Rabu, 18 April 2012

BI Lihat Pola Pertumbuhan Kredit Konsumsi Semakin Turun

Dalam beberapa tahun belakangan, Bank Indonesia melihat pola pertumbuhan kredit konsumsi masih di bawah jenis kredit lainnya, dan akan semakin tertekan dengan adanya aturan DP minimal yang efektif mulai 15 Juni 2012. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI), menilai dalam beberapa tahun belakangan, pola kucuran kredit perbankan mulai bergeser, di mana pertumbuhan kredit investasi lebih besar, dibanding pertumbuhan kredit konsumsi.
“Polanya memang dua tahun ini pertumbuhan kredit konsumsi masih lebih rendah dibanding yang lain,” ujar Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 12 April 2102.
Ia menjelaskan, pertumbuhan kredit konsumsi yang relatif tidak secepat kredit investasi dan kredit modal kerja belakangan ini bukan karena imbas dari aturan uang muka atau down payment (DP) minimal Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Mengingat aturan DP minimal tersebut baru saja dikeluarkan bank sentral, dan baru efektif berlaku pada 15 Juni 2012. Namun, setelah berjalannya aturan tersebut, ditengarai kredit konsumsi akan mulai melambat.
Per akhir Februari BI mencatat pertumbuhan kredit investasi dalam setahunan tumbuh paling cepat mencapai 33,2%, disusul kredit modal kerja yang tumbuh 23,4%. Sementara kredit konsumsi tumbuh 19,6% dalam setahunan. Secara keseluruhan kredit perbankan tumbuh 24,2% dalam setahunan.
Sebagai perbandingan, bank sentral mencatat pada akhir Desember 2011, kredit investasi tumbuh sebesar 33,2% dalam setahunan, kredit modal kerja tumbuh sebesar 21,4%, dan kredit konsumsi tumbuh sebesar 24,1%.
“Ini karena demand (permintaan) investasi masih besar. Pertumbuhan kredit masih sesuai perkiraan kita. Dalam RBB (rencana bisnis bank) kan tumbuh 24-25% tahun ini. Forecast (perkiraan) GDP (pertumbuhan ekonomi) kita akan meningkat sedikit, karena didorong oleh pertumbuhan kredit,” terang Muliaman.
Atas perkembangan tersebut, maka kredit investasi naik menjadi Rp475,58 triliun pada Februari 2012, dibanding Februari 2011 sebesar Rp357,04 triliun. Kredit modal kerja naik menjadi Rp1.058,59 triliun dari Rp857,85 triliun. Sedangkan kredit konsumsi naik dari Rp558,98 triliun menjadi Rp668,54 triliun. (*)

Sumber : Infobank

Kemudahan Kredit Bank Belum Tentu Baik

Mudahnya kredit yang diberikan perbankan belum dikatakan baik. Pasalnya, perbankan masih memberikan suku bunga kredit tinggi. Angga Bratadharma
Jakarta–Jika perbankan memudahkan dalam memberikan kredit kepada masyarakat, hal itu belum tentu mengindikasikan kebaikan perbankan. Pasalnya, perbankan masih mematok suku bunga kredit yang tinggi bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Demikian diungkapkan Peneliti Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, kepada wartawan, dalam Seminar “Kajian Kritis Peran Bank Asing dan Bank Nasional di Indonesia dalam Penyaluran Kredit ke Usaha Mikro dan Kecil,” di Jakarta, Senin, 19 Maret 2012.
Menurut Rachmi, mudahnya masyarakat mengakses kredit perbankan justru belum bisa dikatakan baik. Pasalnya, dari hasil temuan yang dilakukan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ), menghasilkan bahwa terdapat keluhan-keluhan dari masyarakat terkait kredit yang didapatkan dari perbankan.
“Dari temuan dilapangan dapat kami paparkan bahwa banyak keluhan dari kredit perbankan meski dimudahkan oleh perbankan. Mereka ada yang mengatakan kapok dan semacamnya”, jelas Rachmi.
Ia mengaku, industri perbankan juga disinyalir memberikan kredit kepada masyarakat yang tidak bankable. Banyak masyarakat miskin dihentikan penyaluran kreditnya karena tidak bisa mencicil kredit yang didapatkan.
“Mungkin bisa dikatakan ada oknum kali ya. Jadi, mereka mempermainkan masyarakat miskin dengan memberi kredit kepada masyarakat yang tidak bisa mengembalikan. Ini kan tidak baik. Karena itu, harus ada pengkajian yang lebih baik”, jelasnya. (*)

Sumber : Infobank

Tenaga Dalam BRI di Micro Banking

BRI makin tak terkejar sebagai raja mikro meski pesaing-pesaingnya makin agresif dan terus mengerubuti. Kuncinya, mengader bankir-bankir loyal yang tahan bajak. Seperti apa? Darto Wiryosukarto
Gurihnya  pasar di segmen kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) makin menarik minat bank-bank untuk masuk pasar tersebut. Meski pertumbuhan kredit UMKM tahun lalu terlihat kecil karena adanya perubahan pencatatan kredit yang mengeluarkan data kredit konsumtif dari pelaporan UMKM sejak awal 2011, sektor ini tetap diburu.
Apalagi, bayang-bayang krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat masih terus menghantui. Sektor ini pun diharapkan bisa menjadi tumpuan karena terbukti telah teruji saat menghadapi krisis. Makanya, sepanjang 2011 bank-bank tetap semangat menggarap segmen ini, meski hasil akhirnya tak merata. Sebagian bank pertumbuhannya pasif, sebagian yang lain (atau beberapa) melonjak tinggi.
Setidaknya, enam bank papan atas menguasai 20,3% pangsa pasar di segmen ini, yakni BRI, BNI, Bank Danamon, Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, dan Bank Bukopin (BBKP). BRI menjadi penyalur kredit terbesar dengan pangsa pasar 10,7%. BRI membukukan kredit Rp276,6 triliun, tumbuh 20,83% (year on year atau yoy). Kredit mikro, bagian dari UMKM, menjadi penggerak dengan kenaikan 32,6% menjadi Rp87,81 triliun.
Sofyan Basir, Direktur Utama BRI, mengakui, segmen mikro memang paling sehat meskipun non performing loan (NPL) gross di kisaran 3,344%. Dari segmen ini, setiap bulan BRI membukukan kredit sekitar Rp1,1 triliun hingga Rp1,2 triliun. Hal ini ditunjang oleh cluster kantor terbanyak yang menjadi nilai tambah BRI saat masuk level sangat mikro yang tidak dapat dimasuki bank umum lain atau bank asing.
Rata-rata kredit yang disalurkan BRI sekitar Rp6 juta per debitor dengan rata-rata kredit per debitor di bawah Rp20 juta. Makanya, BRI tetap konsisten menyalurkan kredit untuk segmen terbawah. Dari total 5,2 juta nasabah, sekitar 5,1 juta di antaranya mendapatkan kredit di bawah Rp20 juta. Kredit yang di atas Rp20 juta lebih sedikit, yaitu 63.000.
Lonjakan kredit mikro BRI tak lepas dari strategi perseroan menggandeng korporasi di kegiatan ekonomi hulu. Misalnya, selain kerja sama dengan perkebunan atau pertanian, BRI juga membiayai petani plasma dan distributornya. “Setiap kredit korporasi yang kami berikan juga menyentuh mitra,” ujar Sofyan Basir kepada Infobank, bulan lalu.
BNI juga meraup kenaikan menawan di segmen kredit UMKM. Dari target Rp29,5 triliun hingga akhir 2011, BNI sudah berhasil meraih Rp28,2 triliun pada Oktober. Pencapaian tersebut telah melampaui target pemberian kredit per Oktober 2010 yang mencapai Rp25,5 triliun.
“Jadi, year on year per Oktober 2011, dibandingkan dengan per Oktober 2010, ada peningkatan sekitar Rp3 triliun,” ujar Ronny Venir, Deputy General Manager Small Business Division BNI, kepada Infobank, beberapa waktu lalu.
Strategi BNI dalam mencapai target kredit UMKM pada 2011 salah satunya melalui linked program dengan koperasi dan BPR. Selain itu, menjalankan program pembiayaan inti plasma atau program bapak angkat. “Program inti plasma biasanya diberikan kepada kredit-kredit perdagangan,” katanya.
Bank Danamon, yang begitu gencar menjaring kredit UMKM melalui program Danamon Simpan Pinjam (DSP), juga membukukan pertumbuhan di atas rata-rata, yakni 30% atau senilai Rp29,76 triliun. Segmen ini memberikan kontribusi hingga 31% terhadap total kredit kuartal ketiga 2011 sebesar Rp97,4 triliun. Seperti halnya BNI, kredit ini juga mayoritas mengucur ke sektor perdagangan.
Bank Danamon sadar betul ketatnya persaingan di segmen ini, mengingat situasi ekonomi global yang tidak menentu. Diprediksi, pada tahun ini kredit korporasi akan berkurang. Meskipun begitu, bank yang mayoritas sahamnya dikuasai Asia Financial itu tak akan menurunkan bunga kredit mikronya untuk menjaring nasabah lebih banyak. Mereka masih cukup optimistis, dengan suku bunga dasar kredit sebesar 10%-11% masih bisa kompetitif.
BTPN, yang baru beberapa tahun ini fokus di pasar mikro, mencetak kenaikan kredit mikro 45% menjadi Rp6,1 triliun (yoy). Jika dihitung selama tahun ini saja atau secara year to date (ytd) tumbuh 32%. “Ini sangat membantu pencapaian kredit kuartal ketiga kami yang tumbuh 31%,” kata Eny Yuliati, Sekretaris Perusahaan BTPN.
Ketika raja-raja mikro meraup pertumbuhan di kisaran 30%, bank-bank papan menengah ke bawah harus cukup puas dengan pertumbuhan kredit UMKM rata-rata di bawah 20%. Tak heran, pertarungan sengit pun terjadi di tingkat bank-bank papan atas yang berambisi untuk memperbesar market share-nya.
Tak hanya berebut pasar, pertarungan yang lebih seru lagi justru terjadi dalam memperebutkan sumber daya manusia (SDM) spesialis bankir mikro. Penyebabnya, bank-bank yang baru fokus menggarap pasar mikro ingin secepatnya “tancap gas” sehingga berburu tenaga yang benar-benar siap menjaring kredit. Akhirnya, mereka menempuh jalan pintas: hijack alias membajak.
Empat tahun lalu, misalnya, ratusan bankir DSP Bank Danamon bermigrasi ke BTPN dan Bank Mega Syariah yang baru saja meluncurkan unit bisnis mikronya. BTPN mendirikan Mitra Usaha Rakyat (MUR), sementara Bank Mega Syariah mendirikan Mega Mitra Syariah (M2S). Kedua bank itu membutuhkan tenaga-tenaga siap pakai untuk menggenjot bisnis.
Tak berselang lama, sekitar dua tahun kemudian, giliran Bank Mega Syariah yang terkena bajak. Dari 4.000 karyawan, sekitar 1.000 orang hengkang ke bank lain, seperti BTPN dan Bank Pundi. Faktor remunerasi menjadi alasan utama
BRI, yang memiliki paling banyak karyawan mikro—karena pionir di segmen ini—tak kaget lagi jika ada karyawannya yang dibajak. Satu sisi, ada kebanggaan tersendiri karena SDM didikannya diakui bank lain. Namun, di lain sisi, mereka merasa sedih dan kehilangan karena harus mencari kembali penggantinya dan mulai mendidik kembali SDM baru. Makanya, selain memberi pembekalan teknis kepada calon karyawannya, manajemen BRI juga menekankan pentingnya value.
“Kita tanamakan, jangan pernah bangga kalau hanya bicara angka pada zamanmu. Kita harus berpikir jauh ke depan, 20 tahun ke depan. Kita harus bikin pondasinya hari ini. Makanya, saya bilang sama mereka, ‘Tolong di setiap titik kamu berada tinggalkan value itu’. Saya bangga kalau saya jadi sebutir pasir di rumah masa depan BRI,” tutur Sofyan.
Selain value, yang tak kalah penting tentu terkait dengan kesejahteraan. Apalagi, selama ini faktor remunerasi menjadi pendorong utama bankir pindah bank. Makanya, BRI memberi apresiasi kepada karyawannya yang memiliki komitmen. “Jika selama 30-35 tahun di BRI, saya katakan kepada mereka, kamu mengantarkan anak-anak kamu ke pelaminan dengan tanggung jawab BRI. Jadi, bukan nyekolahin saja,” tegasnya. (*)

