Senin, 14 November 2011

Nih, Alasan Kenapa Suku Bunga Kredit Sulit Turun

Nih, Alasan Kenapa Suku Bunga Kredit Sulit Turun

Tingginya suku bunga kredit di Indonesia dibanding negara-negara ASEAN lainnya terjadi karena beberapa hal. Apa saja alasan perbankan susah menurunkan suku bunga pinjaman? Paulus Yoga

Jakarta–Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menilai, ada beberapa alasan yang menyebabkan tingkat suku bunga pinjaman perbankan di Tanah Air jauh lebih tinggi dibanding negara-negara sekawasan.

“Jadi, tidak lepas dari tingkat inflasi, rendahnya suku bunga simpanan, serta penetrasi perbankan terhadap masyarakat,” tukas Ketua Perbanas Sigit Pramono, saat ditemui wartawan di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan, di Malaysia dan Singapura masyarakat yang belum menerima akses bank jauh lebih sedikit dibanding di Indonesia, sehingga ekspansi bank tidak sebesar di Tanah Air. Hal tersebut membuat biaya investasi-investasi baru bank-bank di sana tidak sebesar bank-bank di Indonesia.

Industri perbankan sendiri menerima seruan cukup kuat untuk menurunkan suku bunga pinjaman, apalagi suku bunga acuan (BI rate) telah diturunkan bank sentral dari sebelumnya di level 6,75% menjadi 6%.

Perbanas menilai, kendati arah penurunan suku bunga pinjaman akan sejalan dengan penurunan BI rate, tapi prosesnya akan membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

“Secara jangka panjang penurunan BI rate dan SBDK (suku bunga dasar kredit) inline. Hanya saja, tidak serta-merta. Ada rentang waktunya yang tidak bisa langsung dipastikan,” ucap Sigit.

Selepas menurunkan suku bunga acuan, Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution menyatakan, akan memanggil bank-bank yang tidak memasukkan penyesuaian suku bunga pinjaman dengan BI rate dalam rencana bisnis bank (RBB) tahun 2012.

“Kita akan lihat RBB-nya, dan kita akan panggil kalau kita anggap RBB-nya tidak memasukkan faktor perubahan (BI Rate) ke dalam rencana mereka,” tandas Darmin. (*)

Sumber : Infobank


Berbank di Mal, Kenapa Tidak?

Membaca tren yang terjadi di antara pengunjung mal, bank perlu makin memperhatikan mal sebagai lokasi distribusinya. Bank juga perlu mempelajari aktivitas pengunjung yang makin beragam agar bisa mendesain kantor dan layanan yang pas untuk para pengunjung dan sekaligus nasabah itu. Harry Puspito

Area mal di Jakarta diperkirakan mencapai lebih dari 2,5 juta meter persegi. Dalam dua tahun, sebuah media memrediksi akan terjadi lonjakan area mal hampir satu juta meter persegi atau hampir 40% dari area sekarang. Ini adalah sebuah angka yang spektakuler mengingat occupancy rate mal, akhir-akhir ini, baru mencapai 76,3% dan cenderung menurun. Bisa dibayangkan bila mal-mal baru itu dibuka. Di sisi lain, situasi ekonomi negeri ini tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, sehingga daya beli masyarakat bergeming.

Tak heran jika saat ini disinyalir banyak mal yang sepi pengunjung. Kalaupun ada yang ramai, itu kebanyakan terjadi pada akhir pekan. Pada hari-hari biasa, khususnya Senin, kebanyakan lengang. Beberapa mal baru sangat sepi pengunjung, termasuk pada akhir pekan. Bahkan, ada mal yang sudah tutup. Seperti, Sudirman Palace di daerah berprestise, segitiga emas Jakarta atau Jalan Sudirman. Padahal, mal tersebut baru beroperasi tujuh bulan.

Itu yang terjadi pada tingkat industri. Bagaimana dengan para pengunjung yang disuguhi mal-mal baru dengan segala kemewahannya itu? Apa yang terjadi dengan para pengunjung mal? Ini adalah pertanyaan yang penting untuk dijawab secara akurat. Sebab, di satu sisi, risiko untuk nimbrung berbisnis di mal akan makin besar, sedangkan di sisi lain, peluang-peluang yang tercipta juga bisa luar biasa besar, baik bagi mal itu sendiri maupun berbagai sektor tenant.

Namanya saja shopping mall atau shopping center. Tentu, pusat-pusat belanja ini didirikan untuk melayani para pembelanja yang membutuhkan berbagai produk dan layanan. Dengan mengumpulkan berbagai retailer di satu tempat, pengelola mal berusaha melayani kebutuhan-kebutuhan pembelanja dan mendapatkan bisnis dari pengelolaan malnya itu.

Namun, adanya persaingan yang keras di bisnis permalan tentu membuat pengelola mal harus berpikir keras. Mereka harus bisa memosisikan malnya di mata konsumen dan menciptakan wow factors yang kuat untuk menarik kehadiran pengunjung. Misalnya, adanya keunikan dalam penampilan dan sarana, strategi tenant mix tertentu yang pas untuk target pasar yang disasar, dan penyelenggaraan event-event tertentu.

Perkembangan mal yang luar biasa memang menarik perhatian berbagai pihak. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Sebuah media bahkan menyimpulkan bahwa pengelola mal harus mendefinisi ulang apa sebenarnya peran mal. Sebab, sekarang, banyak hal yang bisa dilakukan seseorang di mal di luar shopping, misalnya, makan siang dan bekerja di kafe-kafe yang ada. Bersosialisasi atau meeting dengan kolega atau klien juga bisa dilakukan di mal. Tidak hanya itu. Mal, khususnya kafe, juga bisa dijadikan tempat belajar para mahasiswa.

Bahkan, banyak anak muda yang datang ke mal untuk sekadar berolahraga di klub fitness yang ada di tempat itu. Anak-anak sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah pertama (SMP) juga banyak yang suka jalan-jalan dan mampir di photo box untuk berfoto bersama. Pada akhir pekan, kita bisa lihat, banyak bioskop di mal yang dipadati penonton.

Lalu, bagaimana dengan bank dan automatic teller machine (ATM)? Ternyata, pelbagai ATM bank yang ada di mal juga ramai dikunjungi nasabah. Bank pun silih berganti melakukan promosi, menawarkan berbagai layanan mereka, seperti kartu kredit, rekening tabungan, dan berbagai kredit.

Perlu pembaca ketahui, di antara pengunjung mal, ternyata, banyak juga yang tidak berbelanja. Sekalipun berbelanja, sebatas barang-barang kecil yang mereka ingat dan butuhkan. Tentu, masih cukup banyak yang betul-betul datang untuk berbelanja, baik kebutuhan sehari-hari, seperti groceries, maupun produk fesyen.

Bagaimana sesungguhnya tren yang terjadi di mall societies? Untuk mengetahui hal ini, tentu, perlu dilakukan sebuah kajian yang lebih mendalam dan bersifat kuantitatif.

Marketing Research Indonesia (MRI) memiliki bacaan seperti ini di Jakarta dari riset “Mall Shopper Habits” yang diselenggarakan setiap dua tahun. Setiap survei, MRI mewawancarai sekitar 500 pengunjung mal dari kelas AB. Bacaan di antara semua pengunjung mal terakhir adalah dari 2005. Sedangkan, pada 2006, survei secara khusus mempelajari pembelanja dari etnis Cina. Selain itu, penulis mendapatkan akses sejumlah data yang menarik dari Roper’s Report dari GfK yang mempelajari tren-tren perilaku konsumen di dunia, termasuk Indonesia.

Survei yang dilaksanakan GfK itu mewawancarai laki-laki dan perempuan berusia 13 tahun ke atas dari enam kota besar di Indonesia dengan mengambil 70% segmen yang di atas dalam hal sosial ekonomi. Sedangkan, di banyak negara maju, survei dilaksanakan di antara semua kelas sosial ekonomi.

Survei GfK itu menunjukkan, sekitar satu dari empat (23%) remaja dan dewasa “berbelanja” di sebuah mal tertutup dalam satu bulan terakhir. Sedangkan, hampir semua orang dewasa di Jakarta adalah pengunjung mal dalam 12 bulan terakhir.

Walau ada perbedaan waktu, dapat diperkirakan, jumlah pengunjung mal jauh lebih banyak daripada jumlah pembelanja di mal. Dengan demikian, bisa disimpulkan, pada masa sekarang, sangat banyak (mungkin mayoritas) pengunjung mal memiliki tujuan lain saat berkunjung ke mal dibandingkan dengan berbelanja. Dengan kata lain, mayoritas pengunjung mal tidak berpikir belanja ketika mereka mengunjungi mal.

Sudah sejak lama, mayoritas pengunjung mal menyambangi mal sebagai sebuah rekreasi. Hal ini bertahan hingga sekarang. Tapi, ada sejumlah tren di antara mereka yang menarik dicermati, walau mayoritas pengunjung mal masih menikmati waktu-waktu berbelanjanya dan jumlah pengunjung mal cenderung menurun dalam kurun waktu survei. Artinya, makin banyak yang kurang menyukai kegiatan shopping. Kemungkinan, hal itu berhubungan dengan kesibukan konsumen yang makin tinggi, sehingga mereka tidak bisa lagi menghabiskan waktunya untuk kegiatan shopping.

Tren menarik lain adalah sekarang makin banyak pengunjung mal yang mengunjungi mal untuk sekadar berbelanja (dari 15% pada 2001 hingga 45% pada 2005). Itu adalah tren yang berbeda dengan sekelompok pengunjung mal lain yang mengunjungi mal bukan lagi untuk berbelanja, melainkan untuk berbagai kegiatan lain.

