Kamis, 12 Mei 2011

Bankir Juga Manusia

Gagalnya intermediasi perbankan bukan semata-mata karena perilaku para bankir. Senangnya para bankir berputar-putar di lingkaran hantu pasar uang merupakan respons dari kondisi sektor riil yang tidak hidup. Eko B. Supriyanto
Kondisi sektor riil yang selama ini menjadi penopang kehidupan negara justru sedang berhadapan dengan sebuah fenomena paradoks pertumbuhan (paradox of growth). Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tidak disertai penurunan angka kemiskinan dan pengangguran.
Hal yang sama juga terlihat pada risiko mikro dan distorsi dalam perekonomian yang menghambat investasi dan terefleksi pula pada makin merenggangnya (decoupling) hubungan antara sektor keuangan dan sektor riil.
Perbankan terlihat tidak gemar menyalurkan kredit. Bank-bank dan para pemilik uang cenderung menempatkan dananya pada instrumen keuangan yang berisiko rendah, misalnya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat utang negara (SUN).
Mengapa kredit sulit mengucur? Bisa jadi, kebijakan prudential yang diterapkan BI sejak krisis membuat perbankan sangat diatur, seolah-olah tidak memberi ruang gerak dalam melakukan akselerasi kredit. Penerapan Basel II Accord dinilai terlalu berat jika dikaitkan dengan pemberian kredit.
Penerapan risiko yang berlebihan oleh BI mengakibatkan bank-bank terbiasa menghindari ketimbang menghadapi risiko. Pemberian kredit merupakan langkah menghadapi risiko.
Tidak hanya itu. Kebijakan BI tentang konsolidasi perbankan dalam API (Arsitektur Perbankan Indonesia) di satu sisi dan upaya mendorong intermediasi perbankan di sisi lain merupakan dua hal yang bertolak belakang.
Di satu sisi, bank-bank harus melakukan ekspansi kredit. Tapi, di sisi lain, bank dihadapkan pada tuntutan kebijakan konsolidasi, khususnya dalam persoalan modal minimum, single presence policy, dan penerapan risiko-risiko.
Kondisi di luar perbankan juga sangat menyulitkan posisi bank-bank dalam mengucurkan kredit. Risiko kredit dan risiko pasar dinilai masih relatif tinggi. Hal tersebut terutama terkait dengan iklim usaha dan investasi yang kurang kondusif serta relatif masih tingginya suku bunga kredit.
Dunia usaha sedang menghadapi penurunan profitabilitas. Beban pinjaman meningkat, tapi keuntungan menipis. Penurunan daya beli masyarakat berimbas pada makin lesunya dunia usaha. Proses deindustrialisasi akibat masuknya barang-barang impor ilegal merupakan pukulan berat bagi pembiayaan perbankan. Di sisi lain, sektor-sektor unggulan baru belum banyak mendapatkan fasilitas kredit.
Stimulus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diharapkan dapat menghidupkan sektor riil tidak banyak terjadi. Rendahnya penyerapan belanja negara dan belanja daerah mengakibatkan sektor riil tidak bergerak seperti sebelum krisis.
Keengganan daerah-daerah merealisasikan proyek—karena ketakutan dinilai korupsi—membuat dana-dana menumpuk di pelbagai bank pembangunan daerah (BPD) dan BPD-BPD kemudian mengembalikannya lagi dalam bentuk SBI.
Kalangan badan usaha milik negara (BUMN) yang diharapkan dapat membantu menggerakan dunia usaha sekaligus penggerak motor ekonomi ternyata dihadapkan pada persoalan yang sama. Isu pergantian direksi dan tidak jelasnya pengembangan BUMN membuat BUMN tidak berjalan semestinya.
Intervensi lembaga hukum terhadap dunia usaha dan perbankan justru mengakibatkan pelunasan kredit-kredit berkolektibilitas lancar. Bahkan, peta politik menunjukkannya adanya ketidakpastian dalam pembuatan kebijakan berjangka panjang.
Sejak krisis menghempas, pengusaha-pengusaha baru tak tumbuh. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diharapkan dapat menyerap kredit lebih. Tapi, ternyata, kredit itu didominasi UMKM sektor konsumsi.
Akibatnya, penyerapan kredit tidak banyak memberi efek terhadap kegiatan ekonomi. Banyak kendala dihadapi sektor UMKM produktif, sehingga tidak bisa tumbuh menjadi perusahaan menengah yang mampu menyerap kredit secara korporasi.
Jadi, gagalnya intermediasi perbankan bukan semata-mata karena perilaku para bankir. Senangnya para bankir berputar-putar di lingkaran hantu pasar uang merupakan respons dari kondisi sektor riil yang tidak hidup.
Kesalahan utamanya tidak pada perbankan. Setan gundulnya ada di luar perbankan. Jika hantu di luar sektor perbankan berhasil diusir, putus sudah lingkaran setan pasar uang itu.
Sebab, bankir juga manusia, bukan seorang dewa, kendati syarat menjadi bankir—sebagaimana ditunjukkan dengan ketatnya aturan yang dipatok BI—mirip dengan syarat menjadi dewa. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Rabu, 11 Mei 2011

Marketing Perbankan di Tahun Perburuan Profit

Era perbankan telah berubah dari surviving era ke profitability era. Profitability level jadi acuan setiap bisnis, termasuk perbankan. Marketing performance system yang kuat akan mampu mengubah sasaran, bahkan operasional perbankan, menuju sistem yang lebih baik. Meity Anita

Kompetisi perbankan Indonesia diperkirakan akan berorientasi pada kompetisi strategi yang jauh lebih kompetitif ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Perlu diketahui bahwa tahun-tahun belakangan ini, keadaan makroperbankan kita mulai membaik. Era perbankan telah berubah: dari surviving era ke profitability era.

Yang pasti, era kompetisi perbankan kini mendekati kenyataan. Jika hal itu terjadi, tentu, publiklah yang akan menghadapi kesulitan. Publik akan sulit memilih bank yang, menurut mereka, paling inovatif, paling aman, atau paling menguntungkan. Kalau memang hal itu terjadi, seorang nasabah yang loyal bertahun-tahun pada sebuah bank akan sangat mudah pindah ke bank lain. Untuk itu, tak ada alasan lain bagi bank, kecuali mempertahankan kualitas pelayanan (service).

Kualitas pelayanan sangat luas maknanya. Pelayanan bagi perbankan mencakup seluruh komponen perbankan. Pelayanan bukan hanya urusan customer service atau pelayanan electronic banking semata. Itu pun belum cukup. Pelayanan yang ditawarkan harus mempunyai service level tertentu. Dan, ini harus selalu dijaga agar tetap bisa bersaing dengan keadaan market saat ini dan juga masa depan.

Pada masa mendatang, industri perbankan kita bakal sampai pada suatu titik, yakni setiap bank akan bersaing mendapatkan nasabah sebanyak-banyaknya. Karena itu, dapat dikatakan sebagai tahun kompetisi bagi perbankan. Bank-bank akan ramai-ramai mengembangkan strategi. Apalagi motifnya kalau bukan profitability oriented.

Sementara itu, persaingan dalam pemberian hadiah juga diperkirakan akan terus berlanjut. Meski, persaingan dalam bentuk seperti ini tidak lagi menjadi concern utama semenjak perbankan menyadari bahwa persaingan dalam bentuk hadiah hanyalah marketing games atau salah satu program loyalty customers. Masih banyak hal mendasar yang lebih penting dan jauh lebih strategis bagi perbankan pada era sekarang, era profit. Era profit menjadi tantangan bagi bank dalam hal spending. P & L menjadi benchmark keberhasilan sebuah produk atau program marketing.

Inovasi pelayanan tentu akan terus berlangsung seiring dengan kemajuan teknologi dan based-on concept service yang diinginkan setiap bank. Diferensiasi atau fokus bisnis harus lebih tajam agar nasabah atau calon nasabah tahu persis keuntungan ber-banking dari bank yang dipilihnya. Harus diakui, memang, banyak sudah kemajuan yang dialami perbankan kita. Bankir-bankir lokal kini berlomba-lomba menata banknya agar lebih sehat dan lebih menguntungkan.

Orientasi profit ternyata telah mengubah banyak paradigma para bankir kita dalam bertindak. Pemahaman pasar dan orientasi ke depan akan sangat membantu. Dengan knowledge dan perhitungan yang tepat, bank-bank akan mampu mengegolkan tujuannya. Kini, mulai merebak pendapat bahwa bank besar tak lagi perlu tetap besar.Yang utama adalah keuntungan yang lebih.

The value of big bank kini tidak lagi menjadi suatu “kharisma” yang terus dipelihara ketika bank-bank mulai berorientasi pada profit. Sekarang adalah zamannya profit. Dengan planning yang tepat, resources dan kapital yang kuat, team-up yang solid, serta semua elemen organisasi based on competency dari organisasi yang dicanangkan, profit pun akan segera menjadi kenyataan.

Dari profit figure, para bankir akan lebih mudah me-manage profitability level yang akan dicapai. Era profit akan makin nyata menata perbankan kita. Jika memang hal itu terjadi, perbankan kita diperkirakan akan makin sehat, baik dari sisi internal maupun dalam persaingan.

Namun, era ini, bagi bank-bank besar kita, akan menjadi dilema. Is big better? What is the value of size? Can big be managed? Pertanyaan-pertanyaan pokok tersebut barangkali bisa menjadi concern bank-bank besar. Bahkan, bisa saja menjadi big challenge. Apakah bank-bank besar akan tetap mempertahankan kebesarannya?