Sumber : Infobank

Bankir Nilai Biaya Dana di Perbankan Indonesia Masih Tinggi

Untuk menyalurkan kredit, perbankan masih mengandalkan dana pihak ketiga, yang diambil dengan menawarkan bunga tertentu sebagai biaya dana. Di Indonesia, biaya dana yang terlihat dari bunga deposito masih lebih tinggi dibanding negara-negara kawasan. Paulus Yoga
Jakarta–Direktur Micro and Retail Banking PT Bank Mandiri (persero) Tbk Budi Gunadi Sadikin menyatakan, kendala perbankan dalam menurunkan suku bunga masih terbentur dengan besarnya biaya dana.
Hal tersebut diutarakannya kepada wartawan usai menghadiri seminar: “Mewujudkan National Payment Gateway Menyongsong MEA 2015,” di Jakarta, Rabu, 14 Maret 2012.
“Ini biaya dana kita kan bahannya besar,” tukasnya.
Ia mencontohkan, biaya dana perbankan di Singapura jauh lebih kecil bila di banding di Indonesia. Tingkat bunga deposito di Singapura, lanjutnya, hanya setengah persen, berbanding jauh dengan perbankan di Tanah Air yang rata-rata di level 6%.
“Jadi, bunga kredit masih tinggi, karena cost of fund (biaya dana) tinggi,” tandasnya.
Ia menambahkan, memang bunga kredit bisa diturunkan, bila biaya dana juga turun. Namun, menurutnya, hal yang lebih penting adalah seberapa besar perbankan mengambil margin.
“Kalau bahan 0,5% dan jual 2%. Itu kan untungnya sampai 400%. Jadi berbeda, tidak bisa dibandingkan,” tutupnya. (*)

Sumber : Infobank

Berebut Pasar Tionghoa Berkantong Tebal

Bank-bank berlomba membidik etnis Tionghoa sebagai nasabah potensial. Banyak bank yang dihidupnya ditopang oleh kesetiaan nasabah Tionghoa. Berapa besar potensinya? Jennar Siantang
Etnis Tionghoa sudah ratusan tahun berada di Indonesia. Eksistensinya tak bisa dilepaskan dari perjalanan perniagaan dan bisnis keuangan di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda orang Tionghoa menjadi bangsa kelas dua setelah Belanda, tapi banyak yang dipercaya menjadi kasir.
Selain menyandang kepercayaan, orang Tionghoa di Indonesia yang umumnya berasal dari tenggara China itu dikenal ulet dalam bekerja. Jangan heran jika sejak era kolonial sudah ada pengusaha-pengusaha andal keturunan Tionghoa.
Salah satunya Liem Seeng Tee di Surabaya dengan produk rokoknya berlabel 234. Ia adalah pendiri PT HM Sampoerna. Ada juga yang berkecimpung di bidang keuangan, seperti Oey Tiong Ham yang mendirikan NV Bank Vereeniging di Semarang dan NV Batavia Bank (The NV Chung Hwa Sang Yeh Mij) di Medan.
Saat pemerintah Orde Baru berkuasa, jumlah orang Tionghoa diklaim sebanyak 5 juta jiwa. Kendati minoritas, mereka berperan aktif dalam perekonomian, bahkan mampu mendominasi jagat niaga Indonesia. Malah, sejak keluarnya Pakto 88 yang membuat bank-bank bermunculan seperti cendawan di musim hujan, etnis Tionghoa mendominasi kepemilikan bank.
Karena keuletannya, jangan heran jika banyak etnis Tionghoa berhasil dalam berbisnis. Tentu saja, kemakmuran ekonomi pun mengikutinya. Tebalnya kantong mereka pun menjadi target pasar industri perbankan. Bahkan, tak sedikit bank umum yang brankas dananya ditopang oleh basis nasabah orang Tionghoa.
Salah satunya Bank Mutiara, yang sebelumnya bernama Bank Century. Karena kesetiaan nasabah itulah likuiditas bank ini tetap stabil dan tumbuh, kendati “dihajar” isu politik sejak terbentuknya Panitia Khusus (Pansus) Century di legislatif. “Kontribusi mereka pada DPK (dana pihak ketiga) Mutiara juga mencapai 90%, dari total Rp11,2 triliun per Desember 2011,” ujar Benny Purnomo, Director Distribution Network Bank Mutiara, kepada Infobank.
Bank-bank papan atas seperti Bank Mandiri juga melirik masyarakat Tionghoa sebagai pasar potensial. Kendati menggarap pasar yang lebar di berbagai segmen, bank terbesar di Indonesia dari segi aset ini memiliki program khusus untuk menggarap pasar orang Chinese. Untuk mendapatkan kepercayaan mereka, Bank Mandiri berkali-kali mengelar event, seperti seminar atau gathering, yang ditujukan khusus untuk orang Tionghoa.
Menurut Setiyo Wibowo,Vice President Mass Banking Bank Mandiri, perkembangan sektor riil yang melibatkan masyarakat Tionghoa menjadi indikasi bahwa mereka berperan penting dalam memutarkan uang. “Potensi market-nya besar sekali kontribusinya terhadap GDP. Retail sales tekstil itu sekitar Rp2.000 triliun,” paparnya kepada Infobank lewat saluran telepon bulan lalu.
Diprediksi, potensi tabungan maupun giro dari sana mencapai Rp22 triliun. “Itu dari tekstil aja, belum kita lihat consumer goods dan sektor industri yang lain,” imbuh Setiyo. Bagi Bank Mandiri dan bank-bank besar lain yang mengembangkan layanan priority banking, produk-produk semacam wealth management juga bisa menjadi alternatif untuk menggaet kalangan Tionghoa berkantong tebal.
Menurut Setiyo, menggaet pasar etnis Tionghoa tidak terlalu sukar. Mereka biasa berkumpul membuka usaha di satu lokasi yang sama. Sehingga, mereka banyak mendominasi usaha di pusat perdagangan tertentu, yang dari segi sektor ekonominya pun cenderung homogen.
Ambil contoh kawasan pertokoan Glodok, Jakarta Pusat, atau Mangga Dua, Jakarta Utara, yang masing-masing menjadi sentra perdagangan barang elektronik dan tekstil.
Fenomena serupa juga tampak di daerah yang dihuni komunitas Tionghoa seperti Surabaya dan Medan. Dari kantong-kantong kegiatan bisnis mereka, bank-bank tidak hanya bisa merogoh kocek mereka, tapi juga membiayai bisnis mereka serta berbagai kegiatan transaksi yang mendatangkan fee based income. Namun, karena telah menjadi lahan potensial, bank-bank tentu harus berkompetisi untuk bisa merebut pasar etnis Tionghoa. (*)

