuk lakukan sesuatu supaya mereka jadi tim pertahanan ekonomi,” pungkas Adrianus.
Ia menambahkan, rasio kredit terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih kecil, sehingga ruang perbankan untuk meningkatkan kucuran kredit khususnya ke sektor riil dan UMKM bisa lebih besar. (*)

Sumber : Infobank

BI Rate Tetap 6,00%

No. 13/43/PSHM/Humas

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada hari ini memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,0%. Keputusan tersebut didasarkan pada evaluasi menyeluruh terhadap kinerja perekonomian terkini, beberapa faktor risiko yang masih dihadapi, dan prospek ekonomi ke depan. Dewan Gubernur memandang level BI Rate saat ini masih konsisten dengan pencapaian sasaran inflasi ke depan, dan tetap kondusif untuk menjaga stabilitas keuangan serta mengurangi dampak memburuknya prospek ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Evaluasi terhadap kinerja dan prospek perekonomian secara umum menunjukkan bahwa perekonomian domestik masih tetap kuat dengan stabilitas yang tetap terjaga. Ke depan, Dewan Gubernur akan terus mencermati risiko memburuknya ekonomi global dan akan terus menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta memberikan stimulus untuk perekonomian domestik. Dewan Gubernur menegaskan bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang bersifat counter-cyclical sangat diperlukan dalam pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan serta untuk membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 4,5%±1% pada tahun 2012 dan 2013.

Dewan Gubernur mencatat bahwa perekonomian dunia tahun 2011 mengalami perlambatan, terutama disebabkan oleh ketidakpastian pemulihan ekonomi dan keuangan di Eropa dan AS. Eskalasi krisis di Eropa, terutama pada semester II-2011, memicu tingginya volatilitas di pasar keuangan global. Dengan melemahnya permintaan global, volume perdagangan dunia dan harga komoditas global mulai menurun. Di sisi harga, tekanan inflasi di negara maju meningkat, sementara tekanan inflasi di emerging markets relatif moderat meski masih berada di level yang tinggi. Sejalan dengan perkembangan tersebut, negara emerging markets di akhir 2011 cenderung melakukan kebijakan moneter netral atau sedikit akomodatif, sementara negara maju cenderung mempertahankan kebijakan moneter akomodatif melalui langkah pelonggaran likuiditas.

Di sisi domestik, Dewan Gubernur berpandangan bahwa kinerja perekonomian Indonesia di tahun 2011 masih cukup kuat. Pencapaian kinerja ekonomi tersebut didukung oleh stabilitas makro dan sistem keuangan yang tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi di triwulan IV-2011 diperkirakan sebesar 6,5%, sehingga pertumbuhan ekonomi keseluruhan tahun 2011 diperkirakan mencapai 6.5%. Pertumbuhan tersebut terutama didukung oleh permintaan domestik yang masih kuat dan kinerja ekspor yang masih terjaga. Dari sisi produksi, sektor-sektor yang diperkirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri, sektor transportasi dan komunikasi, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.

Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) untuk keseluruhan tahun 2011 masih mencatat surplus yang cukup besar meski terdapat tekanan pada semester II-2011. Tekanan tersebut terutama terjadi pada transaksi modal dan finansial sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan dan ekonomi global. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa sampai dengan akhir November 2011 mencapai USD111,3 miliar, atau setara dengan 6,4 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Sementara itu, nilai tukar Rupiah selama tahun 2011 mengalami apresiasi meski pada semester II-2011 mengalami tekanan depresiasi akibat memburuknya sentimen terkait gejolak di pasar keuangan global. Berbagai langkah kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah dapat membatasi tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Selama tahun 2011, tren pergerakan nilai tukar masih konsisten dengan kecenderungan pergerakan nilai tukar di kawasan. Bank Indonesia terus memonitor perkembangan nilai tukar Rupiah serta menjaga stabilitasnya dan tetap sejalan dengan fundamentalnya.

Di sisi harga, tahun 2011 diwarnai oleh inflasi yang menurun. Inflasi IHK pada November 2011 tercatat sebesar 0,34% (mtm) atau 4,15% (yoy). Penurunan inflasi sepanjang tahun 2011 terjadi karena koreksi inflasi volatile food prices dan minimalnya inflasi administered prices, sementara inflasi inti cenderung moderat. Rendahnya inflasi volatile food prices terutama ditopang oleh pasokan yang terjaga, baik dari produksi domestik maupun impor. Meskipun beras mencatat inflasi yang cukup tinggi, koreksi harga yang cukup besar terjadi pada aneka bumbu, seperti bawang dan cabe merah, serta pada kelompok daging. Sementara itu, cukup terkendalinya inflasi inti didukung oleh harga komoditas global yang terkoreksi cukup tajam, nilai tukar yang cenderung stabil, dan ekspektasi inflasi yang terus membaik. Jika kecenderungan penurunan inflasi ini berlanjut, maka inflasi IHK secara keseluruhan tahun 2011 diperkirakan dapat lebih rendah dari 4,0%.

Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik, meskipun sempat terjadi gejolak di pasar keuangan akibat pengaruh global. Industri perbankan tetap solid, sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, pertumbuhan kredit hingga akhir Oktober 2011 mencapai 25,7% (yoy) dengan kredit investasi sebesar 31,1% (yoy), kredit modal kerja sebesar 24,7% (yoy), dan kredit konsumsi sebesar 23,8% (yoy). Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan kredit untuk tahun 2011 diperkirakan masih sesuai dengan Rencana Bisnis Bank (RBB).

Ke depan, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat terkait dengan masih tingginya ketidakpastian penyelesaian masalah utang dan fiskal di Eropa dan AS. Perlambatan ekonomi global tersebut diperkirakan akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi domestik yang pada tahun 2012 diperkirakan pada kisaran 6,3%-6,7%. Untuk tahun 2013, ekonomi tumbuh meningkat ke kisaran 6,4%-6,8% seiring perkiraan akan membaiknya kembali ekonomi global. Di sisi harga, Dewan Gubernur memperkirakan inflasi di 2012 dan 2013 dapat diarahkan pada kisaran sasarannya, yaitu 4,5%±1%. Dalam hubungan ini, penurunan suku bunga BI Rate yang telah ditempuh BI selama ini diharapkan mampu memberikan stimulus pada perekonomian. Dewan Gubernur tetap mewaspadai beberapa faktor risiko terhadap keseimbangan ekonomi makro indonesia, termasuk dampak dari pemburukan ekonomi global. Sejalan dengan itu, disamping melanjutkan upaya stabilisasi moneter dan sistem keuangan dengan terus memastikan kecukupan likuiditas Rupiah dan valas di pasar, Bank Indonesia akan terus mengoptimalkan momentum penurunan suku bunga untuk mengefektifkan stimulus pada perekonomian. Disamping itu, koordinasi dengan Pemerintah terus diperkuat agar stimulus perekonomian dapat juga ditingkatkan dari sisi fiskal dan sektor riil.

Laporan lengkap mengenai pembahasan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Desember 2011 yang memuat perkembangan makroekonomi, kebijakan moneter, dan prospek 2011-2013 dapat dilihat dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM).

Jakarta, 8 Desember 2011
Direktorat Perencanaan Strategis
dan Hubungan Masyarakat

Difi A. Johansyah
Kepala Biro

Sumber : Bank Indonesia


BI Prediksi Inflasi 2011 Sebesar 3,95%

Kombinasi kebijakan antara Bank Indonesia dan pemerintah dinilai sukses menekan tingkat inflasi tahun 2011, yang diprediksi bank sentral bisa dijaga di level 3,95%. Paulus Yoga

Nusa Dua, Bali–Bank Indonesia (BI) memprediksi tingkat inflasi sampai akhir 2011 bisa dijaga sebesar 3,95%. Khusus untuk bulan Desember sendiri, bank sentral memerkirakan tingkat inflasi sebesar 0,75%.

“Inflasi pada akhir tahun sedikit di bawah 4%. Year to date inflasi 3,2%, Desember kita perkirakan tidak akan lebih dari 0,75%. Nah ini seluruh tahun bisa di bawah 4%, sebesar 3,95%,” tutur Deputi Gubernur BI Hartadi Sarwono, kepada wartawan disela seminar internasional “The Intesifying Global Economic Turmoil: How Should Emerging Economies Respond?,” di Nusa Dua, Bali, Jumat 8 Desember 2011.