Tampaknya, situasi juga mengakibatkan kian banyak pengunjung mal yang suka mengunjungi mal-mal baru (dari 31% menjadi 45%). Bisa jadi, hal itu disebabkan mereka bosan dengan mal yang biasa mereka kunjungi. Mereka pun mencoba mal-mal baru. Tak heran jika banyak mal baru saat pertama kali buka dipenuhi pengunjung. Tapi, kalau mal-mal baru itu tak hati-hati, tidak berapa lama kemudian juga akan sepi pengunjung.

Ketika pengunjung mal ditanya, mereka mengklaim, berbelanja masih merupakan kegiatan utama mereka di mal. Ini memang agak bertentangan dengan pengamatan sepintas dan simpulan di atas. Bisa jadi, memang, pengunjung selalu berbelanja “sesuatu” ketika mereka mengunjungi sebuah mal. Tapi, mungkin, kegiatan belanja ini makin bukan yang utama bagi mereka, melainkan merupakan sesuatu yang sekalian mereka lakukan saat mereka punya aktivitas lain di mal. Mayoritas naik dan turun, tapi masih banyak yang melakukan kegiatan window shopping. Artinya, lihat-lihat saja.

Tren yang spektakuler terjadi di mal pada tahun-tahun terakhir ini adalah kegiatan makan. Angkanya melonjak dari 7%, 26%, menjadi 80%, akhir-akhir ini. Mulanya, bisa jadi, pengunjung juga makan di mal. Tapi, bagi mereka, itu merupakan kebutuhan sekunder ketimbang belanja. Tapi, sekarang, tampaknya, sangat banyak yang datang ke mal benar-benar untuk makan, entah siang entah malam.

Satu hal menarik, pengunjung mal mengklaim, mereka melakukan transaksi-transaksi perbankan melalui cabang bank (10%) dan bahkan lebih banyak lagi yang melakukannya melalui ATM (24%)—yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak disebutkan mereka.

Akhir-akhir ini, memang, bank tambah aktif masuk ke mal-mal dengan membuka cabang. Lebih-lebih menempatkan ATM masing-masing. Sejumlah bank bahkan membuka kantornya di mal-mal pada akhir pekan. Beberapa bank juga banyak yang menawarkan layanannya dengan melakukan promosi dan penjualan di mal-mal, seperti kartu kredit, rekening tabungan, dan layanan electronic channel (e-channel).

Bisa jadi, kegiatan pemasaran bank yang agresif di mal merupakan salah satu trigger makin meningkatnya kesadaran kegiatan berbank di mal, akhir-akhir ini. Kebutuhan akan uang tunai saat pengunjung mal berbelanja tentu mendorong mereka pergi ke ATM dan cabang bank.

Namun, tren ini bisa juga sejalan dengan perubahan kebiasaan pengunjung mal yang melakukan banyak kegiatan nonbelanja di mal. Sedangkan, mereka memang mencari mal di lokasi yang strategis dan aman yang cocok untuk letak bank atau ATM yang mereka butuhkan. Membaca tren yang terjadi di antara pengunjung mal, bank perlu makin memperhatikan mal sebagai lokasi distribusi mereka. Bank-bank juga perlu mempelajari aktivitas pengunjung yang makin beragam agar bisa mendesain kantor dan layanan yang pas untuk para pengunjung dan sekaligus nasabah itu. (*)

Penulis adalah Managing Director PT Marketing Research Indonesia (MRI).

Sumber : Infobank

10 Bank Besar Berebut Tabungan Nasabah

Kunci keberhasilan sebuah bank menengah kecil terletak pada keberhasilannya membina nasabah kredit secara baik, karena selain nasabahnya KW3, harga dananya juga relatif mahal. Kuncinya pada kedekatan kreditor dengan nasabah. Tim Biro Riset Infobank

Persaingan memperebutkan nasabah tabungan luar bisa dahsyatnya. Satu bank memberi hadiah mobil kepada nasabahnya, bank yang lain memberi hadiah uang tunai. Satu bank memberi hadiah mobil mewah kepada nasabahnya, bank yang lain mempersilakan nasabahnya memilih hadiahnya sendiri. Wajar jika bank-bank papan atas berebut tabungan masyarakat karena selain harganya murah, dapat menyumbang fee based income lewat transaksinya.

Berdasarkan data Biro Riset Infobank (birI) mengenai posisi tabungan 10 bank besar menunjukkan bahwa mereka senantiasa saling berebut tabungan masyarakat. Hal itu bisa dilihat dari pertumbuhan dan sekaligus perebutan pangsa pasar. Lihat saja per Juni 2011, empat bank besar, yaitu BCA, Bank Mandiri, BRI, dan BNI, menurun tipis pangsa pasarnya. Ke mana nasabah tabungannya pergi?

Jika melihat angka-angka pertumbuhan tabungan bank-bank lain dalam liga utama ini, sebut saja Bank CIMB Niaga dan PaninBank, tabungan kedua bank tersebut naik tipis. Sementara itu, Bank Danamon, PermataBank, dan Bank Internasional Indonesia (BII) tabungannya turun tipis. Jadi, bisa disebutkan bahwa tabungan bergerak lebih cepat ke kelompok bank di bawah bank-bank papan atas itu. Itu artinya, program yang dijalankan Bank CIMB Niaga dan PaninBank relatif berhasil.

Berdasarkan pendekatan statistik, Biro Riset Infobank mengelompokkan 10 besar bank ke dalam empat kelompok, yaitu (1) Bank Mandiri, (2) BRI dan BCA, (3) BNI, dan (4) Bank CIMB Niaga, Bank Danamon, PaninBank, PermataBank, BII, dan BTN. Namun, kenyataannya, sebenarnya ke-10 bank tersebut saling berebut pangsa pasar.

Bank Mandiri yang paling besar, dengan modal di atas Rp50 triliun, masuk ke dalam kelas bank internasional. Namun, tidak ada bedanya dengan BII yang kelasnya lebih kecil. Harusnya, BI memikirkan, apa intensifnya menjadi bank internasional sekarang ini. Apa artinya kelas-kelas bank yang tertuang dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Namun, lebih jauh, dengan adanya kemudahan nasabah melakukan transaksi di berbagai ATM, maka bank yang membuat produk tabungan setara dengan deposito bunganya, seperti Taseto (tabungan setara deposito) dari Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN), dinilai relatif berhasil. ”Itu yang akan mengurangi pangsa pasar tabungan bank-bank besar,” kata salah seorang direksi bank papan atas.

Jika demikian halnya, bank-bank menengah kecil setidaknya dapat membuat produk tabungan yang bunganya setara dengan deposito. Atau, kalau pasar kreditnya sangat bagus, seperti BTPN atau Bank Danamon tak akan tergerus net interest margin (NIM), dapat membuat produk tabungan dengan bunga di atas deposito. Atau, giro dengan suku bunga yang setara pula.

“Kunci keberhasilan sebuah bank menengah kecil terletak pada keberhasilannya membina nasabah kredit secara baik, karena selain nasabahnya KW3, harga dananya juga relatif mahal. Kuncinya pada kedekatan kreditor dengan nasabah,” kata seorang bankir senior ketika mengomentari mahalnya dana pihak ketiga bank-bank menengah yang membuat produk tabungan berbunga mahal. (*)

Sumber : Infobank


Sabtu, 12 November 2011

Bunga kredit turun, ditunggu semua orang

JAKARTA. Langkah Bank Indonesia (BI) memangkas bunga acuan (BI rate) sebesar 0,5% atau 50 basis poin (bps) menjadi 6%, kemarin patut mendapat apresiasi. Kini, posisi bunga acuan ini berada di level terendah dalam sejarah semenjak BI menerapkan BI rate.
Salah satu pertimbangan BI menurunkan BI rate adalah untuk mengurangi dampak perlambatan ekonomi global. Dengan bunga murah, kegiatan ekonomi akan terpacu sehingga pertumbuhan tahun depan tetap berjalan sesuai dengan harapan. Keputusan BI ini juga serupa dengan hasil polling KONTAN terhadap sejumlah ekonom.
Tapi, agar kebijakan ini lebih bermanfaat, BI harus berupaya keras menggiring perbankan menggunting bunga kredit. Sebab, tanpa respons cepat perbankan, keputusan agresif BI akan sia-sia saja.
Sayang, persoalannya justru ada di perbankan. Selama ini bank hanya menengok BI rate saat menetapkan bunga deposito, namun malas menurunkan bunga kredit.
Lihat saja, pada Oktober 2008 hingga Agustus 2009. Selama kurun waktu itu, BI rate turun hingga 275 bps (2,75%) menjadi 6,5%, tapi bunga kredit susut tipis.
Ambil contoh, per Maret 2009, BI rate bertengger di 7,75%. Berdasarkan data BI, pada Maret 2009 rata-rata bunga kredit investasi 14,05%, modal kerja 14,99%, dan kredit konsumsi (KK) 16,46%. Artinya, selisih BI rate dan bunga kredit antara 6%-8,7%. Sementara bunga simpanan berada di bawah 8%.
Juru Bicara Bank Indonesia, Difi A. Johansyah, menyatakan, BI bertekad memantau respons bank terhadap kebijakan ini. BI juga sudah menyiapkan jurus. "Jika tak ada indikasi bunga kredit akan turun, kami akan menjalankan rencana itu," katanya, kemarin.
BI misalnya akan menerapkan patokan biaya antarbank (benchmarking). Acuannya adalah suku bunga dasar kredit (SBDK). Bank yang struktur biayanya tidak masuk akal, diharuskan untuk memperbaiki hingga batas wajar.
Sebelumnya, Direktur Pengaturan BI, Wimboh Santoso, berpendapat, jarak ideal BI rate dengan bunga kredit adalah 3%. Kini, selisihnya bisa 5%. "Bunga kredit kita tertinggi di ASEAN," katanya, Senin.
Benchmarking ini lagu lama BI. Sejak memberlakukan SBDK Maret 2011 lalu, BI sudah berkoar-koar akan mengevaluasi struktur biaya bank dan membandingkannya dengan bank lain. Delapan bulan beleid ini berjalan, janji itu tak kunjung direalisasi.
Ketua Perbanas, Sigit Pramono, menjelaskan, bunga kredit bisa turun asal deposan berhenti meminta bunga tinggi. Tanpa itu, nasabah akan pindah ke bank lain yang memberi hasil lebih tinggi.
Pada Agustus 2009, 14 bank besar menurunkan bunga simpanan, maksimal 1,5% di atas BI rate. Kebijakan ini berefek besar karena mereka penguasa industri perbankan.
Beberapa bulan setelah kesepakatan itu, bunga simpanan memang turun serentak. Tapi tak berefek ke bunga kredit. Jadi, teori bunga simpanan turun akan membuat bunga kredit turun, hanya omong kosong.