Sumber : Infobank

BI Rate Tetap 5,75%

No. 14/7/PSHM/Humas
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 12 April 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 5,75%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan tekanan inflasi dari sisi fundamental ke depan yang diperkirakan masih relatif terkendali. Meskipun demikian, Bank Indonesia mewaspadai risiko dapat meningkatnya tekanan inflasi secara temporer ke depan dari kemungkinan adanya kebijakan terkait BBM yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia akan mengambil langkah kebijakan yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak inflasi jangka pendek tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia akan melanjutkan penguatan operasi moneter dan kebijakan makroprudensial, dengan tetap menjaga konsistensi kebijakan suku bunga dengan prakiraan makroekonomi ke depan. Dengan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah baik melalui forum Tim Pengendalian Inflasi di tingkat pusat (TPI) maupun Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), Bank Indonesia meyakini dapat membawa inflasi tahun 2013 menuju kisaran 4,5% ± 1%.
Dewan Gubernur berpandangan bahwa perekonomian global masih diliputi oleh ketidakpastian yang tinggi. Meskipun perekonomian AS mulai mengindikasikan perbaikan, pemulihan ekonomi di kawasan Eropa masih terkendala oleh penyelesaian krisis yang sedang berlangsung sementara terdapat indikasi perlambatan ekonomi di China dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan berdampak pada penurunan lebih lanjut kinerja ekspor negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia. Sementara itu, tekanan inflasi global masih relatif rendah sehingga negara-negara maju masih melanjutkan kebijakan akomodatif meskipun dengan ruang gerak yang semakin terbatas. Namun, peningkatan harga komoditas global, khususnya harga minyak, telah meningkatkan tekanan inflasi yang dapat mendorong penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat di negara-negara emerging markets. Dengan ketidakpastian perekonomian global dan tingginya harga komoditas, volatilitas arus masuk modal asing ke negara-negara emerging markets diperkirakan masih akan berlanjut.
Dewan Gubernur memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan relatif tinggi di tengah risiko perlambatan ekonomi dunia tersebut dan kemungkinan ditempuhnya kebijakan Pemerintah terkait dengan BBM. Pada triwulan II-2012 pertumbuhan ekonomi diprakirakan mencapai 6,4%, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan pertumbuhan untuk triwulan I-2012 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih dapat mencapai kisaran 6,3-6,7% pada tahun 2012 dan meningkat menjadi sekitar 6,4-6,8% pada tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di tengah perlambatan ekonomi global tersebut, terutama ditopang oleh kuatnya permintaan domestik dengan konsumsi yang masih kuat dan peran investasi yang semakin meningkat. Penimbangan risiko (balance of risks) untuk tahun 2012 menunjukkan pertumbuhan cenderung bias ke bawah baik karena dampak perlambatan perekonomian global maupun kemungkinan adanya kebijakan terkait BBM oleh Pemerintah, apabila tidak ditempuh langkah-langkah stimulus khususnya dari kebijakan fiskal. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan masih akan tumbuh cukup tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor transportasi dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor bangunan.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun 2012 diprakirakan akan mencatat surplus yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan surplus neraca pembayaran terutama disebabkan oleh defisit transaksi berjalan yang lebih besar karena melambatnya ekspor sejalan dengan perlambatan permintaan dunia di tengah impor yang terus meningkat seiring dengan kuatnya permintaan domestik dan tingginya konsumsi BBM. Di sisi lain, transaksi modal dan keuangan diprakirakan masih mengalami surplus yang cukup besar ditopang oleh aliran investasi langsung dan portofolio. Sementara itu, cadangan devisa sampai dengan akhir Maret 2012 masih cukup besar, mencapai 110,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Pergerakan nilai tukar Rupiah selama triwulan I-2012 mengalami pelemahan. Rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,83%(qtq) ke level Rp9.144 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 1,03% (qtq) menjadi Rp9.066 per dolar AS. Pelemahan tersebut diikuti dengan volatilitas yang meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Tekanan terhadap Rupiah antara lain berasal dari penyesuaian portofolio investor asing akibat pengaruh sentimen global dan ekspektasi inflasi yang meningkat di dalam negeri, di samping permintaan valas yang cenderung meningkat seiring dengan kuatnya impor, termasuk impor migas untuk konsumsi BBM di dalam negeri. Dengan langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah yang ditempuh Bank Indonesia baik melalui intervensi di pasar valas maupun pembelian SBN dari pasar sekunder, stabilitas pergerakan nilai tukar Rupiah secara keseluruhan masih tetap terjaga.
Di sisi harga, inflasi masih terkendali meskipun terdapat risiko peningkatan tekanan inflasi ke depan. Inflasi IHK pada triwulan I-2012 tercatat 0,88% (qtq) sehingga secara tahunan tercatat sebesar 3,97% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, inflasi inti masih cenderung terkendali dan berada pada level yang relatif rendah (4,25%, yoy). Sumber tekanan inflasi antara lain berasal dari rendahnya deflasi kelompok bahan pangan meskipun telah memasuki masa panen raya. Sementara itu, inflasi administered prices relatif rendah seiring dengan tidak adanya perubahan kebijakan dibidang harga komoditas strategis. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko meningkatnya ekspektasi inflasi terutama yang terkait kemungkinan kebijakan BBM yang ditempuh oleh Pemerintah.
Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dan disertai dengan fungsi intermediasi yang semakin baik dalam mendukung pembiayaan perekonomian. Industri perbankan menunjukkan kinerja yang semakin solid sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, intermediasi perbankan juga terus membaik, tercermin dari pertumbuhan kredit yang hingga akhir Februari 2012 mencapai 24,2% (yoy). Kredit investasi tumbuh cukup tinggi, sebesar 33,2% (yoy), dan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas perekonomian. Sementara itu, kredit modal kerja dan kredit konsumsi masing-masing tumbuh sebesar 23,4% (yoy) dan 19,6% (yoy).
Ke depan, Dewan Gubernur akan mencermati dampak dari kemungkinan kebijakan Pemerintah terkait dengan BBM dan risiko perlambatan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Apabila kebijakan BBM tersebut ditempuh Pemerintah, Bank Indonesia tetap meyakini bahwa dampaknya terhadap inflasi akan bersifat temporer (one-time shock). Meskipun demikian, Bank Indonesia akan mengoptimalkan berbagai kebijakan yang diperlukan untuk meminimalkan dampak temporer inflasi tersebut dan mengendalikan tekanan inflasi ke depan sesuai kondisi fundamental agar berada dalam sasarannya. Dalam hal ini, Bank Indonesia akan memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah ditempuh selama ini. Respon kebijakan suku bunga tetap diarahkan untuk mengendalikan tekanan inflasi dari sisi fundamental sesuai prakiraan makroekonomi ke depan. Sementara itu, untuk mengendalikan tekanan inflasi dalam jangka pendek yang bersifat temporer, kebijakan difokuskan pada penguatan operasi moneter dan pengendalian ekses likuiditas secara terukur. Disamping itu, koordinasi dengan Pemerintah akan terus diperkuat, baik dengan Pemerintah Pusat melalui forum TPI maupun dengan Pemerintah daerah melalui forum TPID.
Laporan lengkap mengenai pembahasan Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2012 yang memuat perkembangan makroekonomi, kebijakan moneter, dan prospek 2012-2013 dapat dilihat dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM)

Jakarta, 12 April 2012
 
Departemen Perencanaan Strategis
dan Hubungan Masyarakat
Dody Budi Waluyo
Kepala Departemen



BI: Pertumbuhan Ekonomi 2012 Diprediksi 6,4%


Inflasi akan tetap rendah dan terkendali. Perkiraan tersebut masih valid bila pemerintah tidak melakukan kebijakan dibidang BBM. Selain itu, pertumbuhan ekonomi cenderung berada pada kisaran 6,4%. Angga Bratadharma
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menilai, perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 akan bias cenderung menurun, yang sebelumnya diperkirakan berada pada kisaran 6,3% hingga 6,7%.
“Kita sampaikan waktu itu bahwa perkiraan pertumbuhan ekonomi kita tahun 2012 itu 6,3% hingga 6,7% masih bisa dicapai, tapi sepertinya cenderung bias kebawah, kearah 6,3%, lebih tepatnya 6,4%. Makanya kita turunkan penurunan BI Rate 100 bps agar pertumbuhan ekonomi kita bisa 6,4%. Kalau tidak ada stimulus moneter bisa 6,3%, kalau dikasih bisa di atas 6,4%”, ucap Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, kepada wartawan, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 17 April 2012.
Ia mengatakan, inflasi ke depan akan tetap rendah dan terkendali. Perkiraan tersebut masih valid bila pemerintah tidak melakukan kebijakan dibidang BBM. “Kisaran pertumbuhan ekonomi masih 6,3% hingga 6,7% kalau tidak ada kebijakan mengenai BBM itu. Poinnya sekitar 6,4%. Inflasi akhir tahun menjadi 4,4%”, jelas Perry.
Ia menambahkan, apabila pemerintah melakukan kebijakan untuk menaikkan harga BBM, maka perkiraan pertumbuhan ekonomi 6,4% bisa tercapai, inflasi 4,4% dan ditambah 0,3$, jadi 4,7%.
“Kalau dilakukan kenaikan harga BBM, maka 4,4% ditambah 2,2% jadi 6,6%, lebih rendah dari 7% yang kita perkirakan waktu itu, karena inflasi bulan-bulan ini lebih rendah,” ujar Perry.
“Tahun 2013 makro ekonomi kita akan kembali ke tren jangka menengah dan panjang. Pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 6,4%-6,8% dengan arah sekitar 6,7%. Inflasinya akan tetep terkendali di level sekitar 4,5%. Plus minus 1%”, tambahnya. (*)