Menurutnya, tingkat inflasi tersebut akan turun jauh dibanding akhir tahun 2010 yang nyaris 7%. Hal tersebut bisa dicapai dengan menerapkan kebijakan yang sesuai.

“Ini bisa kita capai karena kita sudah terapkan policy yang sesuai. Nah kita tidak addres kenaikan inflasi akibat volatile foods dengan menaikkan interest rate (suku bunga acuan), kita diskusi dengan pemerintah untuk perbaiki distribusi. Juga dengan adanya penurunan tarif impor makanan,” tukasnya.

Selain itu, lanjutnya, bank sentral sendiri menerapkan kebijakan yang lebih fleksibel dalam mendukung apresiasi nilai tukar sehingga bisa menahan dari sisi inflasi barang impor akibat harga komoditas yang tinggi.

“Nah, kombinasi itu bisa mendorong pertumbuhan ekonomi dengan inflasi rendah. Jadi ini sukses menghilangkan trade off,” cakapnya.

Trade off sendiri merupakan kondisi di mana pertumbuhan ekonomi yang tinggi diikuti dengan tingkat inflasi yang tinggi pula. Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi yang tinggi membuat permintaan semakin tinggi sehingga otomatis menaikkan inflasi.

“Kita gembira masih tetap akan mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kalau kita lihat China juga kan 9% yang biasanya double digit, jadi ada penurunan. Di China juga ada masalah inflasi. Nah di Indonesia itu kebalikannya, pertumbuhan ekonomi tumbuh tinggi, tapi inflasi turun,” tutup Hartadi. (*)

Sumber : Infobank


Kamis, 08 Desember 2011

Bank Indonesia dan Industri Perbankan Kembangkan Keuangan Inklusif

No. 13/ 41 /PSHM/Humas 
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Muliaman D. Hadad, Direktur Utama BRI, Sofyan Basyir, Direktur Utama BTN, Iqbal Latanro, Direktur Bank Mandiri, Budi G. Sadikin, Direktur BTPN, Anika Faisal, Komisaris Utama PT BPR Bank Surya Yudha - Banjarnegara, Satriyo Yudiarto dan Ketua Yayasan DAMANDIRI, Haryono Suyono, menjadi pembicara dalam seminar "Peranan Perbankan dalam Pengembangan Keuangan Inklusif", pada Jumat, 25 November 2011, di Jakarta.
"Seminar mengenai Keuangan Inklusif (Financial Inclusion) ini merupakan suatu diskusi dan knowledge sharing dalam upaya mengembangkan keuangan inklusif di Indonesia. Perbankan sebagai salah satu bagian penting dalam kegiatan keuangan inklusif, memiliki peran strategis dalam upaya memperluas layanan keuangan kepada masyarakat", demikian Muliaman dalam sambutannya.
Keuangan Inklusif merupakan suatu kegiatan menyeluruh yang bertujuan untuk meniadakan segala bentuk hambatan terhadap akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan didukung oleh berbagai infrastruktur yang mendukung. Peranan perbankan yang menguasai sekitar 80% dari industri keuangan di Indonesia sangat diharapkan dalam membangun layanan keuangan masyarakat yang bisa dinikmati oleh lebih banyak masyarakat.
Perlunya memperluas layanan keuangan kepada masyarakat karena berdasarkan survey rumah tangga yang dilakukan Bank Indonesia pada 2010, terdapat fakta bahwa 62% rumah tangga tidak memiliki tabungan sama sekali. Fakta ini sejalan dengan hasil study WorldBank tahun 2010 yang menyatakan bahwa hanya separuh penduduk Indonesia yang memiliki akses ke sistem keuangan formal. Artinya ada lebih dari setengah penduduk yang tidak punya akses ke lembaga keuangan formal sehingga membatasi kemampuan masyarakat tersebut untuk terhubung dengan kegiatan produktif lainnya.
Saat ini keuangan inklusif telah menjadi isu global di antara negara berkembang dan negara maju, serta telah menjadi topik bahasan di berbagai forum internasional seperti forum G20, OECD, APEC, Asean dan lembaga internasional lainnya. KTT G20 di Toronto, Juli 2010, melahirkan 9 (sembilan) "Prinsip untuk Inovasi Keuangan Inklusif". Sembilan prinsip ini sudah dielaborasi oleh Tim Ahli Keuangan Inklusif yang ditunjuk oleh G20 untuk diturunkan menjadi sejumlah rekomendasi bagaimana meningkatkan akses ke layanan keuangan bagi penduduk miskin.
Kesembilan prinsip ini mencakup berbagai aspek yang luas, yaitu kepemimpinan (leadership), keragaman (diversity), inovasi (innovation), perlindungan (protection), pemberdayaan (empowerement), kerjasama (cooperation), pengetahuan (knowledge), proporsionalitas (proportionality) serta kerangka aturan (framework).
"Saat ini telah disusun lima pilar kegiatan keuangan inklusif dan lima produk utama yang akan menjadi obyek dalam kegiatan keuangan inklusif. Lima kegiatan utama adalah edukasi keuangan, pemetaan informasi keuangan, fasilitasi intermediasi, saluran distribusi, dan regulasi yang mendukung", tambah Muliaman. Sedangkan produk keuangan utama yang akan menjadi obyek dalam kebijakan keuangan inklusi adalah Tabungan, Kredit, Sistem Pembayaran, Asuransi yang terkait kredit serta Produk/jasa keuangan lainnya untuk UMKM.
Kegiatan keuangan yang inklusif (financial inclusion) diharapkan akan dapat mendukung stabilisitas keuangan (financial stability) yang menjadi landasan pokok bagi pembangunan ekonomi yang kokoh. Dari sisi ekonomi makro, kegiatan ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan ekonomi yang makin inklusif dan berkelanjutan, serta dapat memberikan manfaat kesejahteraan bagi rakyat banyak. 

Jakarta, 25 November 2011
 

Direktorat Perencanaan Strategis
dan Hubungan Masyarakat
Benny Siswanto
Kepala Biro

Uang Kertas Rupiah Pecahan 20.000, 50.000 dan 100.000 Desain Baru Siap Diedarkan

No. 13/ 35 /PSHM/Humas
 
Dalam rangka meningkatkan perlindungan dari upaya pemalsuan serta mengoptimalkan fungsi elemen desain agar lebih memudahkan masyarakat mengenali keaslian uang Rupiah pada pecahan Rp20.000 Tahun Emisi (TE) 2004, Rp50.000 TE 2005 dan Rp100.000 TE 2004, Bank Indonesia secara resmi akan mengeluarkan dan mengedarkan Uang Kertas (UK) Rupiah Desain Baru ketiga pecahan tersebut mulai Senin, 31 Oktober 2011.

Dengan Pengeluaran dan Pengedaran ketiga uang kertas Desain Baru tersebut, diharapkan masyarakat akan dapat lebih cepat mengenali keaslian uang Rupiah dengan adanya  penambahan unsur pengaman yang dapat dikenali tanpa menggunakan alat bantu. Disamping itu, diharapkan pula dapat meningkatkan perlindungan dari upaya-upaya pemalsuan uang karena kemajuan dalam teknologi cetak.  

Perlu diketahui bahwa penyempurnaan desain ini secara visual bersifat minor dan bukan merupakan uang emisi baru. Perubahan untuk mengoptimalkan fungsi elemen desain atau up-grading pada masing-masing ketiga pecahan uang kertas tersebut meliputi:
1.   Pecahan Rp20.000 Tahun Emisi (TE) 2004 (klik untuk gambar)
a.   Penambahan unsur pengaman rainbow printing di sebelah kanan gambar utama pada bagian depan uang berupa bidang berbentuk segi empat yang memiliki efek berubah warna (efek pelangi) apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
b.   Penambahan desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna hijau dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar di sebelah gambar utama pada bagian depan uang dan belakang uang;
c.    Perubahan kode tuna netra (blind code) berupa dua buah empat persegi panjang yang semula tidak kasat mata (invisible) menjadi kasat mata dan terasa kasar apabila diraba (cetak intaglio), terletak di samping kiri gambar utama pada bagian depan uang;
2.   Pecahan Rp50.000 Tahun Emisi (TE) 2005 (klik untuk gambar)
a.   Penambahan unsur pengaman rainbow printing di sebelah kanan gambar utama pada bagian depan uang berupa bidang berbentuk segi empat yang memiliki efek berubah warna (efek pelangi) apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
b.   Penambahan desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna oranye dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar di sebelah gambar utama pada bagian depan dan belakang uang;
c.    Perubahan kode tuna netra (blind code) berupa dua buah segi tiga yang semula tidak kasat mata (invisible) menjadi kasat mata dan terasa kasar apabila diraba (cetak intaglio), terletak di samping kiri gambar utama pada bagian depan uang.
3.   Pecahan Rp100.000 Tahun Emisi (TE) 2004 (klik untuk gambar)
a.   Penambahan unsur pengaman rainbow printing di atas gambar utama pada bagian depan uang berupa bidang berbentuk segi empat yang memiliki efek berubah warna (efek pelangi) apabila dilihat dari sudut pandang tertentu;
b.   Penambahan desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan ditengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar di sebelah gambar utama pada bagian depan dan belakang uang;
c.    Perubahan kode tuna netra (blind code) berupa dua buah lingkaran yang semula tidak kasat mata (invisible) menjadi kasat mata dan terasa kasar apabila diraba (cetak intaglio), terletak di samping kiri gambar utama pada bagian depan uang.
d.   Penambahan penulisan DEWAN PERWAKILAN DAERAH pada gambar utama di bagian belakang uang yang semula bertuliskan“MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT” menjadi “MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH”.
e.   Menghilangkan unsur pengaman berupa Irisafe yang terletak di samping kanan gambar utama pada bagian depan uang.