Apakah one-stop-shopping bank masih diperhitungkan sebagai consept supermarket yang cocok bagi sebuah bank? Atau, specialist concept lebih menguntungkan? Saya kira, salah satu concern untuk consolidation adalah suatu permulaan yang strategis, walau dramatic consolidation yang terjadi pada tahun belakangan ini cukup mengejutkan perbankan Indonesia. Tapi, tantangan ke depan adalah seperti salah satu pertanyaan fundamental di atas: is big better?

Salah satu pertanyaan adalah improvement dari efficiency ratios setelah consolidation. Rasionalisasinya dengan profit, pasti ada korelasi antara size—dalam hal ini hubungannya dengan spending—dan return. Size yang besar akan berhubungan erat dengan spending requirement for branding, distribution, resources, dan technology. Scope benefit, bisa untuk cross selling more product to the same customers, tapi akan result ke larger operating expenses dan revenue base.

The primary value of “big” akan sangat bergantung pada positioning setiap bank versus skala requirement untuk setiap bisnis suatu bank. Disadari atau tidak, antara bank yang satu dan yang lain saling bersaing. Skala requirement inilah yang akan men-drive busines level. Value of size sebuah bank akan menentukan speed, growth, dan profitability level.

Kemampuan me-manage sebuah bank besar akan sangat bergantung pada capability. Yang masih menjadi pertanyaan pada era profit ini, apakah bank besar atau megabank akan mampu tetap besar dengan profit besar? Apakah mampu bank besar me-manage secara efisien aset besar tersebut dan bersaing lebih baik?

Sampai berapa lama akan bertahan? Kalau bank besar telat berubah, kemungkinan ke depan akan kalah bersaing bisa saja terjadi. Tapi, kalau mereka mampu me-manage dengan baik, kemungkinan bank lokal kita bisa menjadi bank global.

Peran top management dalam implementasi akan sangat besar bagi marketing team. Antusiame top management bisa seketika mengubah spirit tim, begitu pula sebaliknya. Untuk itu, di sini diperlukan kepekaan dan kepedulian para top executif untuk me-manage semangat level team dalam era kompetisi yang makin sulit.

Pergeseran performance setiap bank akan bisa berubah dengan cepat dari tahun ke tahun. Berdasarkan hasil research, dengan upaya yang luar biasa, sebuah bank tidak mustahil mampu menggeser posisi bank lain dalam waktu singkat. Marketing performance system yang kuat akan mampu mengubah sasaran, bahkan operasional perbankan, menuju sistem yang lebih baik, sebuah sistem ketika industri perbankan berorientasi pada profit. Karena itu, penggunaan system performance yang kuat akan sangat membantu perbankan.

Bagaimana dengan bank-bank konservatif? Persoalan yang sering muncul di perbankan konservatif, antara lain, elemen-elemen dalam marketing performance system seperti contoh dalam tabel sering dianggap teori. Padahal, setiap elemen dalam sistem tersebut sebetulnya adalah elemen yang dapat diciptakan sendiri oleh bank, yaitu elemen apa saja yang menjadi concern dan erat kaitannya dengan tujuan business bank. Sistem ini akan men-drive suatu produk atau program bank yang profitable.

Beberapa bank sudah mulai terlihat menerapkan konsep value-focused competition. Melalui konsep tersebut, bank fokus pada bisnis tertentu atau segmen tertentu yang dianggap paling menghasilkan atau potensial. Fokus sangat penting untuk meningkatkan business value ataupun competition value. Bagi nasabah, ada five source of value yang dibutuhkan.

Akhirnya, kompetisilah yang akan berperan besar dalam upaya setiap bank dalam bersaing. Tidak ada konsep yang lebih kompetitif kecuali konsep baru yang akan muncul dari reaksi pasar. Perkembangan teknologi dan perkembangan pasar akan menciptakan konsep yang lebih baru lagi dari waktu ke waktu.

When the technology is here, the innovation begins. When the market changes, the new concept is born. Yang pasti, konsep apa pun yang terlahirkan, profitability level menjadi acuan setiap bisnis. Selamat datang 2004. Selamat datang era profitability. (*)

Penulis adalah pemerhati dan praktisi perbankan.

Sumber : www.infobanknews.com

Kenyamanan Layanan buat Nasabah Abaikan Keamanan Simpanan

Untuk menggaet sebanyak-banyaknya nasabah, industri perbankan berlomba-lomba menawarkan kenyamanan dan memanjakan nasabah, sehingga melupakan pentingnya keamanan simpanan. Paulus Yoga

Jakarta–Kenyamanan yang ditawarkan industri perbankan dewasa ini membuat nasabah menjadi manja, sehingga mengabaikan keamanan dan membuka peluang terjadinya pembobolan.

“Antara nyaman dan aman ini kadang-kadang kontradiksi. Kalau kita mau aman bagi nasabah, harus isi formulir, ada ini, cek dan ricek, supaya memastikan transaksinya aman,” tandas Direktur Utama PT Bank Negara Indonesia (persero) Tbk Gatot M. Suwondo, kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 11 Mei 2011.

Hal tersebut erat kaitannya dengan pembobolan rekening nasabah Citribank oleh Malinda Dee beberapa waktu lalu, sehingga untuk membenahi sistem dan SOP di bisnis wealth management Bank Indonesia sampai menyetop pertumbuhan nasabah prioritas di 23 bank.

“Kalau ingin mengutamakan kenyamanan, jadinya nasabah percaya begitu saja, dan bisa terjadinya fraud dan pembobolan. Seperti MD (Malinda Dee) itu. Makanya kita berusaha cari supaya nyaman sekaligus aman,” ucap Gatot.

Ia menambahkan, dalam dunia perbankan, nasabah mengutamakan tiga jasa perbankan yaitu, yang pertama kegunaannya yang memang sesuai, kenyamanan penggunaan dan keamanan.

“Di Indonesia itu sudah biasa nasabah dimanjakan oleh banknya,” sambung General Manager Bisnis Kartu BNI Dodit W. Probojakti. (*)

Sumber : www.infobanknews.com


Jumat, 06 Mei 2011

Debitur BPR naik 126%

Oleh Donald Banjarnahor 

JAKARTA: Jumlah debitur bank perkreditan rakyat meningkat  menjadi 7,34 juta nasabah pada kuartal I/2011 atau naik 126,54% dari realisasi pada periode yang sama tahun lalu sebesar 3,24 juta nasabah.
Kenaikan jumlah debitur terbesar, berdasarkan data Bank Indonesia, terjadi pada Maret dengan pertambahan 4,12 juta rekening.

Adapun jumlah nasabah pada Januari dan Februari secara berturut-turut sebesar 3,14 juta dan 3,22 juta atau masih dibawah jumlah akhir 2010.

Untuk nilai kredit yang disalurkan hingga kuartal I/2011 naik 5,34% dari Rp33,84 triliun pada akhir 2010 menjadi Rp35,65 triliun.

Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo) Joko Suyanto mengatakan pertumbuhan tersebut memperlihatkan bahwa bank perkreditan rakyat berkembang secara horizontal.

“Jadi bisnis BPR tumbuh bukan karena dia menyalurkan kredit kepada satu nasabah dalam jumlah besar tapi menyalurkan kredit kepada banyak nasabah,” ujarnya kepada Bisnis hari ini. (luz)

Sumber : www.bisnis.com

Kamis, 05 Mei 2011

Mahalnya Sertifikat Halal Para Bankir


Ingat, hancurnya bank-bank di masa lalu karena ulah bankir para bankir yang kurang memahami risiko dan tidak mempunyai kompetensi dalam mengelola bank yang sering dipenuhi risiko: risiko pasar, risiko operasional, risiko reputasi, dan beberapa risiko lainnya. Eko B. Supriyanto

Para bankir wajib punya sertifikat halal yang berlabel sertifikat menajemen risiko (risk management). Ada lima level yang harus diikuti seorang bankir dan ketentuan ini berlaku hingga jenjang direksi. Jadi, bankir sudah seperti malaikat saja, selain harus lolos uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test), ia juga harus punya sertifikat manajemen risiko. Semua ini ditujukan agar para bankir mampu meminimalisasi risiko yang datang secara mendadak, kendati ongkosnya terlalu besar bagi bank-bank.

Semua tahu bahwa industri perbankan merupakan industri yang sarat dengan risiko. Selain mengelola uang masyarakat, bank juga mempunyai tugas menyalurkan kredit. Pendeknya, kegiatan bank, baik dari sisi aktiva maupun sisi pasiva, mengandung berbagai jenis risiko.

Nah, karena banyaknya risiko—seperti risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko reputasi serta empat risiko lainnya—diperlukan seorang bankir yang ahli dan mampu dalam memandang dan mengantisipasi risiko. Semua itu dimaksudkan untuk menjaga agar banknya tidak jatuh atau minimal dapat mengurangi kerugian yang timbul. Semua pejabat bank, tidak terkecuali, wajib memiliki sertifikasi manajemen risiko.

Menurut Bank Indonesia (BI), sertifikasi mamajemen risiko itu penting untuk menjamin kualitas dan kompetensi yang sama bagi para manajer risiko (risk manager) yang ada pada setiap bank. Lebih jauh, dengan sertifikasi manajemen risiko ini, diharapkan semua manajer risiko yang bekerja pada industri perbankan memiliki persyaratan minimum dan standar kualitas yang sama, baik dari sisi keahlian, kompetensi, maupun pengetahuan tentang manajemen risiko.