Sumber : Infobank

BI: Pengaruh Kenaikan BBM Terhadap Inflasi Hanya 3 Bulan

Memang dengan adanya penaikan harga BBM akan berpengaruh terhadap inflasi yang ada, namun BI yakin bahwa penaikan tersebut akan kembali turun sekitar 3 bulan dari kenaikan. Angga Bratadharma
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan, dampak dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah hanya akan berpengaruh terhadap inflasi selama 3 bulan. Setelah itu, inflasi disinyalir akan kembali turun.
“Apabila pemerintah menaikan BBM bersubsidi kemarin itu, memang menaikan inflasi, tapi saya rasa setelah waktu penaikan itu selesai, maka inflasi akan turun kembali”, kata Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, kepada wartawan, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 17 April 2012.
Ia mengatakan, memang dengan adanya penaikan harga BBM akan berpengaruh terhadap inflasi yang ada, namun BI yakin bahwa penaikan tersebut akan kembali turun sekitar 3 bulan dari penaikan itu.
“Memang ada pengaruhnya, tapi saya rasa 3 bulan sesudahnya akan kembali turun”, tukasnya.
Perry menambahkan, secara keseluruhan Dewan Gubernur (DG) juga meyakini dengan berbagai opsi dan kondisi yang adda, termasuk dengan BBM bersubsidi, maka inflasi akan tetap terkendali hingga akhir tahun.
“Setelah dampak temporer berakhir, inflasi akan kembali pada tren fundamentalnya. Jadi tahun depan tetap akan terkendali”, tutupnya. (*)

Sumber : Infobank

Ekspektasi Inflasi Naik, BI Perketat Operasi Moneter


Policy respon yang dilakukan BI mengenai tekanan inflasi jangka pendek adalah melakukan langkah penguatan operasi moneter dalam pengendalian likuiditas. Angga Bratadharma
Jakarta–Melihat adanya indikasi bahwa ekspektasi inflasi mulai meningkat, terlihat dari indikator survei penjualan eceran, ekspektasi konsumen, dan implied expektasi di pedagang, maka Bank Indonesia (BI) mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi hal tersebut.
“Kita memang melihat adanya indikasi bahwa ekspektasi inflasi mulai meningkat. Sebab itu, langkah yang dilakukan BI mulai melakukan pada bulan lalu dan bulan ini melakukan penguatan operasi moneter”, tukas Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, kepada wartawan, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 17 April 2012.
Menurut Perry, policy respon yang dilakukan BI mengenai tekanan inflasi jangka pendek adalah melakukan langkah penguatan operasi moneter dalam pengendalian likuiditas. “Suku bunga operasi moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sedikit bergerak naik khususnya untuk tenor-tenor lebih dari 1 hari. Dengan penguatan operasi moneter yang kita lakukan, makanya suku bunga operasi moneter kita untuk FASBI masih dimantain 3,75%. Tapi tenor 9 bulan sekitar 4%”, tandasnya.
Namun, lanjut Perry, BI meyakini dengan level sekarang sekitar 4% untuk tenor operasi moneter 9 bulan itu masih dinilai rendah, sehingga diyakini tidak ada alasan untuk membawa suku bunga deposito/suku bunga kredit naik.
“Maksimum LPS 5,5%. Jadi tidak ada alasan bagi bank untuk menaikan suku bunga deposito. Apalagi bunga kredit, Trennya msaih harus penurunan”, terang Perry.
Ia menambahkan, BI juga akan menyiapkan langkah-langkah lanjutan, namun hal itu tergantung dari bagaimana pergerakan atau rencana pemerintah ke depan. “Langkah lain adalah pengendalian likuiditas secara langsung, disamping penguatan operasi moneter”, tutup Perry. (*)

Sumber : Infobank

Rabu, 21 Maret 2012

Lewat Aturan DP, BI Harap Kelayakan Debitor KPR dan KKB Meningkat

Melalui aturan DP, Bank Indonesia berharap bisa membuat calon debitor KPR dan KKB lebih terarah hanya bagi yang benar-benar membutuhkan. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) berharap dengan adanya aturan uang muka atau down payment (DP) kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) bisa menciptakan keseimbangan baru, kendati akan sedikit terhambat dari sisi permintaan.
“Memang dari permintaan akan sedikit terhambat. Tapi keseimbangan baru akan muncul. Nasabah yang mengajukan KPR atau KKB akan semakin memenuhi persyaratan,” ujar Kepala Biro Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Filianingsih, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2012.
Bank sentral telah merilis Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau down payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Sementara Untuk pengaturan uang muka kredit atau DP pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
Berdasarkan simulasi yang BI lakukan, aturan baru mengenai uang muka akan membuat nasabah menunda membayar uang muka. Untuk KPR penangguhannya bisa terjadi selama 7-8 bulan sedangkan untuk KKB penundaannya selama 3-4 bulan.
“Nah nanti ini muncul keseimbangan baru, untuk nasabah-nasabah yang eligible (layak), jadi yang benar-benar membutuhkan, bukan untuk yang spekulasi,” tandas Filianingsih. (*)

Sumber : Infobank

77,23% Pembelian Rumah Dilakukan Lewat Skema Kredit

Pembelian rumah melalui skema KPR masih menjadi solusi bagi masyarakat mengingat peningkatan harga rumah, khususnya di wilayah perkotaan cukup cepat. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) mencatat, sebagian besar pembelian perumahan dilakukan melalui skema kredit. Sebesar 77,23% dari total pembelian perumahan dilakukan dengan menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR).
“Bila dirinci, hanya sebesar 1,66% yang menggunakan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), sementara 75,57% merupakan KPR non-FLPP,” tutur Kepala Biro Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Filianingsih, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2012.
Selain KPR, masyarakat juga menggunakan dua skema lain dalam pembelian rumah, yakni tunai bertahap dan tunai. Untuk tunai berharap porsinya mencapai 14,13%, sedangkan tunai sebesar 8,64%.
Berdasarkan tipe, mayoritas kredit KPR masih didominasi rumah tinggal tipe 22-70, dengan pembiayaan mencapai Rp88,8 triliun atau memiliki pangsa 43,87%, diikuti rumah di atas tipe 70 dengan pangsa sebesar 31% atau pembiayaan sebesar Rp62,7 triliun.
Sementara untuk rumah tipe 21 ke bawah, memiliki pangsa 15,13%. Menurut Filianingsih, dari survei bank sentral, untuk rumah tipe 70 ke bawah masih digunakan untuk kebutuhan primer, atau ditempati.
“Jadi kalau untuk ditinggali, lebih tinggi komitmen nasabah menyelesaikan kreditnya,” tandasnya.
Dari sisi harga rumah, bank sentral melihat, khusus tipe 70 ke atas kenaikan harganya cukup signifikan, terutama di wilayah tertentu akibat kurangnya supply (penawaran) dibanding demand (permintaan), sehingga berapa pun kenaikan harga diikuti saja oleh masyarakat yang memiliki uang.
“Kalau tipe 70 ke atas, harganya agak melebihi rata-rata,” tutup Filianingsih. (*)

Sumber : Infobank

Wapres: Kenaikan BBM Cegah Kebocoran Subsidi

Banyak cara untuk mengamankan subsidi BBM, tidak cukup hanya dengan melakukan penghematan pengeluaran anggaran negara.
Jakarta–Wakil Presiden Boediono menegaskan, selain untuk mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, rencana pemerintah melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) juga bertujuan untuk mengatasi kebocoran pemanfaatan BBM bersubsidi dan perencanaan anggaran negara yang lebih baik.
Saat berbincang bersama wartawan di Istana Wakil Presiden, Selasa, 20 Maret 2012, Wapres menyebutkan, terjadinya kebocoran BBM bersubsidi disebabkan adanya perbedaan harga BBM bersubsidi dengan harga ekonominya.
Sebagai perbandingan, Wapres menerangkan bahwa di kawasan regional, harga BBM bersubsidi di Indonesia jauh di bawah harga pada beberapa negara, seperti di Vietnam, Filipina, dan Timor Leste. Bahkan di Timor Leste bensin dijual dengan menggunakan harga ekonomi sekitar Rp12.000 per liter.
Wapres berharap, dalam 2-3 tahun ke depan, subsidi BBM tidak menjadi bagian utama dalam APBN. “Seandainya subsidi tidak menjadi pokok utama dalam APBN, maka APBN dapat dengan bebas digunakan untuk porsi lain yang lebih membutuhkan. Secara bertahap kita menuju ke sana, jangan malah menjauh dari sana,” ujar Wapres, seperti dikutip dari website setkab.go.id.
Mengena kebocoran itu, Wapres menjelaskan, bahwa  itu adalah penggunaan BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Apakah oleh industri, atau diselundupkan ke luar negeri. Akibatnya, subsidi tidak lagi dinikmati oleh mereka yang membutuhkan, tetapi insentif dimanfaatkan dalam penyimpangan dan kalangan industri.
Wapres juga mengingatkan, dipasaran dunia harga minyak saat ini pada kisaran 120 dolar AS per barel, sedangkan pemerintah dan DPR dalam APBN 2012 menyepakati harga minyak mentah Indonesia sebesar 90 dolar AS per barel, sehingga pemerintah harus memberikan subsidi yang sangat besar, jika tidak ada penyesuaian.
Terjadinya perbedaan yang cukup besar antara harga BBM saat dengan dengan harga minyak di pasaran dunia itulah, yang membuka peluang terjadinya kebocoran subsidi.  “Semakin besar perbedaan harga dalam dan luar negeri, semakin besar lubangnya. Bocornya makin banyak,” ucap Wapres.
Wapres juga menyadari, banyak cara untuk mengamankan subsidi BBM, tidak cukup hanya dengan melakukan penghematan pengeluaran anggaran negara. “Yang paling efektif adalah melakukan penyesuaian harga BBM. Kita kurangi gap harga,” jelas Wapres.
Dengan melihat kondisi perekonomian global, Wapres memperkirakan harga minyak mentah dunia akan berada pada kisaran 120 dolar AS, 150 dolar AS, bahkan dapat menembus 170 dolar AS per barel. (*)