Sementara itu, elemen desain utama lainnya seperti warna dominan uang, bahan uang, gambar utama dan ukuran uang adalah tetap atau tidak mengalami perubahan.

Sebagai informasi, uang kertas pecahan Rp20.000 TE 2004, Rp50.000 TE 2005 dan Rp100.000 TE 2004 desain lama masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran oleh Bank Indonesia.

Pengedaran ketiga uang pecahan tersebut ditetapkan melalui penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) sebagai berikut:
                                                                                                                               
Jakarta, 28 Oktober 2011
DIREKTORAT PERENCANAAN STRATEGIS
DAN HUBUNGAN MASYARAKAT

Dyah N.K. Makhijani
Direktur

Sumber : Bank Indonesia

Uang Kertas Desain Baru Mulai Diedarkan

KOMPAS/ PRIYAMBODO Deputi Gubernur Bank Indonesia Ardhayadi menunjukkan uang kertas rupiah pecahan 20.000, 50.000, dan 100.000 desain baru saat peluncurannya di Bank Indonesia Jakarta, Jumat (28/10/2011). 


JAKARTA, KOMPAS.com — Bank Indonesia (BI) memastikan uang kertas rupiah desain baru untuk tiga pecahan, yakni Rp 20.000 tahun emisi (TE) 2004, Rp 50.000 TE 2005, dan Rp 100.000 TE 2004, akan diedarkan ke seluruh Indonesia pada Senin, 31 Oktober 2011.
"Besok sudah bisa diterima masyarakat lewat bank. Kami sudah drop ke bank-bank," kata juru bicara BI, Difi A Johansyah, Minggu (30/10/2011). Sebelumnya, BI memperkenalkan desain baru uang kertas ketiga pecahan di atas pada Jumat.
Perubahan desain baru ketiga pecahan itu dalam rangka meningkatkan perlindungan dari upaya pemalsuan dan mengoptimalkan fungsi elemen desain agar lebih memudahkan masyarakat mengenali keaslian uang Rupiah.
Dengan pengeluaran dan pengedaran ketiga uang kertas desain baru tersebut, diharapkan masyarakat akan dapat lebih cepat mengenali keaslian uang rupiah dengan adanya penambahan unsur pengaman yang dapat dikenali tanpa menggunakan alat bantu. Di samping itu, diharapkan pula dapat meningkatkan perlindungan dari upaya-upaya pemalsuan uang karena kemajuan dalam teknologi cetak.
Kendati uang desain baru itu akan diluncurkan, uang kertas pecahan lama, yakni Rp 20.000 TE 2004, Rp 50.000 TE 2005, dan Rp100.000 TE 2004 desain lama masih tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran oleh Bank Indonesia.

Sumber : Tribunnews.com/Hasanudin Aco

BPR bakal dilibatkan untuk kliring terbatas

JAKARTA: Bank Indonesia mewacanakan penambahan fungsi bank perkreditan rakyat sebagai lalu-lintas pembayaran secara terbatas. 
 
Penyedia fungsi kliring akan dilakukan oleh bank induk dari para bank perkreditan rakyat yang menjadi anggota.
 
Edy Setiadi, Direktur Kredit, BPR dan UMKM Bank Indonesia (BI), mengatakan konsep Bank Induk atau Apex Bank bagi para BPR tidak hanya terbatas pada penghimpunan ekses likuiditas maupun pemberian pinjaman bagi bank mikro yang kekurangan dana jangka pendek.
 
“Konsep Apex Bank ke depan juga bisa melakukan transfer dana antar nasabah dari BPR yang menjadi anggota bank induknya. Jembatan transfer dana atau penyedia kliring tersebut akan dilakukan oleh Apex Bank,” ujarnya hari ini.
 
Menurut dia, konsep kliring terbatas itu telah sukses dilakukan di Jepang. Di Negeri Matahari Terbit itu sejumlah bank besar tidak hanya menjadi pelindung bank kecil, tetapi juga memiliki fungsi kliring secara terbatas dalam lalu lintas pembayaran.
 
Saat ini sejumlah bank umum telah menjadi bank induk dari sejumlah BPR yang berlokasi di daerah tertentu. 
 
Bank umum tersebut diantaranya PT Bank Andara, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur, PT Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat dan PT Bank Pembangunan Daerah Riau.
 
Menurut Edy, bank umum tersebut masih menjalankan fungsi tradisional Apex Bank, yakni menerima likuditas berlebih dan menyalurkan kepada BPR yang membutuhkan dana.
 
Agar dapat menjalankan fungsi kliring, lanjutnya, bank umum tersebut harus memiliki infrastruktur teknologi informasi yang memadai. (arh)
 

BPR Fokus Garap Potensi Nasabah UMKM

Bank Perkreditan Rakyat akan memfokuskan diri kepada pendampingan di bidang akses pemasaran dan peningkatan daya saing pada UMKM binaan.

Fran Suharmaji, Sekjen Perhimpunan Bank Perkreditran Rakyat Milik Pemerintah Daerah Se Indonesia (Perbamida), mengatakan modal usaha bukan lagi hambatan utama bagi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM)  untuk mengembangkan usaha karena kami menyediakan beragam skema kredit.

"Justru akses pasar dan peningkatan daya saing yang sekarang menjadi tantangan mereka," katanya, kemarin.

UMKM rentan dalam hal daya saing produk dan lemah dalam hal pemasaran karena itu peranan BPR sebagai pembina sangat di butuhkan.

"Upaya pembinaan untuk meningkatkan daya saing dan akses pasar di lakukan secara konsisten.Kami memanfaatkan aula kantor untuk pembinaan teknis dengan mengundang pelaku UMKM untuk mengikuti pelatihan, workshop, seminar, kegiatan motivasi agar memiliki keunggulan produk dan daya saingnya tinggi," jelasnya.

Pihaknya membina masyarakat di satu desa yang memproduksi makanan khas daerah yang disebut lanting. Sementara daerah lainnya juga memproduksi makanan yang sama.

"Nah kami mengasah kreativitas dan inovasi dalam  bentuk maupun rasa sehingga akhirnya produk mereka punya ke unggulan. Bagi para pelaku UMKM binaan secara berkesinambungan juga kami bukakan akses pemasaran dengan melibatkan mereka pada pameran-pameran," kata Fran.