Bisa jadi, sertifikasi untuk manajer risiko yang bekerja pada industri perbankan Indonesia bukan lagi dianggap sebagai suatu kewajiban, melainkan sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan. Bahkan, harus ada pada setiap orang yang mengemban tugas sebagai manajer risiko pada bank. Ibarat seorang pengacara harus memiliki izin praktik pengacara. Hal yang sama bagi profesi akuntan. Untuk itulah, BI memasukkannya dalam visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Perlu diketahui, ujian sertifikasi pertama yang diselanggarakan di Pekan Raya Jakarta (PRJ), Kemayoran, Jakarta, bukan sepenuhnya dilakukan oleh BI, tapi semacam disubkontrakan ke Global Association of Risk Professional bersama Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR), sebuah lembaga bentukan Federasi Perbankan Indonesia dan Indonesia Risk Profesional Association (IRPA).

Tidaklah penting siapa yang menyelenggarakan ujian yang diperkirakan sampai dengan lima jenjang ini. Hanya masalahnya, kualitas ujian, seperti dituturkan para bankir, tidak menyentuh substansi. Materi soal yang berbentuk pilihan ganda (multiple choice) ini lebih banyak bersifat dasar. Contohnya, ada berapa jenis risiko di perbankan, tahun berapa PBI tentang manajemen risiko.

Pertanyaannya, apakah dengan materi ujian seperti itu seorang bankir bisa langsung memahami aspek risiko? Tentu tidak karena memang ujian itu baru tingkat dasar bagi supervisi manajer risiko atau stafnya. Termasuk pula pemimpin cabang, pemimpin divisi, dan wakil pemimpin divisi. Bahkan, kualitas soal tidak sebanding dari materi yang diberikan, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.

Tidak hanya itu. Ujian sertifikasi manajemen risiko ini dinilai oleh sebagian besar bankir sesuatu yang mahal harganya. Hampir seluruh bank mengirimkan orangnya di ujian pertama yang melibatkan 1.700 bankir. Peristiwa ini termasuk dalam rekor dunia karena dalam peradaban bankir sepanjang masa tidak pernah ada ujian sebanyak ini, kecuali di Indonesia.

Wah, berapa banyak uang yang mengalir ke kantong panitia. Kita kalkulasi saja. Semua peserta yang mengikuti ujian tersebut dikenai biaya. Biaya ujian besarnya Rp3,5 juta, lalu biaya pelatihan lebih kurang sebesar US$600. Kalau dibulatkan, jumlahnya mencapai sekitar Rp10 juta per peserta.

Jika jumlah peserta ujian sebanyak 1.700, maka saku penyelenggara akan terisi fulus sekitar Rp17 miliar. Jadi, banyak sekali biaya yang keluar. Itu belum termasuk biaya peserta dari luar kota yang akomodasinya harus ditanggung bank, baik uang saku maupun biaya transportasi.

Anda bisa menghitung berapa biaya yang dibutuhkan untuk mencetak 50.000 bankir. Untuk biaya pelatihan dan pendaftaran saja mencapai Rp500 miliar. Apalagi, sertifikasi manajemen risiko ini tidak hanya satu level, tapi ada lima level yang harus diikuti bankir sampai dengan jenjang direksi.

Tentu tidak semua bankir mengikuti level yang ada. Oke. Taruhlah rata-rata setiap bankir mengikuti tiga level. Untuk ini saja, biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai triliunan rupiah. Ini juga belum termasuk biaya akomodasi dan tranportasi dari bank-bank yang mempunyai cabang di daerah-daerah.

Jadi, inikah bisnis besar bule-bule yang ditelan oleh BI? Tanpa bermaksud mengusik halal tidaknya sertifikasi manajemen risiko, yang jelas, sejumlah bankir sedikit mengeluhkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Soalnya, bukan sekadar biaya pendaftaran dan biaya ujian, melainkan plus akomodasi bagi karyawan yang dari daerah. Sepertinya, bank-bank besar dalam kurun waktu lima tahun ke depan harus menganggarkan biaya sertifikasi bagi karyawannya hingga ratusan miliar rupiah.

Jelas, masalah sertifikasi manajemen risiko ini bukan masalah kecil. Bahkan, bisik-bisik yang terdengar dari kalangan perbankan, biaya untuk sertifikasi ini mencapai 60% sampai dengan 70% dari biaya pendidikan yang harus dikeluarkan bank setiap tahunnya.

Jika hal ini benar, maka biaya sertifikasi manajemen risiko perlu diturunkan agar beban yang harus ditangggung bank tidak terlalu berat. Sebab, di tengah konsolidasi perbankan, tidaklah mudah bank mempertahankan marginnya juga kelancaran kreditnya. Semua tahu, mencari laba sesen saja sangat sulit di zaman sekarang ini.

Harus diakui, beban biaya yang harus ditanggung bank-bank memang cukup berat. Tapi, itulah ongkos yang harus dibayar kalau memang bankir-bankir kita ingin mahir dan paham terhadap risiko yang menghadang. Para bankir harus sadar, risiko besar telah di depan mata.

Ingat, hancurnya bank-bank di masa lalu karena ulah bankir para bankir yang kurang memahami risiko dan tidak mempunyai kompetensi dalam mengelola bank yang sering dipenuhi risiko: risiko pasar, risiko operasional, risiko reputasi, dan beberapa risiko lainnya.

Tapi, apakah dengan selembar sertifikat, lantas bank-bank bebas dari kegagalan? Entahlah. Yang jelas, banyak peserta yang meragukan keampuhan sertifikasi manajemen risiko, yang harganya mahal ini. Apalagi kalau melihat persoalan yang dihadapi para bankir, yang tidak semua bisa diselesaikan dengan cara multiple choice.

Penilaian itu hanyalah pendapat yang belum tentu benar. Semua tergantung dari bankir generasi multiple choice, seperti soal-soal dalam ujian sertifikasi manajemen risiko.

Perbankan kita telah memulai sesuatu yang baik dengan menyelenggarakan sertifikasi halal manajemen risiko. Mereka pun diharapkan akan segera tahu seluk-beluk risiko. Tapi, kenapa harganya mahal, padahal hasilnya belum tentu semahal harganya.

Alangkah bijaknya bila biaya sertifikasi manajemen risiko ini ditekan dan tidak menjadi beban baru bagi perbankan yang kini ditodong dengan konsolidasi dan kredit macet serta penurunan laba akibat badai suku bunga yang tinggi. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Menangkan Persaingan dengan Competitor Monitoring

Bank membutuhkan competitor monitoring agar bisa survive. Competitor monitoring mestinya dilakukan secara terencana, terstruktur, sistematis, komprehensif, dan teratur. Rahayu Widayanti

Competitor monitoring (CM) merupakan kegiatan suatu perusahaan untuk memantau gerak langkah pesaing bagi kepentingannya sendiri. Yang dimonitor bisa aspek apa saja dari perusahaan pesaing. Misalnya, perkembangan produk, kegiatan dan strategi pemasaran maupun promosi, jaringan, dan kerja sama dengan pihak ketiga.

Competitor monitoring merupakan bagian dari competitive intelligence. Yang terakhir ini merupakan aktivitas mengumpulkan dan menganalisis segala macam informasi yang menyebabkan perubahan pada lanskap (sektor) bisnis di masa mendatang.

Jadi, tidak hanya gerak pesaing yang sudah hadir, tapi juga kemungkinan adanya pesaing baru, perubahan peraturan, perubahan produk secara mendasar—misalnya, ada substitute product dan perubahan teknologi—perubahan kondisi politik, sosial dan budaya, perubahan life style, dan sebagainya.

Intinya, berbagai macam faktor, baik dari dalam industri tersebut maupun dari luar, yang memengaruhi atau menyebabkan perubahan di sektor industri tersebut. Perubahan tersebut dapat menyebabkan peta persaingan berubah.

Semua pelaku bisnis atau perusahaan sesungguhnya membutuhkan sistem competitive intelligence. Dengan memantau para pesaing, perusahaan dapat terus mengetahui posisinya di tengah arena kompetisi. Karena itu, bisa dikatakan, perusahaan yang mempunyai sistem competitor monitoring berarti melengkapi dirinya dengan senjata ampuh untuk mempertahankan diri maupun menyerang pesaingnya di tengah medan kompetisi.

Competitor monitoring belum banyak dilakukan perusahaan-perusahaan di Indonesia. Namun, yang jelas, makin hari, makin banyak pelaku bisnis yang melakukannya. Pelaku bisnis di sektor bisnis yang gesekan kompetisinya kuat atau sektor yang dinamikanya tinggi lebih merasakan kebutuhan akan competitor monitoring dibandingkan dengan sektor bisnis yang kompetisinya lebih longgar.

Bagi perbankan, semula, competitor monitoring dirasakan kurang penting. Kalaupun perlu, hanya sekali-kali saja dilakukan. Biasanya, jika ada produk atau divisi baru, revitalisasi produk lama, atau ada rencana strategis baru yang dicanangkan pengelola bank. Jadi, tidak ada kebutuhan competitor monitoring yang kontinu, sistematis, dan terstruktur.

Lagi pula, jika sebuah bank ingin mengetahui strategi bank lain, ia tidak perlu susah payah mencari tahu, mengamati, dan menganalisis keberhasilan bank pesaing. Itu cukup dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana, yakni membajak eksekutif bank pesaingnya itu.

Namun, belakangan ini, kalangan perbankan makin merasakan kebutuhan competitor monitoring. Bukan aktivitas competitor monitoring ad-hoc yang hanya untuk keperluan sesaat, tapi kegiatan competitor monitoring yang terencana, terstruktur, sistematis, dan kontinu. Dan, tentu saja, cepat.