Sumber : Infobank

Anggito Abimanyu Bantah Manipulasi Data Surplus Migas

Sebelumnya, tersiar berita, Anggito Abimanyu,  yang selalu bersikeras menaikan harga BBM dengan alasan “mengurangi beban subsidi BBM”, mengakui bahwa tidak ada subsidi dalam BBM. Rully Ferdian
Jakarta–Pengamat ekonomi yang juga mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu, membantah berita mengenai manipulasi pemerintah soal surplus migas.
“Sehubungan dengan pemberitaan melalui bbm (BlackBerry Massangers) dan SMS bahwa saya, Anggito Abimanyu, bekerja sama dengan bapak Kwik Kian Gie, bekerja sama menghitung/menganalisis surplus minyak dan menyatakan, pemerintah telah melakukan manipulasi adalah tidak benar dan fitnah.
Dalam kesempatan talkswhow dan di Jakarta Lawyar Club (JLC) TVOne bersama KKG, dan lain-lain, Anggito mengkonfirmasi bahwa terdapat surplus operasi migas dalam APBN 201,2 namun surplus tersebut menurun manakala terjadi kenaikan harga minyak dunia. Dan surplus tersebut telah dimanfaatan untuk belanja APBN bahkan APBN mengalami defisit.
“Tidak pernah terucap satu kalipun mengenai manipulasi pemerintah,” kata Anggito, dalam pernyataannya yang disebarkan melalui bbm dan SMS. Anggito juga menyatakan mendukung kenaikan harga BBM.
“Demikian mohon tidak mempercayai terhadap pemberitaan yang menyudutkan dan memfitnah diri saya,” tulis Anggito.
Sebelumnya, tersiar berita, Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan “mengurangi beban subsidi BBM”, mengakui bahwa tidak ada subsidi dalam BBM.
“Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan,” katanya dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/3), terkait rencana kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wakil Menteri ESDM.(*)

Sumber : Infobank

Jumat, 16 Maret 2012

Dinilai Lebih Aman, Luas Rumah di Bawah 70 m2 Tidak Kena Aturan LTV

Masyarakat kelas menengah dan bawah boleh menarik nafas lega, karena aturan LTV KPR bagi perbankan lebih diperuntukkan untuk pembiayaan kriteria bangunan di atas 70 m2, yang secara nilai lebih besar. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan, terkait dengan penerapan aturan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), hanya diperuntukkan bagi rumah dan apartemen dengan luas bangunan di atas 70 m2.
“Kalau di bawah 70 m2 baik itu rumah atau apartemen, ketentuan LTV itu tidak berlaku,” tukas Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A. Johansyah, kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012.
Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Bank sentral menetapkan LTV maksimal 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2. Aturan tersebut juga tidak mengikat terhadap pelaksanaan program-program perumahan pemerintah.
Seperti diketahui, pemerintah gencar membangun proyek-proyek rumah murah dan rumah susun, yang lebih diperuntukkan bagi masyarakat miskin, salah satunya yang didukung dengan program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), di mana beberapa bank turut serta dalam penyalurannnya.
Dari segi luas bangunan, program-program pemerintah tersebut memang ada di bawah ketentuan BI, yang menetapkan maksimal LTV 70% untuk tipe bangunan di atas 70 m2.
Bank sentral menilai, untuk luas bangunan di bawah 70 m2 lebih diperuntukkan masyarakat menengah ke bawah, sebagai tempat tinggal pertama, bukan sebagai investasi sehingga dinilai lebih bebas dari risiko bubble.
“Yang di bawah 70 m2 itu diperuntukkan untuk golongan menengah ke bawah jadi ada toleransi lah. ‎​Di samping itu untuk yang luas bangunan di atas 70 m2 itukan nilainya besar-besar, jadi risikonya bagi perbankan lebih besar (kalau dijadikan investasi),” terang Difi kepada Infobanknews.com. (*)

Sumber : Infobank

BI Syukuri Harmonisasi Aturan dengan Bapepam-LK Berjalan Lancar

Harmonisasi aturan dengan Bapepam-LK terkait aturan uang muka atau down payment di sektor properti dan otomotif, Bank Indonesia bersyurkur bisa berjalan dengan lancar. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan harmonisasi kebijakan dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah terjalin untuk menjaga tingkat kehati-hatian dalam pembiayaan di sektor otomatif dan properti.
“Makanya dikeluarkan sama, Bapepam juga hari ini mengeluarkan aturan yang sama untuk perusahaan pembiayaan dengan persentasi yang sedikit berbeda,” ucap Gubernur BI Darmin Nasution, kepada wartawan di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012.
Terkait hal tersebut, bank sentral mengeluarkan Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau down payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Sementara Untuk pengaturan uang muka kredit atau DP pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
“Kalau tidak salah DP-nya 5% lebih rendah di sana. Buat kita di perbankan sebenarnya selama ini relatif berjalan, dengan masuknya perusahaan pembiayaan ini menjadi jauh lebih berarti,” tutup Darmin. (*)

Sumber : Infobank

Sesuaikan Perlambatan Ekonomi, BI Coba Perlambat Kredit Konsumsi

Kendati tetap optimis dengan pertumbuhan kredit secara keseluruhan, Bank Indonesia melihat ada baiknya kredit konsumsi diperlambat, khususnya di sektor properti dan konsumsi, melalui penerapan aturan LTV KPR dan DP KKB. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan, aturan loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dan down payment (DP) kredit kendaraan bermotor (KKB) sudah disiapkan sejak lama. Bank sentral menilai saat ini adalah moment yang tepat dalam penerapannya.
“Sebetulnya itu kan sudah dipersiapkan sejak lama. Kalau dilihat kecepatan perkembangan ekonomi, kemungkinan perlambatan itu ada. Tapi, bagaimana pun juga kita ingin mulai sekarang,” tutur Gubernur BI Darmin Nasution, kepada wartawan di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012.
Ia menambahkan, kalau pun pertumbuhan kredit secara keseluruhan terus berlangsung, namun untuk kredit konsumsi bisa diperlambat pertumbuhannya melalui aturan tersebut.
“Bagaimana pun juga kalau Anda lihat aturannya itu, untuk bank nih ya, DP untuk motor 25%, kemudian untuk mobil 30%. Tapi untuk mobil keperluan produktif lebih kita kecilkan (20%),” terangnya.
Terkait hal tersebut, bank sentral mengeluarkan Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau down payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Sementara Untuk pengaturan uang muka kredit atau DP pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
“Ini karena ada sisi lain juga selain urusan makro, urusan mikronya adalah ini untuk urusan prudensial (kehati-hatian). Untuk prudensial sehingga pemberian kredit itu tidak begitu saja Lebih menariknya lagi, lebih bagusnya lagi, ini sama-sama dilaksanakan di perbankan dan perusahaan pembiayaan,” imbuh Darmin. (*)

Sumber : Infobank

Akhirnya, BI Rilis Aturan LTV KPR dan DP KKBI

Setelah cukup lama berembuk dengan Bapepam-LK, terkait pembiayaan di sektor properti dan otomotif. Dalam menjaga KPR dan KKB tetap sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan tidak menimbulkan bubble ekonomi, Bank Indonesia memperketat aturan dengan menentukan besaran tertentu untuk LTV KPR dan DP KKB. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) resmi merilis aturan menyangkut loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dan down payment (DP) kredit kendaraan bermotor (KKB) dalam menjaga kucuran kredit di dua sektor tersebut jauh dari bubble ekonomi.
Sebagaimana dimuat dalam situs BI di Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012, aturan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Dalam aturan tersebut, bank sentral menjelaskan, bahwa LTV paling tinggi 70% untuk KPR dengan kriteria tipe bangunan di atas 70 m2. Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.
Sementara untuk pengaturan uang muka kredit atau Down Payment (DP) pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
Khusus untuk keperluan produktif, BI menyatakan harus memenuhi syarat, yakni merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu.
Bank sentral menegaskan, rasio LTV KPR dan besaran DP KKB dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.
Adapun SE ini mulai berlaku pada 15 Maret 2012, sedangkan ketentuan mengenai besaran LTV KPR dan DP KKB mulai berlaku pada 15 Juni 2012.
Besaran LTV KPR dan DP KKB, sebagaimana diatur dalam SE tersebut, tidak berlaku untuk kredit yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya Surat Edaran tersebut.
Bank sentral menilai, perlunya aturan yang ketat untuk pembiayaan atau kucuran KPR dan KKB, dilakukan dalam meningkatkan kehati-hatian atau manajemen risiko.
Dari sudut pandang makroprudensial, jelas BI, pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan Risiko Kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang besar.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, antara lain berupa:
- Teguran tertulis.
- Penurunan tingkat kesehatan Bank.
- Pembekuan kegiatan usaha tertentu.
- Pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (*)