Usaha mikro yang dibinanya rata-rata hanya memanfaatkan pijaman modal Rp5 juta-Rp10 juta dengan bunga rendah 6% di bawah KUR. Jenis usahanya beragam mulai dari makanan ringan, suvenir, usaha pertanian, perikanan. (*/Bisnis)

Sumber : http://www.ciputraentrepreneurship.com/berita/ragam-berita/4-financial/13105-bpr-fokus-garap-potensi-nasabah-umkm.html

BI gulirkan ide untuk salurkan kredit ke UMKM

JAKARTA. Mengantisipasi fungsi pengawasan yang bakal hilang, Bank Indonesia (BI) menyiapkan kesibukan baru. Bank sentral berencana menyalurkan pembiayaan ke pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Harapannya, akses masyarakat ke lembaga keuangan makin luas, dan sumber dana murah bertambah.
Sumber dana kredit ini bukan berasal dari kocek BI sendiri, melainkan dari lembaga-lembaga donor yang peduli dengan UMKM. BI juga tidak menyalurkan dana itu secara langsung, tetapi melalui lembaga keuangan.
“Setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbentuk, BI ingin tetap berperan mendukung pembiayaan ke sektor mikro. Salah satu caranya melalui model channeling ini,” kata Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah, Rabu (7/12).
Untuk melancarkan ide tersebut, BI berharap pemerintah mau mengamendemen UU Nomor 23 tahun 1999. Aturan itu menyebutkan penyaluran kredit dialihkan ke institusi milik negara, seperti bank BUMN dan Permodalan Nasional Madani. "Itu perlu di amendemen," tandasnya.
Halim mengatakan BI tidak bisa menyalurkan dana donor ke usaha kecil lantaran UU yang berlaku sekarang. “Aturan itu tidak diperkenankan kalau itu berupa kredit dari BI kepada bank atau pemerintah,” imbuhnya.
Direktur Kredit BPR dan UMKM BI, Edy Setiadi mengatakan, selama ini ada beberapa negara donor yang memberikan pinjaman berbunga sangat murah yakni sekitar 0,01%. Jangka waktunya pun hingga 30 tahun, dengan nilai pinjaman rata-rata sekitar Rp 1 triliun.
Nah, BI sedang melobi Kementerian Keuangan agar dapat menerima pinjaman dari luar negeri dan meneruskan ke pelaku UMKM. "Sampai saat ini belum ada sinyal amendemen UU," kata Edi.
Para bankir menyambut baik ide ini. Ketua Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) Gatot Murdiantoro Suwondo menilai rencana ini sejalan dengan agenda finansial inklusif yang diusung bank sentral dan pemerintah. Dari sisi bankir, ini bakal memudahkan bank mengakses masyarakat sehingga basis nasabah juga bertambah.
Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia Tbk itu berpesan, mekanisme penyaluran dananya harus jelas jika itu diizinkan. Seandainya BI melibatkan bank, prosesnya jangan dibikin rumit.
Ide ini sepintas mirip dengan program Kredit Likuiditas BI (KLBI). Selain tidak berjalan sukses, program itu terhenti setelah pemberlakuan UU Nomor 23 tahun 1999. Nilai pengalihan KLBI ke bank BUMN dan PNM sekitar Rp 23 triliun.

Sumber : Kontan

Perbankan Asia di Tengah Ancaman Krisis Global

Di tengah kinerja perekonomian Asia yang menakjubkan, sektor perbankan di Asia sesungguhnya masih menyimpan berbagai permasalahan. Tata kelola (governance) masih menjadi isu utama. Isu lain adalah meningkatnya kompetisi antarbank. A. Tony Prasetiantono
Kepanikan di sektor finansial disebabkan ambruknya instrumen derivasi berbasiskan kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) di Amerika Serikat (AS) bisa menjadi ancaman serius industri perbankan di seluruh dunia, termasuk Asia. Hingga sekarang, terdapat dua pendapat mengenai dampak kejadian di AS tersebut terhadap perekonomian dunia.
Pendapat pertama mengatakan, insiden ini bisa menjalar ke mana-mana, menyerupai efek domino atau contagion effect, tanpa bisa dibendung. Dunia pernah mengalami hal serupa, tapi kejadiannya sudah sangat lama, yakni ketika kepanikan di sektor finansial (industri perbankan dan pasar modal) pada 1929 merembet ke mana-mana di seluruh dunia. Kejadian tersebut baru bisa reda setelah tujuh tahun, yaitu pada 1936.
Pendapat kedua meyakini, insiden ini bisa dihentikan karena kepanikan kali ini dimulai di New York dan direspons dengan cepat oleh negara yang paling berkepentingan, yaitu AS, didukung sekutu-sekutu ekonominya, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Kanada. Ketika negara-negara terkemuka dunia ini berupaya secara all out memerangi krisis, kita pun boleh berharap, hal ini akan efektif.
Dalam sepuluh tahun terakhir, sejak terjerembab dalam krisis pada 1997-1998, sektor finansial Asia telah melakukan serangkaian restrukturisasi secara signifikan. Hal ini juga didukung kinerja perekonomian Asia yang kini berstatus sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Kontribusi Asia terhadap pembentukan output global kini mencapai 40%, dari sisi perdagangan dunia menyumbang 25%, dan dalam hal penguasaan cadangan devisa mencapai 67%.
Pemilik cadangan devisa terbesar di dunia adalah Republik Rakyat China (RRC), yang kini mencapai US$1.330 miliar. RRC juga menjadi negara yang perekonomiannya tumbuh paling cepat di dunia, yaitu 11,5% (semester pertama 2007), disusul India 9,3% (April-Juni 2007). Angka-angka ini fantastis mengingat kedua negara tersebut memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, masing-masing 1,3 miliar dan 1,1 miliar.
Fakta tersebut mematahkan anggapan bahwa beban jumlah penduduk yang besar akan menjadi kendala besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hipotesis yang menyatakan bahwa perekonomian kedua negara kepanasan (overheating) sejauh ini juga belum terbukti.
Di tengah kinerja perekonomian Asia yang menakjubkan tersebut, sektor perbankan di Asia sesungguhnya masih menyimpan berbagai permasalahan. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, dalam ceramah di Bali (22 Agustus 2007), menyebutkan bahwa tata kelola (governance) masih menjadi isu utama, meski kita sudah belajar banyak dari krisis 1997-1998.
Laporan PriceWaterhouseCoopers, Asia Banking Insights: Tackling the key issues in banking and capital markets in Asia (Maret 2007), juga menyebutkan hal yang lebih kurang sama tentang isu ini.
Disclosures atau keterbukaan dalam laporan keuangan dalam industri perbankan akan menjadi fondasi utama bagi terbentuknya tata kelola yang kuat (strong governance). Bank-bank di Asia diharapkan terus didorong menyampaikan segala informasi yang bersifat material (signifikan) dalam aksi korporasinya (corporate actions), yang akan berdampak tertentu terhadap kinerjanya. Termasuk adalah informasi mengenai pengelolaan manajemen risiko (risk management).
Isu lain yang penting dalam industri perbankan Asia adalah meningkatnya kompetisi antarbank. Hal itu, antara lain, dapat disaksikan dari penentuan suku bunga yang makin volatile. Persaingan melalui suku bunga menjadi hal yang lazim. Di satu sisi bisa mendorong intermediasi dana dari sektor perbankan ke sektor riil; di sisi lain, persaingan suku bunga yang terlalu hebat juga bisa membawa dampak negatif, misalnya menurunnya tingkat kesehatan bank. Akibatnya, sekarang, banyak bank yang menghadapi kendala dalam memenuhi persyaratan permodalan sebagaimana diatur dalam Basel II Accord.
Apa yang dialami negara-negara Asia ini sebenarnya merupakan ulangan dari pengalaman Jepang. Fenomena “gelembung busa sabun” dalam perekonomian (bubble economy) Jepang sudah berhenti sejak satu dasawarsa silam. Perekonomian sudah sulit tumbuh (pertumbuhan nyaris nol alias zero growth). Suku bunga juga mendekati nol persen. Dalam kondisi ini, perbankan Jepang juga mengalami stagnasi. Implikasinya, Jepang harus melakukan berbagai upaya merger dan akuisisi agar terjadi pertumbuhan dalam industri perbankannya.
Dalam kasus industri perbankan RRC, hal yang menarik adalah dominasi perbankan pemerintah yang masih sangat kuat di tengah-tengah gelombang liberalisasi di negara itu yang sudah berjalan cukup jauh. Dominannya perbankan pemerintah dinilai rawan terhadap risiko. Dalam situasi demikian, sulit diharapkan bahwa pengambilan keputusan bisa semata-mata dilandaskan pada kepentingan bisnis. Pengambilan keputusan sulit dipisahkan dari kepentingan-kepentingan nonbisnis (berarti kepentingan politik), yang melibatkan pemerintah (pusat dan daerah) maupun partai politik.
Dengan atau tanpa krisis, upaya (1) mendorong governance, (2) memperkuat struktur permodalan, serta (3) melakukan pertumbuhan nonorganik melalui akuisisi, merger, dan konsolidasi merupakan agenda paling utama dalam industri perbankan di Asia. Yang menarik, meski banyak analisis sering mengkhawatirkan perekonomian RRC—yang disebut-sebut bisa mengalami hard landing karena perekonomiannya “terlalu panas” (overheating)—sejauh ini kekhawatiran itu tetap belum terbukti. Banyak ulasan yang bermuara pada simpulan bahwa perekonomian RRC tumbuh terlalu cepat—kini 11,5% dan harus diturunkan ke level 8% hingga 9%—belum juga menemukan muara pembuktiannya.
Di industri perbankan RRC masih sulit dibayangkan bahwa peran pemerintah akan berkurang melalui privatisasi karena tampaknya, pemerintah RRC masih cukup enjoy dengan situasi sekarang. Kalaupun dugaan para analis benar bahwa perbankan RRC menyimpan bom waktu karena persoalan governance, pemerintah RRC sebenarnya juga pernah berpengalaman. Solusinya adalah melakukan suntikan modal (rekapitalisasi) yang didanai cadangan devisa. Kini, cadangan devisa yang terbesar di dunia (US$1,33 triliun) tentu mengakibatkan Pemerintah RRC lebih percaya diri lagi.
Meski begitu, menjadi tugas seluruh dunia untuk meyakinkan Pemerintah RRC bahwa mereka tidak boleh terlalu percaya diri dan underestimate terhadap peringatan-peringatan yang dilontarkan banyak analis. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, jika mereka terus menggenjotnya di level tinggi seperti sekarang, demand terhadap energi akan terus meningkat drastis. Harga minyak dunia sudah melampaui US$81 per barel. Jika ini berlanjut, seluruh dunia, termasuk RRC, akan terancam inflasi. Risikonya, demand terhadap produk-produk RRC pun bisa menurun. Dalam keadaan ini, bukankah perekonomian seluruh dunia akan terkoreksi?
Sudah saatnya, pemangku otoritas perekonomian dunia mendiskusikannya secara intensif dan terbuka agar dapat menghindari krisis ekonomi yang meluas dan mendalam. Pemangku otoritas ekonomi RRC harus mau duduk dan memilah masalahnya dengan pemangku otoritas negara-negara besar lain. Krisis ekonomi dunia hanya bisa dielakkan bila “dikeroyok” secara kolektif. Negara-negara Asia harus ambil bagian penting, terutama RRC. (*)

Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM).

Sumber : Infobank

2012, Suku Bunga Kredit Perbankan Diarahkan ke Level 10%

Penurunan suku bunga kredit ini didorong oleh terjaganya posisi acuan suku bunga perbankan di level sekitar 6%. Dwitya Putra
Jakarta–Suku bunga kredit perbankan diproyeksikan tahun depan bisa turun menuju ke arah 10%.
Pengmat ekonomi asal Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, A. Tony Prasetiatono mengatakan, hal ini didorong oleh level BI rate yang masih bisa terkendali tahun depan sekitar 6%.
Komisaris Independen PermataBank ini juga memproyeksikan, jika inflasi mencapai 5%-5,5%, maka BI rate kemungkinan hanya sekitar 6,5%.
“Akan diusahakan di arah 10%,” kata Tony, usai Public Expose PermataBank dan paparan proyeksi ekonomi 2012, kantor pusat PermataBank, di Jakarta, Rabu, 7 Desember 2011.
Kondisi ini, tambah Tony, tidak akan mempengaruhi kinerja perbankan, karena secara otomatis perolehan laba menurun seiring dengan penurunan suku bunga kreditnya.
Ia mengungkapkan, untuk mengurangi resiko penurunan laba tersebut, kemungkinan besar industri akan berlomba-lomba meningkatkan porsi dari fee based income.
Hal ini dilakukan bank dengan meningkatkan capex (capital expenditure) untuk perbaikan IT (information technology) lebih baik lagi. “Kalau fee base naik, bunga bisa ditekan,” jelasnya.
Tony menambahkan, PermataBank sendiri otomatis tahun depan harusnya bisa lebih besar lagi menyiapkan capex untuk IT.  “Tahun ini PermataBank telah menyiapkan dana Capex sebesar Rp1,8 triliun untuk IT dan yang lainnya,” pungkas Tony. (*)

Sumber : Infobank

Bunga Kredit Tinggi, BPR Masih Mentok di Biaya Dana dan Overhead

Kendati sudah ada BPR yang menawarkan suku bunga pinjaman 22-26%, namun Perbarindo tidak menampik tingkat suku bunga kredit BPR masih lebih tinggi dibanding bank umum, akibat tingginya biaya dana dan overhead. Paulus Yoga
Jakarta–Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat (Perbarindo) mengakui tingkat suku bunga kredit BPR yang lebih tinggi dibanding bank umum diakibatkan struktur biaya dana (cost of fund) yang juga lebih tinggi.
Cost of fund itu kan dari tabungan, deposito dan linkage, itu rata-rata masih di atas 10%. Jadi memang biaya dana BPR lebih tinggi dibanding bank umum, sehingga harga pokok itu lebih tinggi,” tukas Ketua Perbarindo Joko Suyanto, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Rabu 7 Desember 2011.
Ia menjelaskan, untuk deposito BPR menetapkan bunga 10,25%, tabungan 6%, sedangkan linkage sebesar 12%. Selain itu, lanjutnya, biaya overhead BPR pun jauh lebih besar dibanding bank-bank umum.
Overhead juga lebih besar karena kita kan terapkan model jemput bola, sehingga kita membutuhkan tenaga kerja lebih banyak untuk pendekatan pelayanan secara personal,” terangnya.
Ia menambahkan, saat ini pun sudah ada BPR yang menawarkan suku bunga kredit di level 22-26%. Menurutnya, bank-bank umum yang masuk ke sektor mikro pun menawarkan suku bunga yang tidak jauh berbeda.
Sampai Oktober 2011, kucuran kredit BPR telah mencapai Rp40,25 triliun, naik 20,94% dibanding Oktober 2010 sebesar Rp33,28 triliun. (*)

Sumber : Infobank

Rabu, 07 Desember 2011

Perilaku Curang Pemilik Menjadi Kendala Utama BPR

Kendati secara keseluruhan BPR masih menunjukkan pertumbuhan, baik dari sisi aset, DPK dan kredit, namun perilaku curang pemiliki dinilai Bank Indonesia masih rawan terjadi dan menjadi bahaya laten yang harus diwaspadai dengan meningkatkan kesehatan dalam menjalankan bisnis. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menilai, persoalan utama dari Bank Perkreditan Rakyat (BPR) masih dalam hal perilaku manajemen yang belum sepenuhnya mengenal prinsip good corporate governance atau tata kelola yang baik.
“Satu faktor penting BPR menjadi sakit dan ditutup, pasti berhubungan dengan kelakukan pemiliknya. Itu yang paling banyak. Ini godaan paling sulit di masyarakat kita,” tukas Gubernur BI Darmin Nasution, dalam acara peluncuran Buku Generik Model Apex dan Model Bisnis BPR di Gedung BI, Jakarta, Senin 5 Desember 2011.
Menurutnya, bila pemilik sudah melakukan tindak kecurangan melalui pengadaan kredit-kredit fiktif, hal ini akan menjadi pangkal dari kredit macet yang bisa mendatangkan bencana bagi BPR.
“Kita memahami faktor BPR tidak maju bahkan bangkrut. Jadi Banyak BPR yang sakit kita tutup, karena semakin lama kita akan semakin tegas. Karena lalai, BPR menjadi tidak benar dan malah menipu nasabah. nanti nasabah pada lari,” tandasnya.
Berdasarkan data BI, saat ini terdapat 1.163 BPR dengan 4.122 jaringan kantor. Dalam setahunan sampai Oktober 2011, total aset tumbuh 20,56% mencapai Rp53,53 triliun, dana pihak ketiga tumbuh 21,31% menjadi sebesar Rp36,46 triliun, dan kucuran kredit naik 20,96% menjadi Rp40,25 triliun. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Kerja Sama BPD-BPR Bisa Tingkatkan Efisiensi Bisnis