Soal kecepatan ini, misalnya, sedemikian tingginya dinamika perbankan masa kini, sehingga seorang bankir menyatakan bahwa dia membutuhkan laporan competitor monitoring tiap bulan. Jika lebih dari satu bulan, laporannya tidak up-to-date lagi alias terlambat.

Salah satu faktor penting yang menyebabkan makin kuatnya kebutuhan akan competitor monitoring di kalangan perbankan adalah kondisi bisnis perbankan sendiri yang mengalami perubahan besar. Salah satu penyebabnya, makin banyaknya perbankan asing yang masuk ke pasar Indonesia.

Dibandingkan dengan pemain lokal, bank asing cenderung lebih agresif dan kreatif, baik dalam mengemas produk maupun dalam menyusun strategi marketing dan bisnis. Sementara itu, operasional mereka lebih efisien, sehingga mempunyai competitive advantage dibandingkan dengan perbankan Indonesia. Maka, dengan kehadiran mereka, persaingan bisnis perbankan di Tanah Air kini makin ketat dibandingkan dengan masa sebelumnya.

Terlebih, di consumer banking, persaingan dirasakan makin tajam karena produk-produknya memang lebih beragam dibandingkan dengan produk corporate banking. Selain itu, sesuai dengan target pasarnya, yakni individual customer, consumer banking memerlukan strategi pemasaran yang lebih kreatif serta aktivitas pemasaran yang lebih tinggi dan dinamis dibandingkan dengan corporate banking.

Faktor penting lain yang membuat kondisi perbankan berubah secara signifikan adalah teknologi. Kemajuan teknologi membawa perbankan pada kemungkinan baru yang dahulu tidak ada. Misalnya, dulu, hanya ada kantor cabang dan automatic teller machine (ATM). Kini, muncul channel lain, seperti phone banking dan internet banking.

Dulu, ATM hanya melayani informasi dasar, seperti informasi saldo dan ambil tunai. Kini, ATM juga melayani transaksi pembayaran (listrik, handphone, televisi kabel, kartu kredit, dan sebagainya) maupun pembelian (belanja barang-barang kebutuhan sehari-hari di pasar modern, reksa dana, voucher pulsa telepon seluler, dan tiket kereta api).

Kehadiran channel, di mana bank berhubungan dengan nasabahnya, yang baru ini membuat lanskap persaingan berubah. Bank yang diunggulkan bukan lagi bank yang mempunyai kantor cabang paling banyak. Semula, bank berusaha membangun jaringan cabang bank di seluruh pelosok Indonesia, tapi kemudian berubah menjadi persaingan penyebaran ATM karena ATM bisa mewakili kantor cabang—dengan keterbatasan tertentu.

Ketika teknologi makin maju, bank pun tidak lagi bersaing dalam jumlah kantor cabang dan tidak juga dalam jumlah ATM—karena dapat disiasati dengan menumpang ATM bank lain, tapi berlomba menghadirkan layanan phone atau short message services (SMS) banking dan internet banking.

Channel distribution baru ini juga mengubah siapa yang menjadi pesaing bagi suatu bank. Bank yang mempunyai kantor cabang atau ATM banyak, misalnya, kini harus menerima munculnya pesaing baru, yaitu bank yang mempunyai layanan SMS banking dan internet banking.

Teknologi juga membuat jangkauan elektronis perbankan makin merambah jauh. Dulu, non-conventional channel hanya bisa digunakan untuk transfer antar-in-house account (rekening di bank yang sama). Kini, nasabah juga bisa melakukan transfer ke rekening di bank lain.

Cakupan geografis transaksinya juga bertambah luas melewati batas negara. Nasabah perbankan di Indonesia sebentar lagi dapat menikmati ATM yang digunakan untuk bertransaksi—selain di Indonesia—di negara lain. Dan, mereka, bank-bank asing di negara asing, akan menjadi pesaing langsung bank-bank di Indonesia.

Persaingan perbankan saat ini sampai pada situasi yang makin ketat yang belum pernah terjadi sebelumnya: bank scale yang makin besar, layanan bank yang makin mobile, serta pesaing maupun nasabah asing atau nasabah lokal dengan international operational yang makin banyak dan luas. Di masa depan, para bankir harus bekerja lebih keras lagi menghadapi persaingan yang makin sengit.

Bank-bank besar di Singapura, misalnya, tengah gencar berekspansi ke luar negeri karena pasar dalam negerinya mulai dirasakan jenuh. Bagi mereka, lebih mudah masuk ke bank yang sudah ada—apalagi bank yang kuat, sehat, dan bernasabah banyak—daripada membuka kantor cabang sendiri yang berarti melakukan bisnis dari nol. Dengan mengakuisisi bank yang sudah berdiri dan mapan, mereka tidak perlu repot-repot membangun merek, jaringan, nasabah, dan sebagainya.

Teknologi yang makin maju membuka kemungkinan baru di masa datang, baik produk dan jasa, layanan, jangkauan, maupun pemasaran, yang membuat peta persaingan juga berubah. Dan, semestinya, perubahan tersebut diperhitungkan pada setiap pengambilan keputusan bisnis yang sifatnya strategis oleh para bankir.

Bukan hanya bank besar yang merasakan kebutuhan competitor monitoring untuk meningkatkan daya kompetisinya. Bank kelas menengah pun merasakan perlunya kegiatan competitor monitoring. Pasalnya, persaingan ketat ini dirasakan bank besar dan menengah. Ini, antara lain, karena bank asing tak hanya masuk ke bank swasta besar, seperti Bank Central Asia (BCA), Bank Danamon, dan PermataBank, seperti Bank CIMB Niaga, Bank Buana, dan Bank OCBC NISP.

Dengan melakukan competitor monitoring secara kontinu, bank dapat melakukan benchmarking terhadap para pesaingnya. Benchmarking bisa dilakukan pada produk, layanan, distribution channel, strategi pemasaran dan promosi, jaringan, kerja sama dengan pihak ketiga, dan lain sebagainya. Jika ingin melibas pesaingnya, bank dengan tepat tahu arah mana yang dituju dan apa yang harus dilakukan untuk mencapainya.

Selain berusaha mempertahankan keunggulan atau posisinya di percaturan perbankan Indonesia, bank juga membutuhkan competitor monitoring agar bisa survive. Dengan selalu mengikuti kiprah para pesaing, bank dapat dengan cepat melakukan perubahan agar tidak dilindas bank-bank lain yang lebih agresif menggarap pasar.

Aktivitas competitor monitoring tak cukup hanya dilakukan sambil lalu oleh masing-masing divisi bank untuk kepentingan masing-masing produknya, tapi selayaknya dilakukan unit khusus competitor monitoring secara terencana, terstruktur, sistematis, komprehensif, dan teratur.

Hasilnya juga tentu lebih berkualitas dan bernilai tinggi, sehingga berdaya guna lebih besar bagi bank tersebut untuk berkompetisi. Dengan kata lain, sistem competitor monitoring adalah senjata ampuh bagi pelaku bisnis perbankan untuk memenangkan persaingan. (*)

Penulis bekerja pada sebuah konsultan di Jakarta dan berpengalaman mengerjakan berbagai proyek perbankan.

Sumber : www.infobanknews.com

Rabu, 04 Mei 2011

Aturan transfer dana diharapkan kurangi pencucian uang

Oleh Rika Novayanti

JAKARTA: Pemerintah berharap pengesahan Undang-undang Nomor 3 tahun 2011 mengenai Transfer Dana dapat mengurangi kejahatan pencucian uang, pendanaan bagi teroris serta pendanaan terhadap kelompok pengedar dan produsen obat bius.

Budi Rochadi, Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Sistem Pembayaran dan Pengedaran Uang, mengatakan selama ini peraturan mengenai transfer dana tersebar dalam berbagai peraturan, terutama peraturan Bank Indonesia (PBI). Namun peraturan tersebut belum memuat sanksi pidana dan kepastian hukum.

"Undang-undang [UU] ini dapat mengurangi kejahatan pencucian uang dan pendanaan bagi terorisme, melalui pemberian ketegasan siapa yang dapat melaksanakan sekaligus memberi kesetaraan antarpelaku," ujarnya saat sosialisasi UU tersebut, hari ini.

Menurutnya, selama ini Financial Stability Assessment Program (FSAP), lembaga finansial internasional yang bertugas menilai ketahanan ekonomi suatu negara, menganggap Indonesia memiliki celah untuk disusupi teroris dalam hal transfer dana. Oleh sebab itu FSAP meminta agar Indonesia menegaskan persoalan transfer dana dalam bentuk UU.

Sebagian isi UU itu memuat kembali beberapa hal yang telah terdapat dalam PBI, tetapi sebagian lain merupakan penegasan dan perbaikan dari PBI yang dianggap belum cukup tegas dan masih riskan sehingga sesuai dengan standar FSAP.

"Upaya pemberantasan terorisme di Indonesia belum diakui secara internasional. Indonesia dianggap punya lubang yang dapat disusupi dalam hal transfer dana, maka kami menginisiasi UU ini," jelasnya.

Dia mengungkapkan transfer dana harian per 2010 yang tercatat oleh BI mencapai 56.433 transaksi Real Time Gross Settlement (RTGS) dengan nilai transaksi Rp 218,42 triliun atau Rp54.169 triliun dalam satu tahun.(api)

Sumber : www.bisnis.com

SCB Bantu Kembangkan LKM dan BPR

JAKARTA - Standard Charetered Bank (SCB) membantu pengembangan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia dengan meluncurkan perangkat bantu manajemen risiko serta pelatihan untuk mendukung kemajuan usaha mikro secara global.