Sumber : Infobank

Kenaikan Harga BBM dan Daya Tahan Kredit

Kenaikan harga BBM juga selalu berdampak pada kolektibilitas kredit. Kelompok yang berpenghasilan tetap akan terkena imbas kenaikan harga kebutuhan dan sudah pasti akan memengaruhi cicilan atau angsuran ke bank atau ke multifinance. Harga polis asuransi juga akan naik karena biaya-biaya rumah sakit dan sekolah juga meningkat.
Eko B. Supriyanto

Pemerintah hampir pasti akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hanya saja besarannya masih belum pasti. Namun, perkiraan pasar, kenaikan harga BBM akan berkisar 30% sampai dengan 40%. Untuk premium, yang biasanya Rp4.500 per liter akan menjadi Rp6.000 sampai dengan Rp6.500 per liter. Kenaikan harga BBM ini terkait dengan daya tahan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Kenaikan harga BBM bersubsidi sepertinya akan dilakukan pada 1 April 2012. Menurut Agus D.W. Martowardojo, Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia (RI), pemerintah akan segera mengajukan pembahasan APBN perubahan (APBN-P) pada awal Maret dan 30 hari sejak pengajuan kenaikan harga sudah bisa dilakukan.
Menurut Agus Martowardojo, kenaikan harga minyak bersubsidi ini dilakukan untuk mengendalikan lonjakan konsumsi BBM dan mengurangi subsidi yang terus membengkak. Namun, Menkeu sendiri tidak akan menyebut angka kenaikannya karena akan menimbulkan spekulasi.
Hitung-hitungan penghematan subsidi BBM kasarnya jika kenaikan Rp1.000 per liter, akan menghemat sekitar Rp28 triliun dan kenaikan Rp1.500 sebesar Rp54 triliun. Jadi, jika tidak dinaikkan harga BBM bersubsidi akan meledakkan APBN.
Tahun lalu saja angka subsidi BBM mencapai Rp165 triliun. Jumlah ini melonjak dari APBN-P sebesar Rp129,7 triliun. Pada 2012 angka subsidi diperkirakan Rp123 triliun. Namun, jika melihat konsumsi BBM dan harga minyak dunia, target itu bisa melonjak tinggi. Untuk itu, pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi ini.
Jika hendak membandingkan angka subsidi minyak tahun ini, besarnya subsidi itu 2,2 kali anggaran infrastruktur perhubungan yang besarnya Rp55,6 triliun dan 0,5 kali anggaran pendidikan murah dan terjangkau Rp290 triliun.
Banyak pengamat tampak setuju atas kenaikan harga BBM ini, kecuali jajaran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang beroposisi dengan pemerintah.
Suka tidak suka, kenaikan harga BBM ini harus dilakukan. Selain mudah dan simpel karena tinggal membuat kebijakan ketimbang membuat kebijakan alih energi yang mendadak dan pengenaan harga BBM bersubsidi yang berbeda—yang akan menimbulkan distorsi harga.
Kendati demikian, ada dampak yang paling serius. Kelompok kaya masih akan menikmati subsidi bersama dengan kelompok miskin. Karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan dan melakukan pembangunan infrastruktur agar masyarakat yang terkena dampaknya dapat tertolong. Perlu ada kebijakan buat si miskin.
Kenaikan harga BBM selalu berdampak banyak. Ongkos angkutan umum akan naik. Bahkan, belum ada pengumuman, asosiasi angkutan umum memperkirakan akan ada kenaikan ongkos angkutan 35% dan ini akan menyulut harga kebutuhan pokok dan akan berdampak pada angka inflasi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kenaikan harga BBM juga selalu berdampak pada kolektibilitas kredit. Kelompok yang berpenghasilan tetap akan terkena imbas kenaikan harga kebutuhan dan sudah pasti akan memengaruhi cicilan atau angsuran ke bank atau ke multifinance. Harga polis asuransi juga akan naik karena biaya-biaya rumah sakit dan sekolah juga meningkat.
Jika permintaan turun di kelompok masyarakat berpenghasilan tetap, itu karena tergerus inflasi yang bisa mencapai kenaikan 1% sampai dengan 2% akibat kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Inflasi diperkirakan akan terkerek pada kisaran 5% sampai dengan 7% sehingga suku bunga juga sulit diharapkan untuk turun lebih rendah lagi.
Pada akhirnya, jika ada tekanan terhadap harga-harga, akan berpengaruh terhadap sektor riil, yang sudah pasti akan terjadi penurunan permintaan. Jika terjadi penurunan permintaan, akan berpengaruh terhadap kualitas kredit bank. Risiko kredit macet akan makin besar dan ini merupakan ancaman terhadap penurunan suku bunga kredit karena risiko yang meningkat.
Pengalaman sebelumnya, ketika harga minyak naik, akan berpengaruh pada sektor konsumsi, terutama kredit-kredit yang berisiko tinggi. Juga, bakal menurunkan permintaan akan kebutuhan otomotif dan ini pasti bisa merembet ke sektor multifinance. Risiko multifinance akan membesar akibat kenaikan harga BBM dan sudah tentu akan menaikkan harga jual kendaraan bermotor akibat ada kenaikan harga suku cadang.
Karena itu, kalangan perbankan dan multifinance perlu memerhatikan bahaya laten dari kenaikan harga BBM ini. Sepertinya tidak akan terjadi apa-apa karena setiap hari kita disuguhi sinetron mengenai pengusutan kasus korupsi yang dilakukan Nazaruddin dan kawan-kawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selama ini pemerintah sangat senang memerhatikan kondisi sosial politik. Padahal, sebenarnya kenaikan harga BBM ini bisa berdampak buruk pada sektor riil dan sektor perbankan. Namun, sepanjang pemerintah bisa mengerjakan PR-nya, yaitu mengurusi penduduk miskin, perbankan juga masih akan bisa tumbuh seperti perkiraan, yaitu 22% sampai dengan 24%.
Namun, jangan pernah berharap akan terjadi penurunan suku bunga kredit yang lebih tajam. Semua itu karena efek berantai kenaikan harga BBM yang akan menurunkan kualitas kredit sektor perbankan dan multifinance. Satu-satunya langkah yang wajib dilakukan perbankan dan multifinance adalah bersiap-siap. Tetap menjaga kualitas kredit dan senantiasa memerhatikan biaya-biaya yang tiba-tiba membengkak.
Kenaikan harga BBM bersubsidi ini akan terlewati jika semua pihak dapat melakukan efisiensi. Tanpa itu, kenaikan harga BBM akan mengurangi pencapaian laba perusahaan, atau jika tidak, membakar cash flow perusahaan. Sebab, daya tahan kredit akan makin ringkih akibat kenaikan harga minyak ini. (*)

Penulis adalah Penanggung Jawab/Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

Sumber : Infobank

Minggu, 05 Februari 2012

Sudah 20%, BI Tetap Kaji Kenaikan DP Minimal Kredit Otomotif Perbankan

Kendati rata-rata DP minimal kredit otomotif perbankan sudah 20%, Bank Indonesia tetap melakukan kajian untuk menaikkan DP minimal untuk meningkatkan kehati-hatian. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) terus melakukan koordinasi dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam upaya penerapan uang muka atau down payment (DP) minimum di industri multifinance.

“Ini masih dalam proses kita selalu koordinasi dengan Bapepam, tentunya kita harapkan nanti kalau selesai kita harapkan harmonis,” tutur Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso kepada wartawan di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat, 3 Februari 2012.

Menurutnya, harmonisasi kebijakan DP tersebut perlu untuk menopang kepentingan perekonomian dan stabilitasnya.

“Memang kala ditanya industri pasti tidak mau. Tapi kan tidak bisa begitu, kita kan memang dikasih mandat untuk mengatur,” tandasnya.

Bank sentral sendiri tetap berupaya meningkatkan DP ke sektor otomotif, dalam hal ini perbankan, yang saat ini dinilai sudah lebih prudent (hati-hati) dibanding industri multifinance dengan minimal DP 20%.

“Sekarang ini bank-bank variatif, ada yang 20%, ada yang 30%. DP untuk kredit otomotif ini average sekitar 20%. Kalau sekarang 20%, nanti 30% kan hanya masalah waktu saja,” ucap Wimboh.