Kemampuan BPD yang belum bisa sepenuhnya masuk ke sektor mikro dinilai bisa ditingkatkan dengan keberadaan BPR melalui kerja sama Apex Bank, di mana BPR akan menjadi saluran BPD dalam menyalurkan kredit ke daerah-daerah terpencil. Paulus Yoga
Jakarta–Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) menilai kerja sama Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) melalui model Apex Bank dapat meningkatkan efisiensi, karena saat ini BPD masih belum mampu masuk secara khusus ke sektor mikro.
“Itu kita lihat kerja sama dengan BPR lebih membuat efisien, daripada kita harus buat unit-unit mikro untuk menjangkau daerah-daerah terpencil,” ujar Ketua Asbanda Winny Erwindia, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Senin 5 Desember 2011.
Ia mengakui, saat ini BPD masih belum mampu bila harus masuk ke pelosok-pelosok, terkait dengan kapasitas bisnis dan fokus pembiayaannya sendiri. Menurutnya, saat ini kucuran kredit BPD masih lebih banyak ke sektor konsumsi.
“Jadi perlu waktu. Nah untuk akselerasi ini alternatif dengan BPR. Kita atur lewat asosiasi, jadi ada mutual benefit,” tandasnya.
Model Bank Apex BPR sendiri dinilai berkaitan erat dengan kampanye BPD Regional Champion yang dicetuskan Bank Indonesia. Seperti diketahui melalui program tersebut, BPD didorong untuk bisa menjadi agen development di wilayahnya masing-masing.
“Salah satu poin di dalam ketentuan pedoman BPD Regional Champion itu kan jadi agen development untuk mendukung program pemerintah yang pro poor, pro growth, pro job dan pro environment itu bisa dengan kerja sama dengan BPR,” pungkas Winny. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Perbanas Minta BI dan OJK Bersatu di Masa Transisi

Perbanas berharap kehadiran OJK tidak merusakan sistem perbankan nasional. Pada masa transisi ini, BI dan OJK mestinya berada dalam satu perahu untuk menyelesaikan masalah OJK. Angga Bratadhmarma
Jakarta–Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Purnomo menilai, Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) seharusnya berada dalam satu perahu terkait persoalan OJK yang hingga sekarang masih bergulir.
“Masa transisi ini penting. Harusnya BI dan OJK bersama-sama dalam menyelesaikan tantangan terkait OJK ini”, kata Sigit, dalam seminar “The Future of Banking: Pekerjaan Rumah Bagi OJK”, yang digelar Perbanas, di Jakarta, Rabu 7 Desember 2011.
Sigit mengaku, peliknya permasalahan OJK ini dikarenakan kebingungan para pelaku industri dalam menyikapi pembentukan OJK di saat sekarang ini. “Satu sisi kita mengalami pertumbuhan ekonomi yang baik, satu sisi kita dihadapkan ketidakjelasan krisis global yang masih terjadi sekarang ini. Nah, tiba-tiba muncul OJK,” tandasnya.
Ia menambahkan, BI harusnya berada didalam satu perahu dengan OJK dalam menyelesaikan masalah OJK ini. “Jadi, jangan sampai ada kebingungan dalam arah dan tujuan pembentukan OJK ini,” harap Sigit.
“Kita jangan sampai diadu dengan berbagai kepentingan yang tidalk relevan di dunia perbankan ini, terutama politisasi”, tambahnya.
Perbanas, kata Sigit, berharap pembentukan OJK ini tidak merusak stabilitas keuangan yang ada, terutama sektor perbankan. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Perbankan Berharap OJK Beri Arah Strategi yang Jelas

Adanya konsolidasi memungkinkan industri keuangan untuk dapat tumbuh lebih cepat, efisien, dan mampu bersaing dalam konteks global. Disamping itu, harapan perbankan dari OJK adalah dukungan perbankan untuk mendapatkan asas resiprokalitas di negara lain. Angga Bratadharma
JakartaChef Financial Officer PT Bank Mandiri Tbk, Pahala N. Mansury mengatakan, terdapat beberapa harapan yang diinginkan perbankan nasional dari terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Kami memiliki beberapa harapan dari OJK ini. Beberapa di antaranya, yakni ada koordinasi yang lebih erat untuk memberikan arah strategi yang jelas bagi industri keuangan di masa depan,” kata Pahala, kepada wartawan, dalam seminar yang digelar Perbanas, di Jakarta, Rabu 7 Desember 2011.
Pahala juga berharap, OJK dapat memahami apa yang menjadi tantangan perbankan untuk lebih aktif lagi dalam keseimbangan dengan tantangan ke depan. “Kami harap OJK dapat mengerti keinginan perbankan dalam memberikan arah strategis yang jelas”, ujarnya.
Selain itu, tambahnya, dukungan lain yang diharapkan perbankan dari OJK adalah mampu mengoptimalkan potensi konsolidasi sektor industri keuangan. “Itu baik melalui akuisisi atau merger dalam satu sektor maupun lintas sektor”, tandasnya.
Pahala mengatakan, adanya konsolidasi ini memungkinkan industri keuangan untuk dapat tumbuh lebih cepat, efisien, dan mampu bersaing dalam konteks global. Disamping itu, dukungan lainnya perbankan dari OJK adalah dukungan perbankan untuk mendapatkan asas resiprokalitas di negara lain.
“Ini penting, karena perbankan akan mendapatkan dukungan dari OJK setelah pembentukanya”, tandas Pahala.
Sementara itu, implementasi dari jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) sebagai antisipasi krisis keuangan global diharapkan berjalan dengan baik. “Semoga OJK mampu mengimplementasikan apa yang menjadi harapan perbankan,” harapnya. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

BI Rilis Dua Buku Panduan Bagi BPR

  • Dalam mendukung pertumbuhan bisnis dan meningkatkan kesehatan BPR dalam menjalan bisnisnya, Bank Indonesia meluncurkan dua buah buku panduan. Paulus Yoga
    Jakarta–Bank Indonesia (BI) meluncurkan dua buku panduan bisnis dalam mendukung perkembangan industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Kedua buku tersebut adalah Buku Generic Model Apex dan Model Bisnis BPR.
    “Buku-buku tersebut diluncurkan sebagai referensi bagi masyarakat dan perbankan di dalam mendirikan dan juga meningkatkan layanan BPR,” tukas Gubernur BI Darmin Nasutiom, dalam peluncuran kedua buku tersebut di Gedung BI, Jakarta, Senin 5 Desember 2011.
    Buku Generic Model Apex BPR berisi pedoman umum dalam menginisiasi pembentukan dan pelaksanaan operasional Apex BPR. Sedangkan buku Model Bisnis BPR, berisi pedoman bagi pengelolaan bisnis BPR yang sehat dan berkesinambungan.
    Untuk tahap awal, buku Generic Model Apex BPR ditujukan sebagai panduan dalam pembentukan dan pelaksanaan Apex BPR bagi Bank Pembangunan Daerah (BPD) yang bertindak sebagai Apex.
    Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut atas pencanangan program BPD Regional Champion. Selanjutnya, akan dikaji kemungkinan model Apex BPR di mana bank umum selain BPD bertindak sebagai Apex Bank.
    “Kehadiran lembaga Apex merupakan bentuk sinergi yang ideal untuk bersama-sama melayani UMKM, sehingga meminimalisasi terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat antara bank umum dan BPR,” tandas Darmin.
    Sementara buku Model Bisnis BPR diterbitkan setelah melalui pengamatan dan pembelajaran yang mendalam selama lima tahun terakhir terhadap BPR-BPR yang ada di Indonesia. BPR dinilai mampu, melewati berbagai hambatan dalam situasi keuangan dan ekonomi.
    Ketangguhan tersebut dinilai bank sentral didukung oleh lima aspek, yakni aspek pemilik, aspek kinerja keuangan dan permodalan, aspek lokasi dan wilayah operasional, aspek strategis bisnis, manajemen dan kebijakan SDM, pun aspek keeratan hubungan dengan masyarakat di lingkungannya. (*)

    Sumber : Infobank



    Bank Indonesia telah menerbitkan dua buah buku, yaitu Generic Model Apex BPR dan Model Bisnis BPR. Buku dimaksud dapat diperoleh melalui website Bank Indonesia pada menu Publikasi > Publikasi Lainnya, atau klik langsung pada link berikut.

Mau Tahu Harapan Perbankan Terhadap OJK?