Sumber : Kontan

BI Minta Bank Lebih Efisien

JAKARTA- Bank Indonesia (BI) meminta perbankan nasional meningkatkan efisiensinya sehingga bisa mengurangi biaya dana dan menurunkan suku bunga pinjamannya terkait penurunan BI rate sebesar 50 basis poin menjadi 6%.

"Saya kira banknya harus lebih efisien, sehingga penurunan suku bunga pinjaman menjadi lebih cepat," kata Deputi Gubernur BI, Halim Alamsyah di Jakarta, Jumat  (11/11).

Menurutnya, bunga pinjaman atau "lending rate" perbankan belakangan memang sudah turun, namun penurunannya tidak secepat yang diharapkan bahkan tidak mengikuti penurunan BI rate sejak Oktober lalu telah turun 75 basis poin.

Dikatakannya, BI saat ini masih melakukan penelitian mengenai lambatnya perbankan menurunkan bunga pinjaman.

Menurut data BI kenaikan biaya dana atau overhead cost sejak 2004 sampai sekarang juga tidak naik terlalu tinggi, namun laba yang diraih perbankan meningkat sangat besar.

Return on aset bank pada 2001 rata-rata hanya 1,5% tetapi sekarang naik sampai di atas 3 persen.

"Kita sedang cari tau apakah untuk mengejar pertumbuhan besar itu memerlukan overhead yang besar seperti untuk ekspansi, peralatan besar dan sumber daya manusia yang lebih baik, kita masih teliti," katanya.

Dari fakta yang ada, BI melihat memang masih ada bank kurang efisien sehingga kurang kompetitif dengan bank lain dan ditutupi dengan memberikan suku bunga deposito yang besar.

"Kita ingin lending rate lebih cepat turunnya dan marginnya tidak terlalu lebar antara lending rate dengan suku bunga dana," katanya.

Pengamat ekonomi Ryan Kiryanto mengatakan penurunan suku bunga acuan BI atau BI rate dari 6,50 persen menjadi 6,0% harus diikuti penurunan suku bunga kredit perbankan, sehingga pertumbuhan ekonomi tetap terjaga dari dampak krisis ekonomi di Eropa.

"Perbankan harus merespon segera dengan menyesuaikan suku bunga komersial agar sektor riil lebih ekspansif bekerja," katanya.(ant/hrb)

Sumber : Investor Daily

Ada time gap penurunan BI rate dan SBDK

JAKARTA. Kendati pergerakannya sejalan, namun jangan dulu buru-buru berharap suku bunga dasar kredit (SBDK) langsung menciut saat suku bunga acuan (BI rate) diturunkan.

Ketua Persatuan Perbankan Nasional (Perbanas) Sigit Pramono menuturkan ada empat faktor yang mendorong penurunan SBDK. Pertama, jika suku bunga tabungan, giro dan deposito lebih dulu diturunkan.

"Ketiga hal itu ibaratnya kulakan kami. Kalau tiga hal itu belum turun jangan berharap bunga kredit akan turun," ujar Sigit yang ditemui usai Seminar Perpajakan Industri Perbankan 2011, Kamis (10/11).

Kedua, persaingan yang wajar di industri perbankan. Kalau satu bank sudah menurunkan suku bunga tabungan, giro dan deposito bank-bank lain otomatis juga akan mengikuti.

Ketiga, kemampuan perbankan melakukan efisiensi sebaik mungkin. Dengan begitu, perbankan bisa mengurangi beban biaya (cost of fund) dan ujung-ujungnya bisa menjual produk lebih murah.

Keempat, faktor premi risiko. Hal ini bergantung pada kondisi makro perekonomian dalam negeri. Semakin baik kondisi makro, maka makin baik pula premi risiko dan berdampak pada penurunan SBDK.

"Secara jangka panjang penurunan BI rate dan SBDK inline. Hanya saja, tidak serta-merta. Ada rentang waktunya yang tidak bisa langsung dipastikan," jelas Sigit.

Menanggapi SBDK di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara kawasan ASEAN lainnya, menurut Sigit tak lepas dari tingkat inflasi, rendahnya suku bunga simpanan, serta penetrasi perbankan terhadap masyarakat.

Di Malaysia dan Singapura masyarakat yang belum terjangkau bank jauh lebih sedikit dibandingkan di Indonesia sehingga ekspansi bank tidak sebesar di Indonesia. Alhasil, biaya investasi-investasi baru bank-bank di sana tidak sebesar bank-bank di Indonesia.

Sumber : Kontan

Suku Bunga Deposito Bergerak Stabil

Spread suku bunga kredit terhadap deposito menjadi 6,07%, turun dari 6,17% pada Agustus. Suku bunga giro dan tabungan Rupiah juga relatif stabil masing-masing sebesar 2,23% dan 2,62% dibandingkan Agustus sebesar 2,22% dan 2,67%. Rully Ferdian
Jakarta–Data Bank Indonesia (BI) menyebutkan, kondisi likuiditas di pasar uang pada Oktober 2011 yang masih berlimpah mendorong suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank) terus bergerak turun. Rata-rata suku bunga PUAB O/N turun 27 bps menjadi 5,13% dibandingkan September 2011.
Searah dengan suku bunga PUAB O/N, rata-rata suku bunga PUAB dengan tenor lebih panjang dari O/N juga bergerak ke level yang lebih rendah, namun cenderung lebih fluktuatif di jangka panjang terkait dengan volume transaksi yang tipis.
Data BI yang dikeluarkan pada Kamis, 10 November 2011, itu juga menyatakan, rata-rata suku bunga PUAB dengan tenor lebih panjang berada pada kisaran 5,14% – 6,0%, lebih rendah dibandingkan dengan September yang berada di kisaran 5,42% – 5,85%2. Di sisi risiko, persepsi risiko likuiditas di PUAB selama Oktober 2011 relatif rendah sejalan dengan kondisi pasar uang yang likuid.
Hal tersebut tercermin pada rata-rata selisih suku bunga PUAB O/N tertinggi dan terendah yang turun menjadi 6 bps dibandingkan dengan September yang tercatat sebesar 12 bps. Besarnya ekses likuiditas tercermin dari posisi instrumen operasi moneter yang meningkat.
Posisi deposit facility (DF) O/N, sebagai penempatan likuiditas bank berjangka pendek di Bank Indonesia, meningkat dari Rp78,8 triliun pada September 2011 menjadi Rp 108,3 triliun pada Oktober 2011.
Peningkatan deposit facility juga menggambarkan perilaku berjaga-jaga bank untuk ketersediaan likuiditas jangka pendek, terkait dengan ketidakpastian pasar keuangan domestik akibat perkembangan pasar global dalam penanganan krisis. Besarnya likuiditas jangka pendek (DF O/N) tersebut menyebabkan suku bunga PUAB O/N sangat rendah sehingga hampir menyentuh batas bawah koridor.
Di sisi perbankan, suku bunga kredit masih terus menurun, sementara suku bunga deposito bergerak relatif stabil. Dibandingkan dengan Agustus, sampai dengan September 2011 suku bunga kredit modal kerja (KMK), kredit investasi (KI) dan kredit konsumsi (KK) masing-masing turun sebesar 11, 4 dan 5 bps menjadi 12,39%, 12,06% dan 14,25%. Sedangkan suku bunga deposito 1 bulan relatif stabil pada level 6,83%, hanya naik 3 bps dari Agustus 2011.
Dengan perkembangan tersebut, spread suku bunga kredit terhadap deposito menjadi 6,07%, turun dari 6,17% pada Agustus. Suku bunga giro dan tabungan Rupiah juga relatif stabil masing-masing sebesar 2,23% dan 2,62% dibandingkan Agustus sebesar 2,22% dan 2,67%.
Berdasarkan perkembangan tersebut, spread antara suku bunga kredit terhadap rata-rata tertimbang suku bunga giro dan tabungan menjadi sebesar 10,42%, menyempit 2 bps dibandingkan dengan Agustus 2011. (*)