Ia menjelaskan, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kehati-hatian supaya risikonya bisa terkontrol. Artinya, lanjutnya, pertumbuhan semakin tidak masalah asal tetap hati-hati. (*)

Sumber : Infobank


Pengamat: BI Perlu Buat Arsitektur Perbankan ke Sektor Mikro

Dalam menciptakan persaingan yang lebih ketat di sektor mikro, Bank Indonesia dinilai perlu membuat arsitektur sehingga mendorong lebih banyak bank melakukan pembiayaan ke sektor mikro sehingga suku bunganya bisa turun. Paulus Yoga

Jakarta–Untuk menurunkan suku bunga kredit, khususnya di sektor mikro yang dinilai masih cukup tinggi, Bank Indonesia (BI) perlu membuat arsitektur yang menciptakan kompetisi di sektor mikro meningkat.

Hal tersebut diutarakan Pengamat Ekonomi yang juga menjabat Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara, kepada wartawan di Kantor LPS, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2012.

“Buatlah arsitektur yang membuat kompetisi di mikro meningkat, jadi suku bunga bisa seperti KPR (kredit pemilikan rumah) dan korporasi,” tandasnya.

Ia menjelaskan, saat ini hampir semua bank memiliki produk KPR, sehingga tingkat kompetisi menjadi ketat dan membuat tingkat suku bunga semakin menurun. Demikian juga halnya dengan segmen korporasi.

Seperti diketahui, dalam suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan yang diumumkan sejak 31 Maret 2011 lalu, terlihat penurunan terbesar memang terjadi untuk SBDK korporasi dan SBDK kredit konsumsi KPR. Bank sentral mencatat, sejak Maret sampai November 2011, komposisi SBDK terlihat sebagai berikut:

- Kredit korporasi turun dari posisi Maret 2011 sebesar 10,51% menjadi 10,36% per November 2011.
- Kredit ritel turun dari 11,80% menjadi 11,78%.
- Kredit konsumsi untuk KPR turun dari 11,16% menjadi 10,82%.
- Kredit konsumsi non KPR naik dari 11,56% menjadi 11,68%.

Saat ini, relatif bank yang bermain di sektor mikro pun masih sangat terbatas. Adapun bank-bank yang memiliki porsi besar di segmen tersebut antara lain PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk (BRI), PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), PT Bank Mandiri (persero) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk dan PT Bank OCBC NISP Tbk.

“Selain bank-bank tersebut, memang masih ada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang memiliki fokus bisnis di sektor mikro. Tapi dari sekitar 1.800 BPR outstanding kreditnya cuma Rp40 triliun,” tukas Mirza.

Beberapa waktu lalu, Direktur Direktorat Kredit UMKM dan BPR BI Edy Setiadi mengaku, data kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih belum stabil karena perbankan masih menyesuaikan kategori kredit mikro sesuai aturan yang baru.

“Untuk tahun 2011 itu bank juga masih koreksi lagi angkanya. Jadi angka pertumbuhan tahun 2012 belum semua masuk RBB (rencana bisnis bank),” ucapnya. (*)

Sumber : Infobank

Efisiensi Masih Jadi PR Perbankan di Tanah Air

Upaya peningkatan efisiensi industri perbankan tetap harus didorong, karena sampai saat ini tingkat efisiensinya masih kalah dibanding negara-negara sekawasan. Paulus Yoga

Jakarta–Di luar biaya bunga yang sangat memengaruhi beban operasional, industri perbankan di Tanah Air dinilai masih jauh dari efisien dibanding bank-bank di negara-negara sekawasan.

“Operasional bank, di luar biaya bunga. Itu dihitungnya sebagai cost to asset ratio. Itu perbankan Indonesia di 2010 masih cukup tinggi,” tukas pengamat perbankan Mirza Adityaswara, kepada wartawan di Kantor Lembaga Penjamin Simpanan, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2012.

Menurutnya, cost to asset ratio lebih tepat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi sebuah bank dibanding dengan menggunakan BOPO (beban operasional terhadap pendapatan operasional).

“BOPO itu kan ada biaya bunga. Cost to asset ratio perbankan Indonesia di 2010, sebagai contoh BRI sebesar 4,5%, BCA 3,5% dan Bank Mandiri 3,1%. Sementara bank-bank kawasan lainnya sekitar 2%. Di Singapura malah sekitar 1%, DBS sebesar 1,1%, UOB 1,1% dan OCBC 1%,” paparnya.

Untuk itu, lanjutnya, upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan efisiensi industri perbankan di Tanah Air perlu didukung. (*)

Sumber : Infobank

Jumat, 27 Januari 2012

BI Rate Bakal Turun Jadi 5,50% di 2012

Jakarta - Bank Indonesia (BI) diprediksikan akan menurunkan suku bunga acuannya (BI Rate) sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen di Januari 2012 ini. Di 2012 sendiri BI Rate bakal menyentuh batas bawahnya hingga 5,50 persen.
Inflasi inti yang masih jinak dan kondisi ekonomi global yang tidak menentu menjadi faktor bank sentral untuk menurunkan suku bunganya.

"BI akan menurunkan suku bunga acuan sebesar 50 bps ke 5,50 persen tahun ini kemungkinan besar pada semester I-2012, dengan melihat inflasi inti masih terlihat relatif jinak. BI akan lebih fokus pada mendukung pertumbuhan ekonomi untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi global, mengurangi biaya operasi moneter mereka, dan meningkatkan fungsi intermediasi sektor perbankan," ungkap Ekonom Danamon Anton Hendranata kepada detikFinance di Jakarta, Minggu (8/1/2012).

Menurut Anton, pada Januari atau Februari 2012 ini mungkin akan menjadi waktu terbaik bagi BI untuk menurunkan suku bunga dengan 25 bps karena tekanan inflasi non-inti tidak akan sebesar seperti pada bulan Maret dan April 2012 kedepan ketika pemerintah akan menaikkan tingkat harga listrik dan mulai melaksanakan program penjatahan BBM bersubsidi.

Dijelaskannya kembali, utang Uni Eropa dan krisis perbankan dan masalah jangka panjang prospek fiskal di AS serta upgrade rating (untuk investment grade) oleh dua lembaga rating besar lainnya (S & P dan Moodys) dapat memberikan dorongan positif bagi keuangan Indonesia.

"Hal ini dapat memicu efek yang cukup besar yang relatif di Januari, dengan demikian BI akan memotong 25 bps di Januari 2012," tuturnya.

Anggota Komisi XI DPR RI, Kemal Azis Stamboel, menilai inflasi 2011 sebesar 3,79 persen merupakan peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate dan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) untuk menurunkan suku bunga penjaminan.

"Ruang bagi BI dan LPS semakin besar untuk menurunkan suku bunga acuan dan penjaminan. Penurunan sebelumnya secara umum juga sudah diikuti kalangan perbankan. Dan kalau Januari ini BI dan LPS menurunkan lagi tentu akan menjadi kado awal tahun yang baik bagi dunia usaha dan perekonomian nasional. Hal ini tentunya juga sejalan dengan tren inflasi triwulan pertama yang rendah dan juga target inflasi tahun 2012 yang 5,3 persen," jelas Kemal.

Menurut Kemal, kebijakan BI dan LPS untuk menurunkan suku bunga acuan dan suku bungan penjaminan sangat penting untuk mendorong perbankan menurunkan suku bunga kredit dan membentuk ekspetasi inflasi ke depannya. "Kita harapkan ini akan efektif mendorong suku bunga kredit agar segera turun dari rata-rata mengarah ke 7-8 persen," tuturnya.

Ekonom Standard Chartered Bank, Eric Alexander Sugandi menjelaskan pemangkasan BI Rate itu belum dilakukan dalam waktu dekat.

Menurut Eric, Bank Indonesia kemungkinan masih memberikan peluang bagi perbankan untuk menurunkan suku bunga kreditnya, setelah BI Rate turun 50 basis poin dari 6,5 persen pada November lalu.

"Untuk Januari ini masih stay di enam persen. Tapi, memang ada kemungkinan, kami proyeksikan ada pemotongan 25 basis poin di akhir kuartal pertama ini. Kemungkinan pada Maret," kata Eric.

Pemotongan BI Rate ini, katanya, sebagai bentuk stimulus bank sentral bagi pertumbuhan ekonomi nasional, sewaktu perekonomian global diprediksi lesu pada tahun ini.

"Saat perlambatan itu, BI akan memberikan stimulus penurunan 25 basis poin. Tapi, bukan sekarang," jelasnya.

Seperti yang diberitakan, BPS menyebutkan, inflasi Desember 2011 sebesar 0,57 persen. Dengan begitu, inflasi keseluruhan tahun 2011 sebesar 3,79 persen. Angka itu lebih rendah dari target pemerintah sebesar 5,65 persen. Sementara itu, BI rate sekarang ini berada pada angka 6 persen, dan suku bunga penjaminan LPS untuk simpanan rupiah sebesar 6,5 persen dan 1,5 persen untuk simpanan valuta asing per Desember 2011.