"Melihat besarnya tantangan yang dihadapi industri keuangan mikro di Indonesia, Standard Chartered Indonesia perlu untuk membantu lembaga keuangan mikro dan Bank Perkreditan Rakyat dalam mengelola risiko bisnis mikro mereka," ujar Director Global Business Head, Microfinance Standard Chartered Prashant Thakker di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, manajemen risiko kredit sangat penting karena dalam pengembangan LKM dan BPR saat ini belum tersedia mekanisme mitigasi risiko tradisional seperti agunan dan jaminan yang perlu dimiliki dalam bisnis mikro.

Ia menjelaskan penyebaran operasi dan desentralisasi merupakan karakter khusus bagi keuangan mikro sehingga membuat risiko operasional juga memegang peranan penting terhadap pengelolaan usaha mikro.

"Kami akan membantu secara langsung karena usaha mikro saat ini sedang berkembang dan kami tidak hanya membantu dalam bidang pelatihan namun juga pembiayaan dan pelayanan bank," ujarnya.

Prashant menjelaskan, LKM saat ini juga telah bergeser jauh dari pengadaan modal secara hibah, yang merupakan tata cara tradisional menjadi mengandalkan pengadaan dana oleh bank-bank komersial.

Dengan makin meningkatnya integrasi sektor keuangan mikro serta sektor keuangan finansial, yang diikuti pengembangan produk, diversifikasi wilayah-wilayah baru, tidak hanya menambah kompleksitas resiko kredit dan operasional namun juga membawa berbagai risiko baru seperti tingkat suku bunga, nilai tukar dan likuiditas kolektif yang bermuara pada risiko keuangan.

Kondisi inilah yang mendorong peluncuran perangkat bantu manajemen risiko dengan menyertakan bagian spesifik dalam menangani pengelolaan risiko kredit, operasional dan finansial serta pendekatan dalam mengelola risiko.

"Perangkat bantu ini akan membahas konsep-konsep dari empat jenis risiko yaitu resiko kredit, operasional, keuangan dan strategis serta manajemen risiko untuk menawarkan kejelasan konseptual," ujarnya.

CEO Standard Chartered Bank Indonesia Tom Aaker menjelaskan peluncuran perangkat bantu microfinance ini merupakan salah satu langkah nyata untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi masyarakat di Indonesia.

Dalam melaksanakan program ini pihaknya menunjuk suatu lembaga konsultasi premium pada bidang pelatihan bisnis dan keuangan khusus usaha mikro untuk memberikan pelatihan dan membantu peluncuran perangkat bantu manajemen risiko bernama MicroSave, sebagai mitra. (gor/ant)

Sumber : www.investor.co.id

Memuja Manajemen, Mengindari Tipuan

Dari lima unsur CAMEL, manajemen menjadi faktor terpenting dalam menganalisis perbankan. Sayangnya, ia tidak dapat diukur secara kuantitatif. Haruskah analis perbankan kembali tertipu? Mirza Adityaswara

Dulu, sebelum krisis, pekerjaan analis perbankan (banking analyst) cukup mudah. Sebab, yang dianalisis dan ditanyakan kepada manajemen bank hanyalah angka-angka pertumbuhan kredit, pertumbuhan dana pihak ketiga, efisiensi biaya, margin bunga, dan besarnya laba. Dari lima unsur CAMEL (capital, asset, management, earning, and liquidity), mungkin sebagian besar analis hampir tidak pernah secara “sadar” memasukkan unsur manajemen sebagai unsur terpenting dalam penilaian rating suatu bank.

Karena keadaan pada waktu itu semua berjalan sedemikian baiknya, para analis—termasuk penulis sendiri—terlena dengan angka-angka fantastis pertumbuhan kredit dan laba perbankan Indonesia. Tentu saja, keadaan terlena ini didorong pula oleh pujian-pujian investor, kreditor asing, dan lembaga multilateral terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ternyata, apa yang terlihat dipermukaan “sangat baik” pada kenyataannya “sangat keropos”. Kemudian, berbondong-bondonglah para analis, kreditor, dan lembaga multilateral menceritakan kebobrokan perbankan Indonesia, maka hancurlah perbankan kita pada 1998.

Keadaan di pasar valuta asing pada waktu itu makin tidak terkendali. Sebab, gelombang pembelian valas didukung oleh banjirnya kredit likuiditas dari bank sentral—sebagai konsekuensi penjaminan deposito). Dan, keadaan itu didukung sistem devisa kita yang sedemikian bebas. Kita masih ingat reaksi di pasar modal juga sangat negatif karena memang sesuai dengan sifat pasar modal yang selalu over shoot.

Belajar dari kesalahan itu, sudah seharusnya para banking analyst di Indonesia sangat berhati-hati dalam memberikan rekomendasi “beli” untuk saham bank di Indonesia–mudah-mudahan, pendapat ini mewakili pendapat para banking analyst di Indonesia.

Dari lima unsur CAMEL, sekarang, unsur M (manajemen) menjadi unsur terpenting dalam analisis. Kalau manajemen suatu bank dari awal sudah tidak bisa dipercaya, berbicara bombastis, atau selalu menghindar bertemu analis, sebaiknya bank tersebut dihindari dan tanpa ragu-ragu, analis sebaiknya memberikan rekomendasi “sell/a void” (jual/hindari).

Apalagi jika bank tesebut dalam situasi krisis seperti sekarang pertumbuhan kreditnya masih gila-gilaan. Lebih bahaya lagi bila bank tersebut masih dikendalikan suatu keluarga atau satu pemilik. Bank-bank seperti ini kemungkinan besar menyimpan bom waktu.

Faktor keterbukaan manajemen dikategorikan sebagai good corporate governance. Sayangnya, faktor manajemen tidak bisa diukur secara kuantitatif. Manajemen bank sebaiknya secara sukarela menjelaskan kebijakan kredit dan pengembangan asetnya.

Terus terang, setelah tertipu dengan kinerja perbankan sebelum krisis, sulit sekali bagi analis untuk percaya bahwa credit culture bank-bank di Indonesia memang sekarang sudah membaik. Masih sulit bagi para analis untuk yakin bahwa sistem pemberian dan pengawasan kredit, termasuk sistem audit, saat ini sudah lebih baik ketimbang sebelum krisis.

Kualitas laporan audit juga menjadi faktor penting. Sayangnya, tidak ada sanksi bagi para auditor yang sebelum krisis memberikan kualifikasi “wajar tanpa syarat” kepada bank-bank yang ternyata sekarang terbukti melakukan pelanggaran legal lending limit secara gila-gilaan. Sebaiknya, para analis langsung memberikan tanda tanya untuk laporan audit bank yang dihasilkan kantor akuntan yang kredibilitasnya diragukan.

Dari sisi keterbukaan, kualitas laporan publikasi memang makin lama makin baik. Dalam laporan keuangan publikasi, sekarang, kita bisa melihat penggolongan kualitas aktiva produktif dan rekening administratif. Tapi, yang masih perlu diyakinkan kepada analis adalah angka-angka yang dilaporkan memang benar adanya.

Setelah yakin akan faktor manajemen/corporate governance, barulah analis menyoroti empat unsur CAMEL yang lain, yakni capital, asset, earning, and liquidity.

Karena situasi perbankan Indonesia saat ini masih menghadapi situasi yang berat, malah kemungkinan memburuk, faktor kualitas aktiva produktif menjadi sangat penting. Ada tiga rasio kualitas aktiva yang dilihat analis. Satu, rasio aset bermasalah terhadap aset total. Dua, rasio pencadangan terhadap aset bermasalah (makin tinggi, makin baik). Tiga, rasio agunan yang diambil alih terhadap aset total.

Rasio terakhir itu penting diamati. Sebab, bisa saja, kredit bermasalah mengecil karena penghapusbukuan, tapi agunan yang diambil alih bank masih menyangkut terus di neraca bank. Sebab, bank segan menjual agunan tersebut. Bank takut harga jualnya jauh di bawah harga pengambilalihan.

Sementara itu, makin tinggi kredit bermasalah dan makin buruk situasi ekonomi, maka makin tinggi pencadangan yang diperlukan bank. Dalam situasi yang buruk seperti saat ini, tingkat pencadangan/coverage 40% terhadap kredit bermasalah adalah sangat kurang, walaupun dulu sebelum krisis tingkat coverage 40% mungkin dianggap cukup. BCA adalah salah satu contoh bank yang memiliki tingkat coverage tinggi (120%).

Modal bank selalu menjadi unsur penting, apalagi dalam situasi ekonomi yang buruk. Untuk perbankan Indonesia, terutama bank-bank rekap, capital adequacy ratio (CAR) saja tidak cukup. Sebab, CAR bank-bank rekap sudah terdistorsi oleh besarnya proporsi obligasi rekap dalam neraca bank-bank tersebut. Rasio CAR harus dilengkapi dengan rasio modal terhadap total aset.

Bagi investor, rasio laba adalah sangat penting, terutama return on equity (ROE). Bagi investor, percuma saja suatu bank memiliki CAR tinggi, tapi ROE-nya rendah. Sebab, hal itu mencerminkan bahwa bank tersebut over capitalized. Artinya, bank tersebut tidak dapat memanfaatkan modalnya dengan baik.