Sumber : Infobank

BI: Penurunan BI Rate Perbaiki Struktur Suku Bunga

BI berharap, dengan penurunan BI Rate, suku bunga jangka pendek juga bisa diturunkan dan jangka panjang cenderung turun. Hal ini dianggap bisa membawa pengaruh ke cost of financing yang lebih murah. Dwitya Putra
Jakarta–Bank Indonesia (BI) dinilai terlalu berani oleh beberapa pengamat dalam mengambil keputusan penurunan BI rate hingga 50 Bps ke level 6%. Menanggapi hal tersebut, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah mengatakan, pihaknya bukan tanpa tujuan melakukan keputusan tersebut.
Menurut Halim, langkah tersebut diambil tujuannya untuk melakukan perbaikan struktur suku bunga untuk berbagai tenor. Pasalnya, selama ini kalau dilihat seluk dari kecuraman suku bunga tidak terlalu bagus.
“Jadi, itulah tujuan kami melakukan penurunan hingga 50bps. Untuk memperbaiki struktur suku bunga,” kata Halim, kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 10 November 2011.
Menurutnya, jika dilihat dari suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) atau Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berdurasi satu tahun dan sembilan bulan itu sudah 6%. Sementara yang overnite sebelum diturunkan hanya 5%.
Karena itu, tambahnya, BI mengambil langkah tersebut untuk bisa mengurangi distorsi itu. “Sekarang kita hanya membuat tingkat kecuramannnya tidak terlalu tinggi, karena kalau BI rate masih di 6,5% itu kurang bagus,” ujarnya.
Halim berharap, dengan keputusan tersebut, suku bunga jangka pendek juga bisa diturunkan dan jangka panjang juga cenderung turun. Hal ini dianggap bisa membawa pengaruh ke cost of financing yang lebih murah. “Kita harapkan lending bisa lebih murah juga,” jelas Halim. (*)

Sumber : Infobank

Imbas BI Rate Enam Bulan ke Suku Bunga Kredit

Penurunan BI rate menjadi 6% dari 6,5%, diperkirakan Bank Indonesia akan diikuti oleh penurunan suku bunga kredit perbankan dalam enam bulan ke depan. Paulus Yoga
Jakarta–Harapan agar suku bunga kredit perbankan ikut turun dengan diturunkannya suku bunga acuan (BI rate) dinilai tidak akan berlangsung secara instan. Bank Indonesia (BI) melihat, ada rentang waktu penurunan suku bunga kredit setidaknya selama enam bulan.
“Penelitian BI menunjukkan terdapat time lag (rentang waktu) yang bisa sekitar dua kuartal dalam penurunan bunga kredit,” tukas Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, kepada wartawan di Jakarta, Jumat 11 November 2011.
Bank sentral memutuskan menurunkan BI rate dalam dua bulan berturut-turut, sebesar 25 basis poin dan 50 basis poin, dari posisi September sebesar 6,75%, sehingga per Oktober BI rate ada di level 6%. Penurunan BI rate tersebut lebih dulu akan diikuti oleh penurunan bunga deposito, yang diharapkan bisa diikuti penurunan suku bunga kredit ke depan.
“Yang jelas biaya dana akan turun. Namun, penurunan ini jika tidak disertai oleh penurunan efisiensi bank, dampak terhadap suku bunga kredit relatif terbatas,” tandas Muliaman.
Setali tiga uang, Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah saat ditemui wartawan disela acara “Islamic Microfinance Workshop” mengatakan, suku bunga deposito memang lebih sensitif dengan kenaikan dan penurunan BI rate.
“Sementara lending rate itu penyesuaiannya lambat. Untuk menurunkan suku bunga yang pasti bank harus makin efisien,” ucapnya. (*)

Sumber : Infobank

Tingkat Bunga Penjaminan LPS Turun 25 Bps

LPS memutuskan menurunkan suku bunga penjaminan sebesar 25 bps, yang akan efektif per 15 November 2011. Paulus Yoga
Jakarta–Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) akan menurunkan suku bunga penjaminan bank umum sebesar 25 basis poin (bps) untuk mata uang rupiah, seiring dengan penurunan suku bunga acuan (BI rate) dari 6,5% menjadi 6% oleh Bank Indonesia.
“Perubahan tingkat bunga penjaminan tersebut didasari beberapa pertimbangan antara lain kondisi perbankan yang masih menunjukkan perkembangan yang positif,” tukas Kepala Eksekutif LPS Firdaus Djaelani, dalam siaran persnya di Jakarta, Jumat 11 November 2011.
Ia menambahkan, selain dari kondisi perbankan, LPS juga mempertimbangkan deflasi yang terjadi Oktober 2011, serta tingkat inflasi 2011 diperkirakan tidak melampaui target inflasi yang telah ditetapkan pemerintah.
“Sesuai ketentuan LPS, apabila tingkat bunga simpanan yang diperjanjikan antara bank dengan nasabah penyimpan melebihi tingkat bunga wajar, maka simpanan nasabah dimaksud menjadi tidak dijamin,” tandasnya.
Keputusan LPS tersebut meliputi penurunan suku bunga penjaminan bank umum sebesar 25 bps untuk mata uang rupiah dari 7% menjadi 6,75%. Simpanan valuta asing tingkat suku bunga yang dijamin turun 25 bps dari 2% menjadi 1,75%. Sedangkan tingkat bunga penjaminan simpanan masyarakat di BPR (Bank Perkreditan Rakyat) turun 25 bps dari 10% menjadi 9,75%.
“Tingkat bunga penjaminan simpanan tersebut berlaku pada periode 15 November sampai dengan 14 Januari 2012,” pungkas Firdaus. (*)

Sumber : Infobank

Kredit UMKM Tembus Rp106 Triliun

Untuk meningkatkan kucuran kredit UMKM yang per Oktober telah mencapai Rp106 triliun, Bank Indonesia terus mendorong sinergi BPR dan bank umum pun BPD untuk penyaluran kredit, khususnya ke segmen mikro yang belum sepenuhnya tergarap. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) mencatat, kucuran kredit perbankan di sektor mikro telah mencapai Rp106 triliun. Selama 2011 sendiri, kucuran kredit di sektor mikro ditargetkan mencapai Rp128 triliun.
“Kalau dari RBB (rencana bisnis bank) kan Rp128 triliun sampai akhir tahun,” tukas Direktur Direktorat Kredit UMKM dan BPR Bank Indonesia Edy Setiadi, kepada wartawan disela acara “Islamic Microfinance Workshop” di Jakarta, Jumat 11 November 2011.
Menurutnya, per Oktober 2011 kucuran kredit ke segmen UMKM mencapai Rp106 triliun. Ia optimis sampai akhir tahun target dalam RBB bisa tercapai.
“Pasti naik, terutama November dan Desember itu sangat agresif. Kalau untuk persentase kan seiring dengan perbankan, persentase tidak lebih dari industri,” tandasnya.
Ia menjelaskan, kucuran kredit UMKM sendiri porsinya sebesar 21% dari total kredit perbankan. Per Oktober, bank sentral mencatat pertumbuhan kredit mencapai 25,6% dalam setahunan, atau mencapai Rp2.104,59 triliun, bertambah Rp428,96 triliun dalam setahun terakhir.
Untuk mendorong kucuran kredit lebih besar ke sektor UMKM, bank sentral menyiapkan strategi bagi BPR untuk bekerja sama dengan bank umum dan bank pembangunan daerah (BPD) dalam pembentukan Apex Bank, sehingga kemampuan berbisnis BPR bisa meningkat dengan adanya pembinaan dari bank induk.
“Kita buat policy apex bank, jadi ada pembagian jatah gitu untuk masuk ke mikro. Khusus kredit mikro sendiri porsinya sekitar 30% dari kredit UMKM,” pungkas Edy. (*)