Pembentukan OJK sebagai lembaga pengawasam industri keuangan secara menyeluruh diharapkan selain bisa meningkatkan kesehatan industri keuangan, pun dapat mendukung pertumbuhan industri keuangan nasional untuk bersaing di level global. Perbankan sendiri memiliki beberapa harapan terhadap otoritas baru tersebut. Paulus Yoga
Jakarta–Mewakili industri perbankan di Tanah Air, PT Bank Mandiri (persero) Tbk berharap, keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa memberikan dukungan terhadap perbankan nasional.
“Jadi, harus ada koordinasi yang lebih erat untuk memberikan arah strategis yang jelas bagi masa depan industri keuangan,” tukas Direktur Keuangan dan Strategi Bank Mandiri Pahala N. Mansury, dalam seminar The Future of Banking: “Pekerjaan Rumah bagi OJK” di Jakarta, Rabu 7 Desember 2011.
Ia menjelaskan, upaya meningkatkan koordinasi antar kelembagaan perlu terus ditingkatkan, baik dalam kondisi krisis maupun dalam kondisi normal untuk memberikan support policy dalam road map industri jasa keuangan nasional.
Seperti diketahui, dalam kondisi kritis, baik Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua OJK dan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan, harus tanggap dan cepat dalam melakukan koordinasi di bawah Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).
“Selain itu, keberadaan OJK diharapkan bisa mengoptimalkan potensi konsolidasi sektor industri keuangan,” ucap Pahala.
Menurutnya, hal tersebut bisa dicapai melalui proses akuisisi atau merger dalam satu sektor maupun lintas sektor. Melalui konsolidasi ini memungkinkan industri keuangan untuk dapat tumbuh lebih cepat, efisien dan mampu bersaing dalam konteks global.
Konsolidasi tersebut, lanjut Pahala, juga dapat memberikan keuntungan bagi regulator dalam meningkatkan kualitas supervisi dengan konsolidasi pemain di industri, memperkuat struktur industri melalui penguatan permodalan, peningkatan efisiensi industri untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kemampuan industri untuk bersaing dengan pemain regional.
“Bagi perusahaan sendiri bisa memperkuat sumber pendanaan dan permodalan, meningkatkan sinergi untuk melakukan penetrasi dalam segmen pilihan, mengoptimalkan jaringan pelayanan, meningkatkan cross selling product, dan mengakselerasi pertumbuhan perusahaan melalui sharing pengalaman dan pengetahuan,” paparnya.
Ia menegaskan, pun yang paling penting keberadaan OJK diharapkan bisa menjadi jaring pengaman sistem keuangan (JPSK) sebagai antisipasi krisis keuangan global. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

BI Jadikan BPR Terbaik Sebagai Pedoman Bisnis BPR

Peningkatan kinerja yang didukung oleh tata kelola yang baik, membuat BPR-BPR yang dinilai memiliki model bisnis yang baik dijadikan sebagai buku pedoman bisnis seluruh BPR. Paulus Yoga
Jakarta–Dalam perkembangannya sebagai salah satu bagian dari industri perbankan, Bank Indonesia (BI) melihat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang memiliki kinerja sangat baik dan menjadikannya sebagai model bisnis BPR secara keseluruhan.
“Jadi, BPR berkinerja baik bisa dilihat dari aspek pemilik, aspek permodalan, lokasi yang strategis, bisnis manajemen dan kebijakan, serta sumber daya manusia, juga dari keeratan hubungan dengan masyaralat di lingkungannya,” tukas Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, di Gedung BI, Jakarta, Rabu 7 Desember 2011.
Ia melanjutkan, dari sisi kinerja, beberapa indikator terlihat dari suku bunga yang lebih baik dari BPR lainnya, di mana sudah ada yang menawarkan di level 22-26%. Sementara tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) sebesar 90%, tingkat efisiensi sampai 71%, dan NPL (kredit bermasalah) 3-4%.
“Jadi, perlu satu acuan dalam pengelolaan bisnis DPR, sebagai pedoman agar terciptanya bisnis yang sehat dan berkesinambungan, khususnya dalam mendukung usaha mikro dan kecil di pedesaan,” tandasnya.
Bank sentral sendiri telah menjadikan model bisnis BPR tersebut, sebagai buku panduan sehingga BPR-BPR lainnya bisa menyontoh model yang terbaik bagi perkembangan bisnisnya.
“Jadi, kita lihat selama lima tahun bagaimana kinerja mereka. Kami harap buku ini bisa meningkatkan peran BPR,” tutup Halim. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Senin, 14 November 2011

Nih, Alasan Kenapa Suku Bunga Kredit Sulit Turun

Nih, Alasan Kenapa Suku Bunga Kredit Sulit Turun

Tingginya suku bunga kredit di Indonesia dibanding negara-negara ASEAN lainnya terjadi karena beberapa hal. Apa saja alasan perbankan susah menurunkan suku bunga pinjaman? Paulus Yoga

Jakarta–Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menilai, ada beberapa alasan yang menyebabkan tingkat suku bunga pinjaman perbankan di Tanah Air jauh lebih tinggi dibanding negara-negara sekawasan.

“Jadi, tidak lepas dari tingkat inflasi, rendahnya suku bunga simpanan, serta penetrasi perbankan terhadap masyarakat,” tukas Ketua Perbanas Sigit Pramono, saat ditemui wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, di Malaysia dan Singapura masyarakat yang belum menerima akses bank jauh lebih sedikit dibanding di Indonesia, sehingga ekspansi bank tidak sebesar di Tanah Air. Hal tersebut membuat biaya investasi-investasi baru bank-bank di sana tidak sebesar bank-bank di Indonesia.

Industri perbankan sendiri menerima seruan cukup kuat untuk menurunkan suku bunga pinjaman, apalagi suku bunga acuan (BI rate) telah diturunkan bank sentral dari sebelumnya di level 6,75% menjadi 6%.

Perbanas menilai, kendati arah penurunan suku bunga pinjaman akan sejalan dengan penurunan BI rate, tapi prosesnya akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

“Secara jangka panjang penurunan BI rate dan SBDK (suku bunga dasar kredit) inline. Hanya saja, tidak serta-merta. Ada rentang waktunya yang tidak bisa langsung dipastikan,” ucap Sigit.

Selepas menurunkan suku bunga acuan, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyatakan, akan memanggil bank-bank yang tidak memasukkan penyesuaian suku bunga pinjaman dengan BI rate dalam rencana bisnis bank (RBB) tahun 2012.

“Kita akan lihat RBB-nya, dan kita akan panggil kalau kita anggap RBB-nya tidak memasukkan faktor perubahan (BI Rate) ke dalam rencana mereka,” tandas Darmin. (*)

Sumber : Infobank


Berbank di Mal, Kenapa Tidak?

Membaca tren yang terjadi di antara pengunjung mal, bank perlu makin memperhatikan mal sebagai lokasi distribusinya. Bank juga perlu mempelajari aktivitas pengunjung yang makin beragam agar bisa mendesain kantor dan layanan yang pas untuk para pengunjung dan sekaligus nasabah itu. Harry Puspito

Area mal di Jakarta diperkirakan mencapai lebih dari 2,5 juta meter persegi. Dalam dua tahun, sebuah media memrediksi akan terjadi lonjakan area mal hampir satu juta meter persegi atau hampir 40% dari area sekarang. Ini adalah sebuah angka yang spektakuler mengingat occupancy rate mal, akhir-akhir ini, baru mencapai 76,3% dan cenderung menurun. Bisa dibayangkan bila mal-mal baru itu dibuka. Di sisi lain, situasi ekonomi negeri ini tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, sehingga daya beli masyarakat bergeming.

Tak heran jika saat ini disinyalir banyak mal yang sepi pengunjung. Kalaupun ada yang ramai, itu kebanyakan terjadi pada akhir pekan. Pada hari-hari biasa, khususnya Senin, kebanyakan lengang. Beberapa mal baru sangat sepi pengunjung, termasuk pada akhir pekan. Bahkan, ada mal yang sudah tutup. Seperti, Sudirman Palace di daerah berprestise, segitiga emas Jakarta atau Jalan Sudirman. Padahal, mal tersebut baru beroperasi tujuh bulan.

Itu yang terjadi pada tingkat industri. Bagaimana dengan para pengunjung yang disuguhi mal-mal baru dengan segala kemewahannya itu? Apa yang terjadi dengan para pengunjung mal? Ini adalah pertanyaan yang penting untuk dijawab secara akurat. Sebab, di satu sisi, risiko untuk nimbrung berbisnis di mal akan makin besar, sedangkan di sisi lain, peluang-peluang yang tercipta juga bisa luar biasa besar, baik bagi mal itu sendiri maupun berbagai sektor tenant.

Namanya saja shopping mall atau shopping center. Tentu, pusat-pusat belanja ini didirikan untuk melayani para pembelanja yang membutuhkan berbagai produk dan layanan. Dengan mengumpulkan berbagai retailer di satu tempat, pengelola mal berusaha melayani kebutuhan-kebutuhan pembelanja dan mendapatkan bisnis dari pengelolaan malnya itu.