Untuk Indonesia, investor asing menuntut ROE yang tinggi, yakni harus lebih tinggi ketimbang bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ditambah dengan hedging cost. Artinya, investor asing menuntut ROE sekitar 27%, suatu hal yang hampir mustahil bisa ditemukan di perbankan.

Bagi perusahaan credit rating rasio, mungkin, rasio return on asset (ROA) lebih penting daripada ROE. Secara kasar bisa dikatakan bahwa suatu bank dengan ROA lebih dari 2% sudah merupakan prestasi sangat baik.

Laba juga ditentukan oleh efisiensi biaya operasiona. Analis menggunakan cost to income rasio, yang penghitungannya agak berbeda dengan rasio yang dipakai BI. Patokan untuk cost to income ratio perbankan Indonesia adalah sekitar 50%. Agar bank-bank itu mampu menurunkan rasio biaya tersebut ke bawah 50%, harus ada usaha ekstrakeras untuk mengurangi biaya dan meningkatkan pendapatan. Terus terang, saya tidak melihat ada keberanian bank-bank rekap melakukan langkah drastis seperti itu.

Seberapa penting rasio likuiditas saat ini? Untuk bank-bank rekap, loan to deposit ratio (LDR) tidak bisa mencerminkan tingkat likuiditas bank tersebut. Maklum, sebagian besar kredit sudah dipindahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan digantikan dengan obligasi rekap.

Artinya, untuk bank-bank rekap, bila mau menghitung LDR, kita harus memasukkan komponen obligasi rekap ke dalam pembilangnya (kredit ditambah obligasi rekap dibagi dengan dana pihak ketiga). Bila obligasi rekap kita masukkan, akan terlihat bahwa LDR bank-bank rekap tidak rendah, tapi sudah mencapai 80%-100%.

Saya lebih senang menggunakan rasio net penempatan jangka pendek terhadap dana pihak ketiga untuk melihat tingkat likuiditas suatu bank. Tapi satu hal harus disadari bahwa sebaik-baiknya suatu bank menjaga tingkat likuiditasnya, akan tetap hancur bila bank itu dilanda rumor dan rush. Karena itu, yang terpenting bagi bank adalah menjaga kepercayaan para deposan. (*)

Penulis adalah pengamat perbankan.

Sumber : www.infobanknews.com

Selasa, 03 Mei 2011

Bappenas: baru 8% pengusaha kecil mendapat kucuran kredit

Bappenas: baru 8% pengusaha kecil mendapat kucuran kredit
Oleh Nina Dwiantika

JAKARTA. Kucuran kredit mikro masih belum terjangkau oleh industri perbankan. Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat dari 52,7 juta penguasaha mikro baru sekitar 8% yang telah memperoleh pinjaman dari perbankan.

Herry Suhermanto, Direktur Koperasi dan UKM, sangat menyayangkan minimnya kucuran kredit ke sektor mikro yang ada di Indonesia. Padahal pengusaha di tanah air hampir 99% adalah pengusaha mikro, sedangkan 1% pengusaha menengah dan 0,4% pengusaha besar. "Sampai akhir 2010, produksi pengusaha kecil itu bisa mencapai 23 juta/tahun untuk produk-produk yang ia buat seperti di sektor industri, perdagangan dan pertanian," jelas Herry.

Lebih jauh, Herry berharap bank-bank swasta bisa masuk ke penyaluran kredit usaha mikro walaupun masih ada beberapa kendala soal pengaturan di bank luar pemerintahan untuk menyalurkan kredit mikro. Pasalnya, saat ini, penyaluran kredit usaha mikro banyak dipegang oleh bank-bank BUMN dan BPD.

Ia menyatakan, Bappenas beserta lembaga dan kementerian lain telah berupaya untuk memberikan pemahaman dan edukasi kepada pengusaha kecil untuk dapat membuat proposal yang bisa diterima bank. Tahun ini Bappenas menargetkan target penyaluran KUR mencapai Rp 20 triliun karena produktivitas usaha mikro itu bisa mencapai Rp 32 juta per tahun.

Sumber : www.kontan.co.id

Simpan Dana di Bank, Nasabah Harus Tahu Siapa Bankirnya

Untuk menjaga dan memberikan perlindungan kepada nasabah, bank sentral patut mengimbau nasabah untuk mengetahui bankir yang mengelola dananya, jadi tidak hanya satu sisi dari industri perbankan. Paulus Yoga

Jakarta–Nasabah industri perbankan perlu mengetahui siapa orang yang mengelola dana mereka, yang diberikan atas dasar kepercayaan.

Hal tersebut diutarakan Advokat dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Maqdir Ismail, dalam Seminar Nasional: “Masih Perlukah Penggunaan Debt Collector?,” yang diadakan Infobank bekerja sama dengan Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia, Hotel Nikko, Jakarta, Senin, 2 Mei 2011.

“Belum pernah ada aturan bahkan anjuran dari bank sentral kepada nasabah supaya KYB (know your bankers),” tukasnya.

Ia melanjutkan, para bankir harus diterima nasabah sebagaimana adanya, mau “bopeng” atau tidak harus diterima nasabah .

“Jadi, ke depan perlu ada imbauan know your bankers ini,” tandasnya.

Menurutnya, Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral, memang mengimbau perbankan untuk melakukan prinsip kehati-hatian, yang ditujukan kepada perhatian bank terhadap nasabahnya.

Adapun hal tersebut termuat dan diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No.5/23/PBI/2003. Dimana bank diberi ‘kewajiban’ untuk memantau nasabahnya. Bank harus mencermati transaksi nasabahnya, bank harus melapor kalau nasabahnya melakukan transaksi yang mencurigakan.

Memang saat ini, dalam memberikan perlindungan kepada nasabah, BI sudah mengatur bank untuk memberikan informasi yang sepatutnya kepada nasabah maupun calon nasabah mengenai karakteristik produk-produk yang ditawarkan bank, sebagaimana dimuat dalam PBI No.7/6/PBI/2005. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Kartel Suku Bunga yang Tidak Efektif

Kesepakatan suku bunga ini bukan ide untuk memecahkan pertumbuhan kredit. Juga, bukan jalan alternatif agar suku bunga kredit berangsur turun. Untuk apa suku bunga rendah jika toh permintaan kredit juga masih rendah? Eko B. Supriyanto

Suku bunga perbankan masih terus menjadi bahan pembicaraan menarik. Apalagi, setelah BI Rate turun ke titik terendah, 6,5%–namun tidak diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Suku bunga kredit masih saja membandel. Nah, karena bandelnya suku bunga kredit akibat biaya dana (cost of funds) bank-bank yang masih tinggi, Bank Indonesia (BI) pun melakukan moral suation ke bank-bank.

Hasilnya, tetap saja suku bunga tak bergerak turun secara berarti. Entah karena desakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), entah siapa, BI melakukan monitoring terhadap 14 bank yang bersepakat menurunkan suku bunga. Wajar saja BI melakukan monitoring suku bunga dana ini karena selama ini para bankir masih mengeluhkan permintaan suku bunga dari perusahaan-perusahaan besar, terutama dana-dana badan usaha milik negara (BUMN).

Banyak yang ragu akan efektivitas kartel suku bunga yang dilakukan oleh 14 bank atas desakan BI tersebut. Pertama, perilaku suku bunga tidak bisa dengan paksaan seperti zaman belum ada instrumen moneter. Atau, memang kenyataan ini merupakan kegagalan instrumen moneter BI.

Kedua, kesepakatan suku bunga boleh jadi akan berlangsung sementara karena masing-masing bank mempunyai risiko sendiri-sendiri dan kebutuhan likuiditas sendiri. Ketiga, struktur dana bank juga berbeda-beda antara satu bank dan bank lain.

Kebijakan BI yang akan memberikan sanksi terhadap bank-bank yang tidak patuh merupakan kebijakan out of the box—kebijakan yang tidak lazim. Kebijakan out of the box terkadang perlu dilakukan. Namun, menyangkut suku bunga, tingkat keberhasilannya juga rendah.

Apalagi, sebenarnya dalam bisik-bisik di kalangan bankir, kesepakatan penurunan suku bunga oleh 14 bank ini diyakini oleh para bankir juga tidak akan langgeng. Bahkan, banyak yang mengatakan tidak akan efektif. Apalagi, struktur perbankan sekarang juga sudah berubah tidak seperti 1991-an ketika J.B. Sumarlin membuat kartel suku bunga yang dikenal dengan sebutan Kesepakatan Hilton yang terdiri atas bank-bank BUMN, yang waktu itu benar-benar menjadi market leader.

Pertanyaannya, mengapa suku bunga tetap membandel? Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), setidaknya ada lima hal penting. Pertama, pemerintah sendiri sebenarnya menginginkan suku bunga tinggi yang tercermin dari yield Surat Utang Negara (SUN) yang mencapai 10%. Ini artinya, pemerintah mempunyai risiko yang lebih tinggi dengan bank-bank—jika suku bunganya dipaksa rendah. Atau, dalam dimensi yang lain bank-bank bersaing dengan pemerintah yang risikonya rendah namun suku bunga tinggi.

Kedua, biaya dana bank-bank yang tinggi. Selama ini seperti pengakuan para bankir, bank-bank ditekan nasabah untuk memberikan suku bunga yang tinggi. Nah, karena tingkat persaingan antarbank yang tajam, bank-bank pun mengikuti kata pemilik dana. Tentu ini akan berdampak pada peningkatan biaya dana.