Sumber : Infobank

Kamis, 10 November 2011

Kredit Perbankan Di-Drive Konsumsi dan Mikro

Kredit perbankan tetap tumbuh di tengah eksposur krisis global. Pertumbuhannya diprediksi mencapai 24%. Belum ada yang menggantikan posisi konsumer dan mikro sebagai penggerak pertumbuhan kredit perbankan. Apriyani Kurniasih
Indonesia tak perlu khawatir akan dampak krisis Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang mungkin akan meluas. Pasalnya, negeri ini memiliki pasar dalam negeri yang sangat potensial. Ketergantungan Indonesia pada ekonomi global juga terbilang minim. Bank Rakyat Indonesia (BRI) bahkan memprediksikan, kredit perbankan tahun depan tumbuh sebaik tahun ini.
Kredit konsumer masih akan menjadi driver pertumbuhan kredit pada 2012. Selain konsumer, kredit akan mengalir deras ke sektor mikro. Kredit mikro diperkirakan juga akan menjadi motor penggerak pertumbuhan kredit perbankan. Apalagi, sektor ini terbukti paling tahan terhadap tempaan krisis.
Berapa proyeksi pertumbuhan kredit pada 2012? Apakah tren kenaikan suku bunga juga akan terjadi tahun depan? Sektor mana saja yang akan menerima kucuran kredit perbankan paling besar? Berikut penuturan Achmad Baiquni, Direktur BRI, melalui jawaban tertulisnya kepada Infobank, akhir September lalu. Petikannya:
Indonesia bisa dikatakan menerima dampak minimal dari terjadinya krisis global. Bagaimana Anda melihat proyeksi kinerja kredit perbankan hingga akhir tahun nanti?
Krisis ekonomi dunia tentu saja memiliki dampak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang perlu kita lihat tentu saja magnitude dampak krisis terhadap perekonomian Indonesia, seberapa fleksibel mengalihkan eksposur global economy ke pasar domestik dan bagaimana cara memberdayakan pasar domestik kita.
Menurut data statistik, total ekspor Indonesia memiliki kontribusi 27,3% terhadap total GDP (gross domestic product) Q2 2011. Dari ekspor tersebut, 80% berupa nonmigas dan sisanya migas. Dari nonmigas, besarnya eksposur Indonesia terhadap Uni Eropa dan Amerika masing-masing sebesar 13,35% dan 9,99% atau berarti sekitar 2,92% dan 2,19% dari GDP Q2 2011. Angka ini menunjukkan besarnya eksposur Indonesia terhadap kedua kawasan yang saat ini terkena krisis, yang nilainya jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara lainnya, seperti Korea dan Taiwan, yang memiliki eksposur kepada ekonomi global (ekspor) lebih dari 40% dari total GDP mereka.
Selain itu, bila melihat potensi dalam negeri sendiri, Indonesia merupakan pasar yang memiliki potensi sangat besar, didukung oleh total penduduknya yang mencapai kurang lebih 240 juta dan lebih dari 50% GDP ditopang oleh konsumsi rumah tangga; 55% penduduk berusia di bawah 30 tahun, hanya 9,3% berusia di atas 55 tahun; loan to GDP yang relatif rendah (sekitar 27%); dan jumlah penduduk usia dewasa yang memiliki rekening di bank kurang dari 50%. (Itu) menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi dalam negeri yang sangat potensial, tanpa harus bergantung pada perekonomian global.
Melihat faktor pendukung di atas, kami memperkirakan bahwa kinerja perbankan di Indonesia hingga akhir tahun masih cukup bagus. Kalaupun ada dampak, perbankan dengan nasabah yang memiliki eksposur besar terhadap kawasan Eropa dan Amerika yang paling terkena imbas. Itu pun mungkin baru sangat signifikan akan terlihat pada tahun depan. Namun, sepanjang perbankan Indonesia memiliki orientasi pasar domestik, dampak krisis global tidak akan terlalu terasa.

Meski saat ini krisis global belum begitu memengaruhi kinerja kredit perbankan, belum diketahui secara pasti bagaimana dampak krisis tersebut tahun depan. Bagaimana proyeksi kinerja kredit perbankan pada 2012?
Kembali lagi kami sampaikan bahwa sepanjang perbankan nasional dapat mengalihkan bisnisnya dengan orientasi domestik dan mampu memberdayakan potensi yang ada (prospektif nasabah yang belum tergarap cukup besar, terutama di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM), kami melihat, kinerja perbankan dan pertumbuhan pinjaman pada 2012 masih cukup tinggi. Mungkin bisa sama dengan pertumbuhan pinjaman perbankan pada kuartal kedua tahun ini yang mencapai sekitar 24%.

Kredit yang mengalir saat ini banyak di-drive kredit konsumer dan mikro. Apakah tren ini masih akan berlanjut pada 2012? Faktor apa saja yang mendukung proyeksi tersebut?
Melihat kondisi ekonomi global saat ini dan Indonesia memiliki potensi pasar UMKM dan penduduk yang sangat besar, kredit mikro dan konsumer akan mendapat driver pertumbuhan kredit di tahun depan. BRI sendiri sudah melihat peluang ini dengan mempersiapkan infrastruktur, SDM (sumber daya manusia), dan kapasitas untuk dapat meningkatkan penetrasi hingga menyentuh pengusaha mikro yang jumlahnya jutaan dan kebanyakan dari mereka belum pernah berbankir sama sekali.
Mereka itulah yang sebenarnya perlu mendapat perhatian dan pembinaan dari sektor perbankan untuk mengembangkan bisnis mereka dan memberikan akses permodalan bagi mereka. Berdasarkan pengalaman kami, sektor mikro inilah yang lebih tahan dari terpaan krisis global.

Bagaimana nasib penyaluran kredit produktif pada 2012? Apa faktor pendukungnya?
Kredit yang kami salurkan ke sektor mikro lebih dari 50% adalah untuk modal kerja dan sisanya untuk investasi dan lainnya. Ini berarti, pembiayaan sektor mikro adalah pembiayaan yang sifatnya produktif. Nantinya, melalui pembiayaan mikro ini usaha nasabah dapat lebih berkembang pada skala yang lebih besar, seperti naik kelas menjadi pengusaha kecil lalu menengah.
Pada 2012 BRI memperkirakan, usaha mikro, kecil, dan menengah akan menjadi motor utama pertumbuhan kredit perbankan. Dengan target pasar dari pengusaha MKM ini adalah pasar domestik Indonesia, baru kemudian negara lain di luar AS dan Eropa, kami yakin kredit yang diberikan akan tetap “sehat” dan membawa dampak positif terhadap kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Berkaitan dengan potensi kenaikan suku bunga kredit perbankan, apakah tren ini masih akan terjadi hingga akhir tahun nanti?
Dengan tren suku bunga yang diproyeksikan akan relatif stabil, suku bunga kredit perbankan juga akan relatif stabil.

Bagaimana tren suku bunga pada 2012? Bagaimana pula pengaruhnya pada pertumbuhan kredit?
Inflasi diproyeksikan tetap akan berkisar (pada angka) 5% pada 2012 sehingga diprediksikan BI Rate tidak akan meningkat. Stabilnya suku bunga akan membawa pengaruh positif terhadap pertumbuhan kredit.

Penyaluran kredit ke sekor mana saja yang pertumbuhannya signifikan pada 2012?
Sektor perdagangan tetap akan menjadi sektor terbesar, mengingat sebagian besar nasabah BRI adalah UMKM.
Bagaimana dengan penyaluran kredit investasi, kredit modal kerja, dan kredit konsumsi?
(Untuk) perbankan Indonesia, pertumbuhan penyaluran kredit pada 2012 akan sejalan dengan pertumbuhan kredit pada 2011 dengan komposisi pertumbuhan kredit untuk masing-masing jenis penggunaan yang hampir sama dengan pertumbuhan pada 2011.
BRI sendiri menargetkan, kredit mikro dan konsumer akan tetap menjadi growth driver pertumbuhan kredit pada 2012, mengingat potensi kredit yang masih tinggi untuk segmen ini dan competitive advantage yang dimiliki BRI, seperti jaringan dan pengalaman di perbankan mikro.

Bagaimana outlook bisnis perbankan secara umum pada 2012?
Melihat penetrasi perbankan di Indonesia yang masih sangat rendah, terefleksi dari angka loan to GDP sekitar 27% ditambah dengan prospek dan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih tinggi pada 2012, kami yakin bisnis perbankan Indonesia pada 2012 masih sangat menjanjikan.
Hal lainnya, meskipun persaingan akan semakin meningkat, dengan luasnya lahan dan besarnya potensi bisnis, bank-bank yang memiliki konsep bisnis dan produk perbankan yang competitive akan dapat tumbuh dengan baik. (*)

Sumber : Infobank

Hati-hati, Hadiah dan Cash Back Bisa Buat Dana Tidak Dijamin LPS

Kenyataan masih banyaknya nasabah yang tidak tahu bahwa pemberian hadiah-hadiah atau cash back dimasukkan dalam komponen suku bunga, membuat LPS meminta perbankan mengumumkan suku bunganya, sehingga perlindungan nasabah bisa ditingkatkan. Paulus Yoga
Jakarta–Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) meminta perbankan mengumumkan suku bunga, sehingga nasabah bisa tahu besaran bunga yang diterimanya. Karena tidak jarang bank yang menawarkan hadiah atau cash back sebagai pemanis produknya.
Menurut Kepala LPS Firdaus Djaelani, melalui siaran persnya di Jakarta, Senin 7 November 2011, hal tersebiut dilakukan dalam rangka peningkatan pelayanan serta perlindungan kepada penyimpan dana dan sesuai pasal 3 huruf (g) peraturan LPS No 2/PLPS/2010 tentang program penjaminan simpanan.
“LPS telah meminta kepada seluruh bank peserta penjaminan untuk menempatkan pengumuman maksimum tingkat bunga yang dianggap wajar yang ditetapkan LPS,” tukasnya.
Selain itu, LPS juga meminta bank untuk mengumumkan maksimum nilai simpanan per-nasabah per-bank yang dijamin pada setiap kantor bank. Hal yang cukup penting yang kebanyakan tidak diketahui masyarakat awam adalah pemberian cash back maupun hadiah yang ternyata masuk komponen suku bunga.
“Jadi, kita bersama Bank Indonesia (BI) telah mengkaji mengenai suku bunga termasuk cash back dan hadiah-hadiah. Ketika nasabah mendapatkan uang tunai di muka atau cash back maka sudah pasti termasuk dalam perhitungan komponen suku bunga, begitu pun dengan hadiah” tandas Firdaus.
Ia menjelaskan, dengan masuknya cash back dan hadiah tersebut dalam komponen suku bunga, setelah dihitung maka bunga yang diberikan ke nasabah tidak jarang menjadi tidak sesuai dengan tingkat kewajaran bunga yang ditetapkan LPS untuk dijamin seandainya bank ditutup.
Kasus cash back ini sempat ramai setelah sejumlah mantan nasabah Bank IFI berkeluh kesah mengenai dana mereka yang akhirnya tidak dibayarkan LPS karena telah menerima cash back. Pemberian cash back itu dinilai LPS telah menyalahi ketentuan bunga penjaminan yang ditetapkan LPS.
Adapun jumlah rekening nasabah Bank IFI yang dananya tidak dikembalikan LPS karena tidak sesuai dengan bunga penjaminan dari LPS mencapai 101 rekening dengan total dana mencapain Rp48 miliar.
Seperti diketahui, BI mencabut izin Bank IFI pada April 2009, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bank Indonesia No. 11/19 /KEP.GBI/2009 tanggal 17 April 2009, BI memutuskan untuk mencabut izin usaha PT Bank IFI. (*)