Namun, adanya persaingan yang keras di bisnis permalan tentu membuat pengelola mal harus berpikir keras. Mereka harus bisa memosisikan malnya di mata konsumen dan menciptakan wow factors yang kuat untuk menarik kehadiran pengunjung. Misalnya, adanya keunikan dalam penampilan dan sarana, strategi tenant mix tertentu yang pas untuk target pasar yang disasar, dan penyelenggaraan event-event tertentu.

Perkembangan mal yang luar biasa memang menarik perhatian berbagai pihak. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Sebuah media bahkan menyimpulkan bahwa pengelola mal harus mendefinisi ulang apa sebenarnya peran mal. Sebab, sekarang, banyak hal yang bisa dilakukan seseorang di mal di luar shopping, misalnya, makan siang dan bekerja di kafe-kafe yang ada. Bersosialisasi atau meeting dengan kolega atau klien juga bisa dilakukan di mal. Tidak hanya itu. Mal, khususnya kafe, juga bisa dijadikan tempat belajar para mahasiswa.

Bahkan, banyak anak muda yang datang ke mal untuk sekadar berolahraga di klub fitness yang ada di tempat itu. Anak-anak sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah pertama (SMP) juga banyak yang suka jalan-jalan dan mampir di photo box untuk berfoto bersama. Pada akhir pekan, kita bisa lihat, banyak bioskop di mal yang dipadati penonton.

Lalu, bagaimana dengan bank dan automatic teller machine (ATM)? Ternyata, pelbagai ATM bank yang ada di mal juga ramai dikunjungi nasabah. Bank pun silih berganti melakukan promosi, menawarkan berbagai layanan mereka, seperti kartu kredit, rekening tabungan, dan berbagai kredit.

Perlu pembaca ketahui, di antara pengunjung mal, ternyata, banyak juga yang tidak berbelanja. Sekalipun berbelanja, sebatas barang-barang kecil yang mereka ingat dan butuhkan. Tentu, masih cukup banyak yang betul-betul datang untuk berbelanja, baik kebutuhan sehari-hari, seperti groceries, maupun produk fesyen.

Bagaimana sesungguhnya tren yang terjadi di mall societies? Untuk mengetahui hal ini, tentu, perlu dilakukan sebuah kajian yang lebih mendalam dan bersifat kuantitatif.

Marketing Research Indonesia (MRI) memiliki bacaan seperti ini di Jakarta dari riset “Mall Shopper Habits” yang diselenggarakan setiap dua tahun. Setiap survei, MRI mewawancarai sekitar 500 pengunjung mal dari kelas AB. Bacaan di antara semua pengunjung mal terakhir adalah dari 2005. Sedangkan, pada 2006, survei secara khusus mempelajari pembelanja dari etnis Cina. Selain itu, penulis mendapatkan akses sejumlah data yang menarik dari Roper’s Report dari GfK yang mempelajari tren-tren perilaku konsumen di dunia, termasuk Indonesia.

Survei yang dilaksanakan GfK itu mewawancarai laki-laki dan perempuan berusia 13 tahun ke atas dari enam kota besar di Indonesia dengan mengambil 70% segmen yang di atas dalam hal sosial ekonomi. Sedangkan, di banyak negara maju, survei dilaksanakan di antara semua kelas sosial ekonomi.

Survei GfK itu menunjukkan, sekitar satu dari empat (23%) remaja dan dewasa “berbelanja” di sebuah mal tertutup dalam satu bulan terakhir. Sedangkan, hampir semua orang dewasa di Jakarta adalah pengunjung mal dalam 12 bulan terakhir.

Walau ada perbedaan waktu, dapat diperkirakan, jumlah pengunjung mal jauh lebih banyak daripada jumlah pembelanja di mal. Dengan demikian, bisa disimpulkan, pada masa sekarang, sangat banyak (mungkin mayoritas) pengunjung mal memiliki tujuan lain saat berkunjung ke mal dibandingkan dengan berbelanja. Dengan kata lain, mayoritas pengunjung mal tidak berpikir belanja ketika mereka mengunjungi mal.

Sudah sejak lama, mayoritas pengunjung mal menyambangi mal sebagai sebuah rekreasi. Hal ini bertahan hingga sekarang. Tapi, ada sejumlah tren di antara mereka yang menarik dicermati, walau mayoritas pengunjung mal masih menikmati waktu-waktu berbelanjanya dan jumlah pengunjung mal cenderung menurun dalam kurun waktu survei. Artinya, makin banyak yang kurang menyukai kegiatan shopping. Kemungkinan, hal itu berhubungan dengan kesibukan konsumen yang makin tinggi, sehingga mereka tidak bisa lagi menghabiskan waktunya untuk kegiatan shopping.

Tren menarik lain adalah sekarang makin banyak pengunjung mal yang mengunjungi mal untuk sekadar berbelanja (dari 15% pada 2001 hingga 45% pada 2005). Itu adalah tren yang berbeda dengan sekelompok pengunjung mal lain yang mengunjungi mal bukan lagi untuk berbelanja, melainkan untuk berbagai kegiatan lain.

Tampaknya, situasi juga mengakibatkan kian banyak pengunjung mal yang suka mengunjungi mal-mal baru (dari 31% menjadi 45%). Bisa jadi, hal itu disebabkan mereka bosan dengan mal yang biasa mereka kunjungi. Mereka pun mencoba mal-mal baru. Tak heran jika banyak mal baru saat pertama kali buka dipenuhi pengunjung. Tapi, kalau mal-mal baru itu tak hati-hati, tidak berapa lama kemudian juga akan sepi pengunjung.

Ketika pengunjung mal ditanya, mereka mengklaim, berbelanja masih merupakan kegiatan utama mereka di mal. Ini memang agak bertentangan dengan pengamatan sepintas dan simpulan di atas. Bisa jadi, memang, pengunjung selalu berbelanja “sesuatu” ketika mereka mengunjungi sebuah mal. Tapi, mungkin, kegiatan belanja ini makin bukan yang utama bagi mereka, melainkan merupakan sesuatu yang sekalian mereka lakukan saat mereka punya aktivitas lain di mal. Mayoritas naik dan turun, tapi masih banyak yang melakukan kegiatan window shopping. Artinya, lihat-lihat saja.

Tren yang spektakuler terjadi di mal pada tahun-tahun terakhir ini adalah kegiatan makan. Angkanya melonjak dari 7%, 26%, menjadi 80%, akhir-akhir ini. Mulanya, bisa jadi, pengunjung juga makan di mal. Tapi, bagi mereka, itu merupakan kebutuhan sekunder ketimbang belanja. Tapi, sekarang, tampaknya, sangat banyak yang datang ke mal benar-benar untuk makan, entah siang entah malam.

Satu hal menarik, pengunjung mal mengklaim, mereka melakukan transaksi-transaksi perbankan melalui cabang bank (10%) dan bahkan lebih banyak lagi yang melakukannya melalui ATM (24%)—yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak disebutkan mereka.

Akhir-akhir ini, memang, bank tambah aktif masuk ke mal-mal dengan membuka cabang. Lebih-lebih menempatkan ATM masing-masing. Sejumlah bank bahkan membuka kantornya di mal-mal pada akhir pekan. Beberapa bank juga banyak yang menawarkan layanannya dengan melakukan promosi dan penjualan di mal-mal, seperti kartu kredit, rekening tabungan, dan layanan electronic channel (e-channel).

Bisa jadi, kegiatan pemasaran bank yang agresif di mal merupakan salah satu trigger makin meningkatnya kesadaran kegiatan berbank di mal, akhir-akhir ini. Kebutuhan akan uang tunai saat pengunjung mal berbelanja tentu mendorong mereka pergi ke ATM dan cabang bank.

Namun, tren ini bisa juga sejalan dengan perubahan kebiasaan pengunjung mal yang melakukan banyak kegiatan nonbelanja di mal. Sedangkan, mereka memang mencari mal di lokasi yang strategis dan aman yang cocok untuk letak bank atau ATM yang mereka butuhkan. Membaca tren yang terjadi di antara pengunjung mal, bank perlu makin memperhatikan mal sebagai lokasi distribusi mereka. Bank-bank juga perlu mempelajari aktivitas pengunjung yang makin beragam agar bisa mendesain kantor dan layanan yang pas untuk para pengunjung dan sekaligus nasabah itu. (*)

Penulis adalah Managing Director PT Marketing Research Indonesia (MRI).

Sumber : Infobank