Ketiga, tingginya risiko atau sering disebut dengan premium risk yang masih tinggi. Angka kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) merupakan bukti bahwa risk premium masih tinggi. Sehingga, untuk meng-cover risiko suku bunga kredit juga harus tinggi karena menginginkan margin yang tetap tebal.

Keempat, bankir dan pemilik tetap menginginkan margin yang tebal agar target keuntungan tercapai. Apalagi, pemilik sekarang ini menargetkan keuntungan yang besar dengan target pengembalian modal yang cepat. Hal itu berlaku bagi bank-bank asing yang baru dibeli empat tahun belakangan ini. Juga, pemerintah yang menargetkan laba bank-bank BUMN juga besar.

Kelima, sifat kredit yang dibiayai memang secara genetik sudah tinggi, yaitu kredit sektor konsumsi dan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kredit konsumsi yang sekarang menjadi primadona memang suku bunganya tinggi. Apalagi, sekarang ini pertumbuhan total kredit juga masih rendah.

Nah, kelima hal itulah yang menjadi beban suku bunga masih bandel. Rendahnya pertumbuhan kredit memaksa para bankir tetap mempertahankan margin yang besar sehingga tingkat keuntungan dapat dipertahankan. Rendahnya pertumbuhan kredit bukan menyangkut semata-mata suku bunga yang tinggi, melainkan karena permintaan kredit yang rendah akibat permintaan barang juga rendah dengan risiko ketidakpastian ekonomi yang masih berkibar-kibar. Lihat saja, angka undisbursed loan yang juga masih tinggi.

Langkah kesepakatan suku bunga ini tidak akan efektif dalam jangka panjang. Apakah setelah kesepakatan suku bunga dana, suku bunga kredit juga harus dibuat kesepakatan? Kesepakatan suku bunga dana ini tidak menunjukkan risiko yang berbeda antarbank, padahal kondisi bank sangat berbeda risikonya. Namun, kesepakatan suku bunga ini juga membawa peluang bagi bank-bank di luar 14 bank itu untuk dapat menangkap dana-dana muntahan.

Kesepakatan suku bunga ini bukan ide untuk memecahkan pertumbuhan kredit. Juga, bukan jalan alternatif agar suku bunga kredit berangsur turun. Untuk apa suku bunga rendah jika toh permintaan kredit juga masih rendah?

Sumber : www.infobanknews.com

Perbankan dan Public Performance Pressure

Sebuah bank yang tidak menerapkan pelayanan prima akan terpinggirkan dari kancah bisnis perbankan. Indeks kepuasan nasabah di industri perbankan salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan industri-industri lain. Ubaidillah Nugraha

Publik adalah tema sentral dan ini harus menjadi perhatian semua pihak. Fenomena tersebut sering kita namakan public performance pressure. Kita sitir pernyataan Scott Fritzen Phd., profesor kebijakan publik di Lee Kuan Yew, School of Public Policy—salah satu institusi pencetak pemimpin di sektor publik terkemuka di dunia—dalam salah satu iklan mereka untuk publik.

Saat ini, menurutnya, di seluruh penjuru Asia terlihat betul munculnya gelombang tuntutan terhadap kinerja institusi yang terkait dengan pelayanan publik. Tidak peduli institusi itu adalah swasta ataupun pemerintah, sepanjang salah satu fungsinya adalah melayani masyarakat, akan merasakan betul naiknya standar tuntutan untuk menunjukkan kinerja yang terbaik.

Mereka percaya bahwa keberhasilan menangani persoalan ini adalah salah satu kunci sukses ekstensi pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, terutama di dunia yang sedikit-banyak berubah setelah porak-poranda dihantam krisis keuangan global.

Di beberapa negara Asia, bahkan pemerintah sebagai tulang punggung pelayanan publik telah menjadi institusi berkinerja terbaik mengalahkan peers mereka dalam melakukan pelayanan, termasuk dibandingkan dengan sektor swasta nasional bahkan multinasional. Singapura, Malaysia, Hong Kong bisa dijadikan contoh.

Ironisnya, tekad kuat pemerintah negara-negara tetangga ini untuk menjadi yang terbaik belum banyak menggugah semangat sebagian besar institusi pemerintah maupun swasta untuk mencapai hal yang sama di dalam praktik. Itu karena slogan telah berseliweran di mana-mana. Tantangannya justru di tahap implementasi.

Kita lihat perkembangan terkini di negara-negara maju, misalnya di Amerika Serikat (AS). Baru-baru ini Presiden AS, Barrack Obama, meluncurkan reformasi sektor kesehatan yang intinya tidak saja menurunkan secara drastis biaya asuransi, tapi juga meningkatkan keterbukaan kepada pasein. Hal ini menunjukkan betapa negara maju seperti AS saja masih terus berusaha memberikan yang terbaik kepada warganya di sektor kesehatan. Mereka mencoba menjadi pelayan bagi masyarakatnya.

Paradigma bahwa publik mesti dilayani harus dilakukan karena sudah menjadi tuntutan global saat ini. Dalam bukunya, Kepemimpinan Melayani atau Servant Leadership (2002), Robert K. Greenleaf, mengemukakan bahwa inspirasi dalam menulis buku yang akhirnya menjadi salah satu buku bisnis terlaris selama 20 tahun terakhir adalah pernyataan dari seorang profesor.

Mereka mengemukakan kekhawatirannya betapa banyak institusi besar, baik itu bisnis, pemerintah, serikat pekerja maupun universitas, menganggap dirinya superior sehingga tidak merasa berkewajiban memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Hal yang mungkin masih akan terus berlangsung sampai kemudian masyarakat akan memberontak, public performance pressure merebak ke mana-mana.

Belajar dari industri yang hidupnya bergantung pada seberapa baik mereka dalam melayani publik, kita bisa berkaca kepada perbankan. Bank-bank terkemuka jika tidak menerapkan pelayanan prima (service excellence) akan terpinggirkan dari persaingan.

Bahkan, mereka telah lama menerapkan balance scorecard, yang dalam hal ini perspektif nasabah menjadi salah satu komponen terpenting untuk membandingkan kinerja unit-unit yang ada di dalam perusahaan. Saat ini hampir tidak mungkin sebuah bank dapat menjadi pilihan jika layanannya tidak terdepan. Celaka, misalnya, jika bank tidak memiliki layanan call center yang senantiasa dituntut mengatur dan mengelola ekspektasi masyarakat.

Bank-bank merasa bahwa mereka belum pantas dikatakan yang terbaik jika dalam hal pelayanan prima belumlah yang teratas. Tidak mengherankan jika indeks kepuasan nasabah di industri perbankan merupakan salah satu yang tertinggi dibandingkan dengan industri-industri lain.

Bahkan, sebagai simbolisasi, misalnya, Direktur Utama Bank Mandiri pada suatu kesempatan mendatangi sebuah cabang dan menjadi teller bagi nasabah yang datang. Inilah potret tekad untuk menciptakan pelayanan prima. Perjalanan menuju ke sana begitu berliku, berbiaya tidak sedikit, tetapi ketika hal itu tercapai, salah satu fungsi bank sebagai pelayan masyarakat terwujud.

Jadi, mencobalah sebelum terlambat. Apa pun institusi tempat Anda bernaung (pemerintah, swasta, maupun badan usaha milik negara/BUMN), apa pun sektor yang Anda geluti saat ini (kesehatan, telekomunikasi, consumer goods, dan lain-lain), cepat atau lambat saat tersebut akan sampai.

Pakar manajemen, Stephen Covey, mengutip Victor Hugo yang mengatakan bahwa “There is nothing as powerful as an idea whose time to come” (Tidak ada yang lebih kuat dari sebuah ide yang waktunya telah datang). Menurut Covey, ide servant leadership saat ini telah datang di depan pintu para pemegang kebijakan di mana pun di seluruh penjuru dunia. (*)

Penulis adalah praktisi keuangan perbankan dan pemerhati kebijakan publik.

Sumber : www.infobanknews.com

Senin, 02 Mei 2011

Keharusan Mencetak Bankir Konsumer

Berkarier menjadi consumer banker merupakan pilihan bijak saat ini. Mengembangkan talenta-talenta di bidang consumer banking secara lebih sistematis sudah merupakan keharusan. Awaldi

Menurut data statistik yang dikeluarkan Infobank, porsi kepemilikan asing atas perbankan nasional makin lama makin besar. Data terakhir menyebutkan sekitar 47% kepemilikan bank sekarang ini berada di tangan asing.

Lihat saja, hampir semua bank swasta nasional dimiliki asing: Bank Central Asia (BCA), Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Danamon, Bank CIMB Niaga, PermataBank, Bank Buana, Bank OCBC NISP, dan seterusnya.

Pelan-pelan terdapat kecenderungan penggantian nama bank tersebut menggunakan flag dari holding company-nya. Niaga dan Lippo bergabung menjadi CIMB Niaga, Buana menjadi UOB Buana, NISP akan menjadi OCBC NISP, sementara Haga dan Hagakita menjadi Rabobank.

Data di atas merupakan penggambaran dari perkembangan global market. Dalam hal ini, kapital tidak lagi mengenal batas negara. Investasi merupakan kegiatan lintas negara.

Teori supply dan demand berlaku. Bahasa premannya, cocok harga, angkat barang. Air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sementara, kapital mencari tempat investasi dengan harga wajar yang dapat menghasilkan return yang tinggi.

Penempatan saham mayoritas perusahaan dari negara lain di bank-bank tersebut tentu diikuti dengan penempatan-penempatan eksekutifnya. Ini merupakan konsekuensi logis.