Sumber : Infobank 

Pengetatan Kepemilikan Kartu Kredit Jangan Dipukul Rata

Antisipasi BI dalam melakukan pengetatan dinilai sudah tepat, sehingga perlu adanya sebuah pemilahan mana nasabah yang baik dan mana yang tidak. BI jangan menggeneralisir. Dwitya Putra
Jakarta–Langkah Bank Indonesia (BI) melakukan pengetatan penggunaan kartu kredit dengan merilis revisi Peraturan Bank Indonesia (PBI), yakni aturan Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) mulai dari batasan usia hingga penghasilan, dipandang sebagai langkah prevenif bank sentral dalam mengurangi terjadinya kredit macet.
Melihat hal ini, pengamat perbankan dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Tony Prasetiantono menilai, langkah BI tersebut diharapkan tidak menggeneralisasi bahwa kepemilikan kartu kredit yang banyak identik tidak sehat dan berpotensi NPL (non performing loan/kredit macet).
Menurutnya, justru seringkali seseorang memiliki banyak kartu kredit karena bisa atau memiliki kemampuan membayar dengan baik. “Soalnya, pengalaman saya, punya beberapa kartu kredit sangat bermanfaat ketika di luar negri. Jika satu kartu kredit macet, bisa pakai yang lain. Yang penting saya bisa membayar,” kata Tony, kepada Infobanknews.com, di Jakarta, Selasa, 8 November 2011.
Tony mengaku, tidak menampik langkah BI ini sudah tepat dan benar. Pasalnya, BI ingin mengontrol praktik yang tidak sehat dalam bisnis kartu kredit, yaitu seleksi yang kurang ketat terhadap aplikasi nasabah. Karena itu, tambahnya, perlu adanya sebuah pemilahan mana nasabah yang baik dan mana yang tidak.
“Saya setuju pembatasan bagi nasabah yang income-nya mepet memang perlu dibatasi. PBI tersebut memang agak sedikit mengerem ekspansi bisnis kartu kredit, namun hanya sedikit dan sesaat. Lebih baik ekspansi di-rem sedikit, tapi sehat. Sedangkan soal suku bunga kartu kredit, saya setuju BI meregulasi karena kadang cara penghitungannya susah dipahami,” jelas Tony, yang juga Komisaris PermataBank.
Seperti diketahui, berdasarkan data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia (AKKI) penerbitan kartu kredit baru diperkirakan setiap bulan rata-rata telah mencapai 100.000 kartu. Sejak akhir 2010 hingga Oktober 2011, jumlah kartu kredit meningkat dari 13 juta kartu ke 14,4 juta. Akhir tahun ini, AKKI optimistis jumlah kartu kredit di dalam negeri bisa mencapai 14,5 juta.
Adapun poin-poin yang akan dirilis BI dalam revisi PBI alat pembayaran menggunakan kartu:
- Batas umur: Minimal 21 tahun/minimal 18 tahun bila sudah menikah (Berlaku 1 Januari 2013)
- Batas gaji nasabah: Minimal Rp 3 juta (Belaku 1 Januari 2013)
- Batas bunga: 3% perbulan (Berlaku 1 Januari 2013)
- Plafon pinjaman: 3 kali gaji (berlaku 1 Januari 2013)
- Kartu tambahan: Umur minimal 17 tahun atau sebelum 17 tahun tapi sudah menikah
- Waktu penagihan: Diatur cara penagihan dan jadwal penagihan.
- Penggunaan pin: minimal 6 digit (berlaku 1 Januari 2015)
- Batas kepemilikan kartu: Gaji di bawah Rp 10 juta maksimal 2 penerbit. Di atas Rp 10 juta tergantung penilaian bank. (*)

Sumber : Infobank

Praktik Bunga Berbunga Kartu Kredit Tidak Dibolehkan

Dalam melindungi nasabah dari tagihan kartu kredit yang terlalu membebani, Bank Indonesia melarang bank penerbit kartu kredit menjalankan praktik bunga berbunga. Paulus Yoga
Jalarta–Bank Indonesia (BI) menegaskan bahwa praktik bunga berbunga atau bunga majemuk kartu kredit tidak lagi diperbolehkan. Saat ini revisi Peraturan Bank Indonesia mengenai Alat Pembayaran Menggunakan Kartu (APMK) tengah difinalisasi dan rencananya akan dirilis bulan ini.
“Bank tidak boleh menerapkan bunga berbunga. Seperti denda, materai dan fee tidak boleh dihitung sebagai pokok dan dibungakan. Cara menghitung bunga pun harus dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti pemegang kartu, dengan diagram misalnya,” tukas Direktur Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran BI Ronald Waas, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Selasa 8 November 2011.
Ia mengatakan, saat ini masih banyak bank penerbit kartu kredit yang menerapkan praktik bunga berbunga kepada nasabahnya. Artinya, besaran bunga yang ditetapkan pada bulan sebelumnya, juga dikenakan bunga kembali pada bulan-bulan berikutnya.
“Ini kan bisa merugikan nasabah. Padahal bunga hanya dikenakan untuk pokok yang benar-benar harus dibayar, yang ditunggak,” tandasnya.
Penghapusan prinsip bunga majemuk itu sendiri akan mulai diterapkan pada 1 Januari 2013, seiring dengan revisi PBI APMK yang akan segera diterbitkan. Penghitungan bunga dimulai dari laporan pembayaran yang dilakukan oleh merchant kepada penerbit kartu kredit.
“Bukan pada saat pemegang kartu membayar,” tukas Ronald.
Dalam draft PBI APMK yang disempurnakan disebutkan, bunga hanya dapat dikenakan jika pemegang kartu tidak melakukan pembayaran, melakukan pembayaran tidak penuh (kurang dari minimum payment, sebesar minimum payment atau di atas minimum payment), atau melakukan pembayaran penuh setelah tanggal jatuh tempo.
Sementara penyampaian informasi tagihan dilakukan maksimal tiga hari setelah tanggal cetak tagihan. Sementara jika melalui surat  (pos) penyampaiannya tidak boleh lebih dari lima hari setelah tanggal cetak tagihan.
Beberapa hal lainnya yang diatur dalam PBI APMK tersebut adalah:
- minimum usia 21 tahun atau telah kawin untuk kartu utama, dan minimum usia 17 tahun atau telah kawin untuk kartu tambahan.
- minimum pendapatan Rp 3 juta per bulan.
- maksimal plafon kredit adalah 3 x pendapatan per bulan, dan penerapannya berlaku secara industri.
- calon pemegang kartu yang pendapatan perbulannya kurang dari Rp10 juta dikenakan pembatasan plafon dan pembatasan perolehan kartu kredit maksimum dari 2 penerbit.
- calon pemegang kartu yang pendapatan perbulannya Rp10juta ke atas, tidak dikenakan pembatasan jumlah plafon dan kartu dari 2 penerbit, sehingga analisis kredit sepenuhnya diserahkan kepada Bank (risk appetite Penerbit).
- maksimum bunga kartu kredit 3% per bulan. (*)

Sumber : Infobank 

BI Minta Bank Perhatikan Standar Kredit ke Multifinance

Dalam mendorong fungsi intermediasinya, tidak jarang perbankan menjalin kerja sama dengan perusahaan multifinance dalam penyaluran kredit, baik melalui joint financing dan channeling. Bank Indonesia mengimbau, agar perbankan tetap menjaga kualitas kredit dari kerja sama tersebut. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia mengimbau, industri perbankan untuk memerhatikan kucuran kredit ke industri multifinance, utamanya dalam menjaga kualitas kredit tetap sesuai standar perbankan.
“Kami ingin agar perbankan memerhatikan (concern) dan mengevaluasi penyaluran kredit sektor multifinance supaya jangan memengaruhi kualitasnya,” tukas Deputi Gubernur Bank Indonesia Muliaman D. Hadad, di Jakarta, Rabu 9 November 2011.
Ia menambahkan, hal tersebut juga perlu dilakukan agar jangan sampai ada anggapan bahwa lebih mudah memeroleh kredit dari perusahaan multifinance ketimbang dari perbankan, sehingga penyalurannya melalui multifinance kurang diperhatikan.
“Pertumbuhan perusahaan pembiayaan terutama kendaraan bermotor cukup besar. Data terakhir yang saya miliki pada akhir 2010 itu dari pembiayaan perusahaan multifinance sebesar Rp130 triliun itu 80% datang dari bank uangnya,” tandasnya.
Dari data BI, per September 2011, perbankan telah menyalurkan sebesar Rp159,63 triliun kepada sektor multifinance. Bank sentral selama ini menilai pemberian kredit perbankan kepada perusahaan pembiayaan belum diatur secara khusus.
“Nanti kami minta secara formal agar jangan sampai ada perbedaan kualitas penyaluran kredit kendaraan melalui jalur multifinance itu, agar jangan sampai terjadi pemburukan kredit di masa mendatang,” pungkas Muliaman. (*)

Sumber : Infobank

Perbanas: OJK Bisa Tingkatkan Pengawasan Kredit ke Multifinance

Kendati tidak keberatan dengan imbauan Bank Indonesia agar perbankan meningkatkan pengawasan penyaluran kredit ke perusahaan multifinance, Perbanas menilai keberadaan OJK bisa meningkatkan pengawasan dari sisi regulator secara menyeluruh. Paulus Yoga
Jakarta–Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menilai, melalui keberadaan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bisa meningkatkan jangkauan pengawasan kredit perbankan di sektor industri multifinance.
“Nah, ini pentingnya kalau sudah dijadikan satu di OJK, jadi terintegrasi antara Bapepam-LK dan fungsi pengawasan perbankan Bank Indonesia (BI). Itu pentingnya OJK gitu. Saat ini kan BI hanya bisa mengimbau,” tukas Ketua Perbanas Sigit Pramono, saat ditemui wartawan di Jakarta, Kamis 10 November 2011.
Perbanas sendiri tidak keberatan dengan imbauan bank sentral agar perbankan memerhatikan kredit kepada perusahaan multifinance. Namun, peningkatan kualitas kredit perusahaan multifinance sendiri merupakan ranah Bapepam-LK.
“Kami tidak keberatan sepanjang ada ketentuan (surat edaran) itu kita diajak bicara. Karena yang menjadi persoalan kan bukan di banknya tapi di perusahaan multifinance. Multifinance itu kan ketentuan dan pengaturan kan di bawah Kementerian Keuangan, khususnya Bapepam-LK,” tandas Sigit.
Seperti diketahui, bank sentral mengimbau industri perbankan untuk lebih memerhatikan kualitas kredit melalui perusahaan multifinance, jangan sampai pertumbuhan pembiayaan di sektor multifinance yang sangat besar tidak diiringi kualitas yang sesuai standar.
BI menilai, sampai saat ini memang belum ada kebijakan khusus dari bank sentral agar perbankan meningkatkan pengawasan kucuran kredit kepada perusahaan multifinance yang memeroleh pinjaman dari bank. BI sendiri akan menyiapkan surat edaran untuk mendorong pengawasan tersebut, karena bank sentral tidak bisa mengawasi industri multifinance secara langsung.
“Yang kita concern (perhatikan) jangan sampai kualitas evaluasi turun, karena akhirnya memengaruhi kualitasnya. Karena tentu saja ini kan sesuatu yang menurut saya wajar dipantau secara dekat. Yang penting tidak ada perbedaan standar prudential di antara keduanya (perbankan dan multifinance),” ucap Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, kemarin. (*)

Sumber : Infobank 

Anggito: BI Rate Jangan Seperti Yoyo

BI rate diharapkan bisa turun sekaligus dengan keadaan yang bisa diandalkan. Jangan sampai seperti Yoyo yang naik-turun. Namun, meski BI rate turun itu tidak menurunkan suku bunga kredit perbankan. Dwitya Putra
Jakarta–Tercatatnya deflasi pada Oktober 2011 sebesar 0,12% membuat banyak kalangan memprediksi Bank Indonesia (BI) akan memangkas kembali suku bunga acuan perbankan (BI rate) dalam waktu dekat ini.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Anggito Abimanyu mengatakan, potensi (penurunan) tersebut memang ada, namun lebih konservatif, karena situasi saat ini dinilai belum stabil apakah ancaman inflasi 2012 akan terjadi atau tidak.
“Saya kurang thau pertimbangnya nanti bagaimana yang dilakukan BI, mana yang lebih penting, apakah jangka pendek atau jangka panjang. Daripada kita kaya Yoyo naik-turun naik-turun,” kata Anggito, kepada wartawan, di Jakarta, Rabu, 9 November 2011.
Menurutnya, sejauh ini kondisi telah menunjukan suatu signal bahwa ekonomi Indonesia inflasinya mulai turun. Namun, walau BI rate turun kondisi tersebut tidak bisa serta merta langsung membuat lending growth akan naik.
“Tidak apa-apa BI menurunkan BI rate-nya, toh kondisi tersebut tidak langsung mempengaruhi suku bunga kredit di perbankan,” ujarnya.
“Tapi, menurut saya, kalau pun turun baiknya sekaligus turun dengan keadaan yang bisa diandalkan. Toh dengan lending growth kita sudah 25% sudah cukup tinggi,” jelasnya. (*)

Sumber : Infobank

Menyingkap Persoalan Perbankan Dalam Perpajakan

Ada lima hal utama yang menjadi perhatian Perbanas, menyikapi persoalan perpajakan yang masih dihadapi industri perbankan, yang utamanya terjadi akibat perbedaan tafsir dengan Dirjen Pajak. Paulus Yoga
Jakarta–Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) menilai masih ada permasalahan bagi industri perbankan dalam penerapan Undang-Undang (UU) Perpajakan.
“Adanya perbedaan penafsiran antara Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) dengan perbankan. Bahkan, berdasarkan inventarisasi permasalahan perpajakan industri perbankan yang kami kumpulkan, permasalahan tersebut sudah terjadi sebelum perubahan UU dilakukan,” tutur Ketua Bidang Hukum dan GCG Perbanas Herwidayatmo, di Jakarta, Kamis 10 November 2011.
Seperti diketahui, saat ini terjadi perubahan UU perpajakan, seperti UU Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP, UU Pajak Penghasilan (UU PPh) dan UU Pajak Pertambahan Nilai (UU PPN).
Beberapa permasalahan industri perbankan tersebut, menurut Herwidayatmo adalah sebagai berikut:
- Secara perpajakan apakah bank dapat membebankan biaya pencadangan penghapusan kredit dalam penghitungan pajak penghasilan perusahaan.
- Apakah secara perpajakan bank dapat mengklaim biaya kerugian dari penghapusan kredit yang sudah dilakukan tindakan penagihan secara maksimal meskipun belum terakhir dan sudah memnuhi persyaratan formal perpajakan sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
- Apakah bank wajib mencamtumkan nomor NPWP debitur kecil di bawah Rp50 juta yang dihapuskan oleh bank.
- Apakah kegiatan penyerahan BKP oleh perbankan seperti penjualan agunan yang diambil alih oleh debitur (AYDA), penjualan aktiva tetap dan pemberian hadiah kepada nasabah oleh perbankan terutang PPN.
- Tidak terutangnya PPN atas transaski pembiayaan murabahah mulai 1 April 2010, apakah hal tersebut berlaku juga untuk transaksi sebelumnya. (*)

Sumber : Infobank

Penurunan BI Rate Tak Berbanding Lurus dengan Penurunan Bunga Kredit

Untuk menurunkan suku bunga kredit, Perbanas menilai ada empat tahap yang harus dipenuhi terlebih dahulu, tidak serta merta hanya dilihat dari penurunan BI rate. Apa saja empat faktor tersebut? Paulus Yoga
Jakarta–Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) melihat tidak melulu penurunan suku bunga acuan (BI rate) akan diikuti penurunan suku bunga perbankan. Ada jeda waktu bagi perbankan dalam menyesuaikan penurunan suku bunga kredit.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Perbanas Sigit Pramono, saat ditemui wartawan disela Seminar Perpajakan: “Permasalahan Perpajakan Industri Perbankan 2011″ di Jakarta, Kamis, 10 November 2011.
Bank Indonesia sendiri telah menurunkan BI rate sebesar 25 basis poin, dari 6,75% menjadi 6,5% pada Oktober lalu. Melalui penurunan BI rate tersebut, besar harapan akan diikuti oleh penurunan suku bunga pinjaman.
Menurut Sigit, dalam menurunkan suku bunga kredit, hal pertama yang dilakukan perbankan adalah melihat penurunan suku bunga simpanan, baik giro, tabungan dan deposito terlebih dahulu.
Kedua, peningkatan persaingan yang wajar di industri perbankan. Kalau satu bank sudah menurunkan suku bunga giro, tabungan dan deposito bank-bank lain otomatis juga akan mengikuti.
Ketiga, kemampuan perbankan melakukan efisiensi sebaik mungkin. Dengan begitu, perbankan bisa mengurangi biaya dana atau cost of fund, sehingga bisa mendorong penjualan produk yang lebih murah.
Keempat, faktor premi risiko, yang bergantung pada kondisi makro perekonomian dalam negeri. Semakin baik kondisi makro, maka makin baik pula premi risiko dan berdampak pada penurunan suku bunga kredit.
“Dengan faktor ini turun, saya jamin bunga (kredit) akan turun. Tapi jangan harap BI rate turun, suku bunga langsung turun,” tandas Sigit. (*)

Sumber : Infobank

Suku Bunga Kredit Diharapkan Ikuti Penurunan BI Rate

Kondisi inflasi yang terus terjaga, sehingga membuat Bank Indonesia menurunkan BI rate, diharapkan bisa diikuti penurunan suku bunga kredit perbankan. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) berharap industri perbankan dapat menyesuaikan suku bunga pinjaman dengan diturunkannya suku bunga acuan (BI rate) sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 6%.
“Kita harapkan industri perbankan dapat melihat lebih jauh impact dari penurunan ini (BI rate),” tukas Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi. A. Djohansyah, di Gedung BI, Jakarta, Kamis 10 November 2011.
Ia menjelaskan, penurunan suku bunga acuan sendiri dilakukan setelah melihat penurunan tingkat inflasi yang diprediksi bisa dijaga di level 4%, atau di batas bawah target inflasi pemerintah di kisaran 5% plus minus 1% pada 2011.
Bank sentral mencatat kucuran kredit perbankan sampai September 2011 telah tumbuh sebesar 25,3%, melampaui target industri yang dipatok di level 24%.
“Perkembangan sistem perbankan menunjukkan stabilitas yang tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik, meskipun sempat terjadi gejolak di pasar keuangan akibat pengaruh global,” terang Difi.
Menurutnya, hingga akhir September 2011 kredit investasi tumbuh sebesar 31,1% dalam setahunan (year on year) dan kredit modal kerja sebesar 24% (yoy) serta kredit konsumsi sebesar 23,8% (yoy).
“Kita tetap fokus menjaga stabilitas sistem perbankan dan memperkuat fungsi intermediasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, sehingga perekonomian nasional tetap dapat mencapai pertumbuhan yang optimal di tengah kekhawatiran terhadap prospek perekonomian global,” tutupnya. (*)