Penempatan investasi dengan harapan return sesuai dengan kalkulasi tentu harus dapat diamankan dengan meyakinkan bahwa leadership dan sumber daya yang ada akan mampu melakukannya.

Holding company-nya memilihkan beberapa sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang dapat meyakinkan pencapaian ini. Umumnya hal ini terjadi ditingkat eksekutif puncak (top executive).

Nakhoda beberapa perusahaan swasta kemudian dikenal sebagai ekspatriat. Begitu juga beberapa jajaran direksi dan jajaran perjabat seniornya.
Yang menarik, nama-nama yang disebutkan di atas maupun beberapa eksekutif ekspatriat yang ditempatkan di bank-bank tersebut umumnya berasal dari corporate banking dan/atau investment banking (selanjutnya ditulis corporate banking saja).

Hal ini wajar karena beberapa alasan. Pertama, high profile banker umumnya berasal dari coporate banking. Ekstremnya, seseorang baru disebut bankir kalau berasal dari mainstream ini.

Pencitraan ini juga terefleksi dalam film-film yang selalu menunjukkan bankir sebagai corporate/investment banker. Oleh sebab itu, banyak expat, apalagi yang muda-muda dan lulusan master business of art (M.B.A) umumnya lebih tertarik mendapatkan eksposur di corporate banking ketimbang consumer banking.

Kedua, margin untuk mendapatkan return yang cepat dan besar berasal dari corporate banking. Wajar jika owner memberikan perhatian lebih kepada sektor ini untuk dapat memberikan pengembalian modal yang lebih cepat.

Ketiga, sektor dalam industri perbankan yang knowledge-nya bersifat relatif generik dan kegiatannya lintas negara adalah corporate banking. Menjadi corporate banker cukup dengan bermodalkan intelegensia dan mahir dalam ilmu corporate finance (atau lulusan M.B.A spesialisasi dalam corporate finance).

Dengan ilmu yang bersifat generik tersebut, mereka bisa menerapkannya dalam analisis dan dealing dengan perusahaan-perusahaan besar yang umumnya juga sudah mengglobal.

Dengan kata lain, ilmu dan teknologi yang dibutuhkan bersifat standar dan global dan bisa diterapkan lintas negara. Artinya, gampang bagi expat untuk menyesuaikan diri karena ilmu yang digunakan sama walaupun implementasi di negara yang berbeda.

Oleh karena itu, kalau Anda lihat, hampir semua chief executive officer (CEO) dan expat-expat yang ditempatkan pemiliknya di bank nasional yang dibeli mempunyai latar belakang sebagai corporate banker. Sebaliknya, hampir seluruh eksekutif puncak consumer banking dikuasai bankir-bankir Indonesia, baik dulu maupun sekarang. Jarang atau, kalau boleh dibilang, tidak ada expat mengambil posisi ini.

Sebagai contoh, Citibank pada 1990-an pernah sangat sukses dengan kartu kreditnya. Posisi itu dapat diraih berkat kepemimpinan Enny Hardjanto sebagai marketing director. Contoh lain Winny E. Hasan, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Bank DKI (Daerah Khusus Ibu Kota), pernah menjadi ikon consumer banking Bank Niaga pada 1990-an.

Sebut juga beberapa nama lain: Dian Soerarso (Bumiputera), Rudy N. Hamdani (Bank OCBC NISP), Dyah Sulianto (BNI), Malik Habir (PermataBank), Mohammad Helmy (BRI), dan lain-lain. Mereka semua “asli” Indonesia.

Dalam sejarah dan perkembangannya, sampai dengan sekarang, sektor consumer banking ini kelihatannya tidak diincar dan kurang diminati ekspatriat. Kenapa demikian?

Menjadi consumer banker tidak cukup hanya dengan penguasaan ilmu banking dan corporate finance. Seseorang harus menguasai dengan baik budaya, sistem sosial, dan psikologi nasabah-nasabah individu yang dilayaninya. Ini tidak cukup dipelajari dari sekolah M.B.A, management trainee, atau ilmu-ilmu logika dan “ilmu standar” lainnya.

Dibutuhkan penjiwaan dan tingkat social-emotional inteligency tersendiri sehingga produk-produk yang dijual sesuai dengan situasi masyarakat dan dibeli nasabah individu.

Enny Hardjanto sukses memperkenalkan dan membesarkan kartu kredit Citibank di Indonesia karena dia tidak sembarang menjual kartu kredit. Dia paham dan mengerti dengan situasi kejiwaan profesional muda Indonesia, yang pada waktu itu gila dengan “gengsi” dan barang-barang branded.

Enny kemudian memosisikan kartu kredit Citibank bagaikan BMW bagi pasaran mobil-mobil pribadi. Kartu kredit Citibank tidak untuk semua orang, tetapi khusus untuk orang yang membutuhkan “identitas” dan pengakuan. Kartu kredit Citibank dijual dengan harga premium. Kartu tersebut laku bak pisang goreng.

Winny E. Hasan juga sukses mem-Bank Niaga-kan Jawa Timur karena yang bersangkutan mengerti watak orang Jawa Timur. Maka, muncullah waktu itu cabang pertama di Indonesia yang disebut dengan ladys branch.

Semua staf terdiri atas wanita, dari pemimpin cabang hingga tenaga satuan pengamanan (satpam). Winny juga memperkenalkan konsep “uang muka tidak soal” dalam kredit mobil. Caranya itu membuat masyarakat Jawa Timur tidak bisa memisahkan kredit mobil dengan kredit yang diberikan Bank Niaga.

Sama halnya dengan kesuksesan yang diraih Enny Hardjanto yang membuat masyarakat tidak bisa memisahkan kartu kredit dengan kartu kredit Citibank.

Dari hari ke hari, consumer banking makin mendapatkan tempat dalam industri perbankan. Consumer banking dan corporate banking berbagi kedudukan sama kuat, baik dalam business growth, profit generation, maupun bank leadership.

Sebelum krisis moneter (krismon), corporate banking memang menjadi primadona dan merupakan fokus banyak bank. Setelah krismon, banyak bank berlomba-lomba memutar haluan ke pendulum lainnya, yaitu consumer banking, yang memang memiliki eksposur risiko yang lebih kecil (akan tetapi return juga lebih kecil). Consumer banking dan corporate banking mulai berbagi kekuatan, menjadi sama kuat.

Kini mulai ada bankir yang dibesarkan dalam tradisi consumer banking dipercaya menjadi CEO. Tidak tertutup kemungkinan akan lebih banyak lagi di kemudian hari.

Karena itu, bagi pencari kerja dan karyawan, berkarier menjadi consumer banker merupakan pilihan bijak saat ini. Begitu juga bagi bank.

Mengembangkan talenta-talenta di bidang consumer banking secara lebih sistematis sudah merupakan keharusan. Karier di bidang ini most likely akan diisi orang lokal, sementara kebutuhan leadership-nya juga makin banyak.

Karena itu, harus disiapkan talenta-talenta yang cukup. Jangan sampai supply dari khazanah lokal terlambat. Momentumnya patut dimanfaatkan. Mencetak bankir-bankir konsumer harus dipikirkan secara sistematis oleh dunia perbankan kita. Bahkan, seyogianya dengan motor dari Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) maupun Persatuan Perbankan Indonesia (Perbani).

Kebiasaan menggunakan jalan pintas dengan hijecking dari bank lain sebaiknya dikurangi karena kalau tidak supply-nya akan menipis dan momentum yang sudah tercipta tidak bisa digunakan dengan baik.

Kiranya Perbanas dapat menjadi fasilitator untuk mengurangi kebiasaan hijecking yang makin menggila akhir-akhir ini. Sampai-sampai ada temen saya head-hunter yang bilang bahwa salary untuk beberapa posisi bankir (antara lain card center) sudah unreasonable, terlalu tinggi.

Hal ini disebabkan kebiasaan “membeli” karyawan dan lemahnya supply consumer banker yang berkualitas untuk bidang-bidang tertentu.

Mencetak bankir konsumer dapat dimulai melalui program management trainee (MT) di bank itu sendiri yang didedikasikan/spesialisasi dalam bidang consumer banking. Kemudian, diteruskan dengan pembinaan melalui program pendidikan berkelanjutan serta pengelolaan talenta secara sistematis melalui coaching, mentoring, pemberian tugas-tugas, dan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam hal penyelenggaraan MT, calon-calonnya dipilih dari mereka yang merupakan mahasiswa terbaik di universitasnya. Kalau perlu melalui program beasiswa/ijon yang diseleksi ketika mereka masih kuliah tahun kedua dan/atau ketiga. Dilanjutkan dengan program training dan orientasi selama lebih kurang 10-12 bulan.

Akan tetapi, “pekerjaan” mencetak bankir konsumer ini bisa juga diangkat ke tingkat nasional dengan melibatkan Perbanas School (atau sekarang dikenal dengan APBI, Asia Pacific Banking Institute).

Keterlibatan Perbanas ini dapat dipikirkan, antara lain dengan menciptakan graduate khusus untuk consumer banking. Akan lebih baik lagi dibungkus dalam kerja sama link and match (pada tahun terakhir) dengan bank-bank terkait dalam format management trainee. Sehingga, lulusan khusus APBI untuk consumer banking ini bisa benar-benar terpakai dan sesuai dengan kebutuhan.

Pada akhirnya, diharapkan consumer banking, the last of the mohican, tetap selamanya diisi bankir-bankir lokal. (*)

Penulis kini memimpin sebuah Leadership Institute di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebelumnya dia pernah menjadi head of HR salah satu bank di Jakarta.

Sumber : www.infobanknews.com