Sumber : Infobank

Tony Prasetiantono: BI Terlalu Berani Turunkan BI Rate 50 Bps

Langkah BI menurunkan BI rate 50bps ke level 6% dianggap terlalu berani dan bisa merusak kreadibilitas. Apa penyebabnya? Dwitya Putra
Jakarta–Langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan perbankan (Bi rate) sebanyak 50 bps menjadi 6% dianggap terlalu berani dan berpotensi resiko.
Pengamat ekonomi dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, A. Tony Prasetiantono menilai, seharusnya BI menurunkan BI rate sebanyak 25 bps dan melihat kondisi inflasi bulan depan seperti apa.
“Menurut saya langkah ini agak terlalu berani. Kalau saya jadi BI, akan saya turunkan 25 basis poin saja dulu, baru kemudian kalau bulan depan posisi kita masih aman (terutama variabel yang sensitif: kurs rupiah, cadangan devisa, dan dalam konteks tertentu juga IHSG), diturunkan lagi 25 basis poin,” kata Tony, kepada Infobanknews.com, di Jakarta, Kamis, 10 November 2012.
Tony mengungkapkan, saat ini yang menjadi permasalahan, yakni bagaimana pasar merespon setelah penurunan BI rate yang cukup besar.
“Kalau sampai perbankan tidak menurunkan suku bunga kredit atau lamban, kondisi ini justru akan merusak kredibilitas BI,” tegasnya.
“Masalahnya, meski BI rate turun, tetapi suku bunga rigid (tidak mau turun) malah kurang baik bagi BI,” tambahnya.
Tony melihat, kebijakan BI rate tidak efektif untuk mempengaruhi suku bunga bank. Pasalnya, hal ini bisa mengganggu kredibilitas BI. Padahal, lanjutnya, BI rate merupakan benchmark rate yang didesain untuk menunjukkan arah kebijakan BI.
Sedangkan dampak ke sektor riil tergantung respons perbankan terhadap kebijakan ini. Jika suku bunga bisa turun, akan membantu mendorong sektor riil.
“Namun, itu tidak otomatis, mengingat selama ini bank cukup hati-hati dalam hal suku bunga, tidak berjalan paralel dengan penurunan BI rate,” jelas Tony. (*)

Sumber : Infobank

Dewan Gubernur memutuskan BI Rate turun menjadi 6,00%

No. 13/37/PSHM/Humas
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 10 November 2011 memutuskan untuk menurunkan kembali BI Rate sebesar 50 bps menjadi 6,00%. Penurunan BI Rate tersebut sejalan dengan tekanan inflasi ke depan yang semakin rendah sekaligus sebagai langkah perbaikan terhadap struktur suku bunga (term structure) jangka pendek, menengah dan panjang. Penurunan tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak memburuknya prospek ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Indikator produksi dan konsumsi negara-negara maju masih terus melambat, sementara pasar keuangan global masih cenderung volatile meskipun sempat rebound. Sementara itu, kondisi pasar keuangan domestik semakin stabil disertai sentimen pasar yang positif seiring dengan berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia bersama dengan Pemerintah. Kedepan, Dewan Gubernur terus mewaspadai perkembangan ekonomi global yang masih diliputi ketidakpastian, seiring belum solidnya penyelesaian masalah utang dan fiskal di Eropa dan AS. Dewan Gubernur akan menempuh respons suku bunga serta bauran kebijakan moneter dan makroprudensial lainnya untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan memitigasi potensi penurunan kinerja perekonomian Indonesia dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.
Dewan Gubernur menilai bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih tetap kuat meskipun kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2011 mencapai 6,5% yang didukung oleh tingginya ekspor dan kuatnya konsumsi. Pencapaian tersebut mengindikasikan masih terbatasnya dampak gejolak ekonomi global terhadap perekonomian domestik. Pada triwulan IV-2011, pertumbuhan ekonomi berpotensi lebih tinggi dari triwulan sebelumnya, ditopang masih kuatnya konsumsi rumah tangga dan ekspor serta prakiraan peningkatan belanja Pemerintah pada bulan terakhir. Prakiraan kuatnya konsumsi rumah tangga didukung oleh terjaganya daya beli dan optimisme konsumen. Sementara itu, pertumbuhan ekspor diprakirakan masih tinggi. Secara keseluruhan tahun 2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan mencapai 6,5%. Sektor-sektor yang diprakirakan menjadi pendorong utama adalah sektor industri, sektor perdagangan, hotel dan restoran, dan sektor transportasi dan komunikasi.
Dewan Gubernur berpandangan hingga saat ini pasar keuangan domestik terus membaik. Kondisi yang membaik tersebut seiring dengan berbagai langkah kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah dalam memitigasi dampak gejolak ekonomi global. Hal itu tercermin pada kinerja bursa saham yang meningkat dan imbal hasil SBN yang menurun. Di sisi lain, suku bunga pasar uang antar bank juga cenderung menurun seiring dengan tersedianya likuiditas yang memadai. Dalam kaitan ini penyesuaian BI Rate ke 6.00% diharapkan dapat memperbaiki struktur suku bunga menurut berbagai tenor jatuh tempo.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV-2011 diprakirakan akan mengalami surplus yang cukup besar setelah mengalami defisit pada triwulan sebelumnya. Defisit NPI pada triwulan III-2011 lebih banyak disebabkan oleh imbas negatif dari krisis utang di Eropa yang memicu sebagian investor asing keluar dari pasar saham dan surat utang negara. Sementara itu, sentimen positif pada prospek perekonomian Indonesia dan masih menariknya imbal hasil investasi di Indonesia diprakirakan menjadi daya dorong masuknya kembali modal asing ke Indonesia pada triwulan IV-2011 sehingga memperbaiki kinerja transaksi modal dan finansial (TMF). Selain itu, penarikan utang luar negeri juga diperkirakan tetap tinggi sejalan dengan realisasi investasi swasta dan pengeluaran Pemerintah yang meningkat pada triwulan IV-2011. Untuk keseluruhan tahun 2011, NPI diprakirakan masih akan mencatat surplus yang cukup besar. Sementara itu, cadangan devisa pada akhir Oktober 2011 tercatat sebesar 114 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar Rupiah masih mengalami tekanan dengan intensitas dan pergerakan yang lebih rendah. Pada bulan Oktober 2011, nilai tukar Rupiah secara rata-rata melemah 1,36% (mtm) menjadi Rp8.865 per dolar AS. Risiko terkait prospek ekonomi Eropa dan AS telah mendorong investor melakukan penyesuaian instrumen investasinya sehingga menimbulkan tekanan pada nilai tukar. Selain itu, permintaan valas untuk memenuhi pembayaran impor yang meningkat juga turut menekan nilai tukar Rupiah. Namun, berbagai langkah kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah dapat membatasi tekanan terhadap nilai tukar Rupiah. Bank Indonesia terus memonitor perkembangan nilai tukar Rupiah dan memastikan kecukupan likuiditas Rupiah dan valas yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan pasar domestik.
Tekanan inflasi terus menurun seiring dengan penurunan harga komoditas global, pasokan yang memadai serta ekspektasi inflasi yang membaik. IHK pada Oktober 2011 mengalami deflasi sebesar 0,12% (mtm) atau 4,42% (yoy), didorong oleh deflasi kelompok inti dan volatile food. Deflasi kelompok inti antara lain diakibatkan oleh menurunnya harga komoditas global, khususnya emas. Sementara itu, deflasi harga bahan pangan sejalan dengan memadainya pasokan yang didukung oleh membaiknya produksi dan impor serta lancarnya distribusi. Inflasi 2011 diprakirakan akan menuju batas bawah target inflasi pada kisaran 4%.
Perkembangan sistem perbankan menunjukkan stabilitas yang tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik, meskipun sempat terjadi gejolak di pasar keuangan akibat pengaruh global. Terjaganya stabilitas industri perbankan dicerminkan oleh tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan rendahnya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, penyaluran kredit untuk pembiayaan kegiatan perekonomian terus meningkat, sebagaimana tercermin pada pertumbuhan kredit yang mencapai 25,3% (yoy) hingga akhir September 2011 dengan kredit investasi sebesar 31,1% (yoy) dan kredit modal kerja sebesar 24% (yoy) serta kredit konsumsi sebesar 23,8% (yoy). Bank Indonesia tetap fokus menjaga stabilitas sistem perbankan dan memperkuat fungsi intermediasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian, sehingga perekonomian nasional tetap dapat mencapai pertumbuhan yang optimal di tengah kekhawatiran terhadap prospek perekonomian global.
Laporan lengkap mengenai pembahasan Rapat Dewan Gubernur (RDG) November 2011 yang memuat perkembangan makroekonomi dan kebijakan moneter dapat dilihat dalam Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) di website Bank Indonesia.

Jakarta, 10 November 2011
Direktorat Perencanaan Strategis
dan Hubungan Masyarakat
Difi A. Johansyah
Kepala Biro