Sumber: Herdaru Purnomo - detikFinance

Jumat, 13 Januari 2012

http://www.infobanknews.com/2012/01/perbankan-diminta-ikut-sukseskan-pembatasan-bbm/


Dalam rangka menyukseskan program pembatasan BBM untuk menekan pembengkakan APBN, pemerintah meminta industri perbankan ikut andil dengan melakukan pembiayaan kepada masyarakat yang ingin memeroleh converter kit, pun pembangunan SPBG. Paulus Yoga
Jakarta–Pemerintah akan mendorong perbankan perbankan untuk memberikan kredit converter kit kepada masyarakat untuk mengubah kendaraannya dari menggunakan bahan bakan minyak (BBM) menjadi bahan bakar gas (BBG). Hal tersebut dilakukan dalam membantu menyukseskan kebijakan pembatasan BBM subsidi.
“Kita juga mendorong dalam konteks menyukseskan program pembatasan, terkait program pinjaman kepada perbankan atau selanjutnya, baik SPBU maupun converter kit,” tukas Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, kepada wartawan di Kantornya, di Jakarta, Selasa, 10 Januari 2012.
Selain pembiayaan kepada masyarakat untuk memperluas perolehan converter kit, lanjutnya, perbankan juga diminta untuk terus melakukan pembiayaan dalam mendukung lebih banyak pembangunan SPBG.
Terkait dengan converter kit, pemerintah masih akan mengutamakan produk dalam negeri. Kendati demikian pemerintah membuka peluang untuk melakukan impor, bila pasokan konverter kit di dalam negeri tidak mencukupi.
“Kita impor untuk menyukseskan, tapi kita buat dalam negeri dulu. Ini harus disuskeskan, nanti akan ditetapkan suku bunganya,” tandas Hatta.
Tidak ketinggalan, ia juga menegaskan, dengan program pembatasan BBM subsidi tersebut dinilai membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak membengkak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sebelumnya, pemerintah mengatakan akan terus melakukan sosialisasi pembatasan penggunaan BBM subsidi. Salah satu contoh sosialisasi adalah dengan terus mempromosikan LGV (liquid gas vehicle) atau kendaraan dengan menggunakan bahan bakar gas cair yang dalam pelaksanaannya membutuhkan converter kit.
“Sosialisasi kita lakukan dari sekarang, secara bertahap kita harap bisa meningkatkan penggunaan BBG lewat LGV. Infrastruktur bertahap bukan main sulap itu. Untuk converter kit itu juga bertahap, pelat kuning dikasih converter dulu,” terang Hatta. (*)

Sumber : Infobank

Kinerja Perbankan 2012 Diprediksi Lebih Rendah dari 2011

Perbankan diminta untuk melakukan efisiensi agar tetap bisa bertahan, karena tahun ini keuntungan perbankan diyakini akan tergerus akibat penurunan suku bunga. Dwitya Putra
Jakarta–Besarnya potensi investasi yang akan masuk ke Indonesia diyakini akan kontra produktif terhadap kinerja sektor perbankan nasional. Pengamat perbankan dari Universitas Atma Jaya,  Jakarta, A. Prasetyantoko mengatakan, hal ini lantaran aliran dana investasi yang masuk terus menekan tingkat suku bunga ke level terendah, sehingga akan memangkas potensi keuntungan yang dapat dinikmati oleh kalangan perbankan.
“Makin besar dana (investasi) yang masuk, maka suku bunga akan turun. Tingkat deposito saja sudah turun. Saya pikir keuntungan perbankan akan teru terpangkas. Kalau konteksnya untuk ekonomi nasional, ini bagus demi meningkatkan efisiensi perbankan,” kata Prasetyantoko kepada wartawan, di Jakarta, Rabu, 11 Januari 2012.
Namun, ia mengakui, untuk industri perbankan sendiri, hal tersebut akan berpotensi mereduksi pertumbuhan yang akan terjadi di tahun ini. Dengan perkiraan tersebut, Prasetyantoko menilai, perkembangan industri perbankan ke depan bakal tumbuh lebih rendah dibanding pada 2011.
Seberapa besar tingkat kelandaian tersebut, pelaku perbankan sendiri yang akan menjadi penentunya, seperti melakukan efisiensi. “Perbankan tetap akan tumbuh, namun tidak akan sekencang tahun lalu. Tergantung pelakunya sendiri. Seberapa besar mereka bisa melakukan efisiensi. Dengan begitu posisi NIM bisa dipertahankan,” pungkas Prasetyantoko. (*)

Sumber : Infobank 

BI Prediksi Pembatasan BBM Subsidi Naikkan Inflasi Sampai 0,94%

Rencana pemerintah membatasi penggunaan BBM subsidi dinilai Bank Indonesia akan menaikkan angka inflasi 0,72-0,94% di tahun 20112, sehingga secara keseluruhan tingkat inflasi masih sesuai target di level 4,5% plus minus 1%. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menilai, tingkat inflasi akan bertambah 0,72% sampai 0,94% dengan diberlakukannya kebijakan pembatasan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi oleh pemerinrah pada April 2012.
“Itu tanpa ada pembatasan BBM itu sasaran inflasi 4,5% bisa, tapi dengan adanya pembatasan BBM itu kita perkirakan jadi 5,2-5,4%,” tukas Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 12 Januari 2012.
Ia menjelaskan, menurut hasil hitung-hitungan kenaikan inflasi sekitar 0,72-0,94% seiring dengan meningkatnya pengeluaran masyarakat yang melakukan peralihan dari premium ke pertamax.
“Kita memahami pembatasan subsidi itu, bahwa kendaraan mobil milik pribadi itu tidak akan diizinkan membeli premium, yang boleh adalah angkutan umum,” tandasnya.
Seperti diketahui, pada April 2012, pemerintah berencana membatasi penggunaan BBM bersubsidi hanya untuk angkutan umum dan kendaraan bermotor agar APBN tidak membengkak, mengingat konsumsi BBM yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor. (*)

Sumber : Infobank

BI Rate Tetap 6,0%

No. 14/ 1 /PSHM/Humas
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 12 Januari 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate pada level 6,0%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih sejalan dengan pencapaian sasaran inflasi ke depan, upaya menjaga stabilitas sistem keuangan serta tetap kondusif dalam mendukung ekspansi ekonomi domestik di tengah ketidakpastian perekonomian global. Selama tahun 2011, perekonomian Indonesia menunjukkan kinerja yang menggembirakan dengan tingkat inflasi yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang meningkat, nilai tukar Rupiah yang stabil, dan stabilitas sistem keuangan yang terjaga. Pencapaian tersebut tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia dan Pemerintah. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko memburuknya perekonomian global. Di sisi kebijakan, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah. Dewan Gubernur meyakini bahwa penerapan bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang bersifat counter-cyclical sangat diperlukan dalam pengelolaan makroekonomi secara keseluruhan serta untuk membawa inflasi pada sasaran yang ditetapkan, yaitu 4,5%±1% pada tahun 2012 dan 2013.
Dewan Gubernur mencatat bahwa kinerja ekonomi dan keuangan global masih terus melemah seiring masih berlarutnya krisis di Eropa. Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan lebih rendah dengan konsumsi di negera-negara maju cenderung stagnan dan tingkat pengangguran yang tinggi. Hal ini berdampak pada menurunnya kinerja ekspor negara-negara berkembang. Sementara itu, pasar keuangan global masih bergejolak dengan berlarutnya penyelesaian krisis di Eropa sehingga likuiditas di pasar keuangan masih cenderung ketat dengan risiko yang meningkat. Selain itu, pasar keuangan global juga dibayangi ancaman penurunan rating di sejumlah negara Eropa yang memicu munculnya sentimen negatif. Di sisi harga, tekanan inflasi global cenderung menurun seiring dengan tren penurunan harga komoditas internasional. Dengan perkembangan tersebut, untuk mengantisipasi dampak melemahnya ekonomi global di tengah inflasi yang cenderung mereda, respon kebijakan moneter global cenderung akomodatif.
Di sisi domestik, Dewan Gubernur meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2011 cukup kuat seiring dengan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2011 diprakirakan sebesar 6,5%, didukung oleh konsumsi rumah tangga dan investasi yang masih kuat serta masih terjaganya kinerja ekspor meskipun sedikit melambat. Secara keseluruhan tahun 2011, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan mencapai 6,5%, lebih tinggi dari tahun sebelumnya sebesar 6,1%. Dari sisi produksi, sektor-sektor yang diperkirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi adalah sektor industri, sektor transportasi dan komunikasi, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun 2011 masih mencatat surplus yang cukup besar meski menghadapi tekanan pada semester II-2011. Tekanan tersebut terutama terjadi pada transaksi modal dan finansial sejalan dengan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan dan ekonomi global. Selain itu, transaksi berjalan pada triwulan IV-2011 juga mulai mengalami tekanan sejalan dengan meningkatnya impor di penghujung tahun. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa sampai dengan akhir Desember 2011 mencapai 110,1 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Nilai tukar Rupiah selama tahun 2011 secara rata-rata mengalami apresiasi 3,56% dibandingkan rata-rata 2010. Tekanan depresiasi terjadi pada semester kedua disebabkan oleh persepsi risiko yang memburuk akibat krisis Eropa. Selain itu, tingginya permintaan valuta asing untuk kebutuhan domestik, antara lain dengan meningkatnya kebutuhan impor, juga turut memberikan tekanan depresiasi pada Rupiah di semester kedua. Bank Indonesia telah menempuh berbagai langkah kebijakan untuk membatasi tekanan terhadap nilai tukar Rupiah sehingga tetap sejalan dengan fundamental maupun daya saing mata uang di kawasan. Untuk menjaga keseimbangan pasar domestik, Bank Indonesia terus memonitor perkembangan nilai tukar Rupiah dan memastikan kecukupan likuiditas Rupiah dan valas.
Inflasi tahun 2011 mencapai 3,79%, menurun tajam dibandingkan inflasi tahun 2010 (6,96%) sehingga sedikit lebih rendah dari sasarannya sebesar 5%±1% (yoy). Pencapaian tingkat inflasi yang cukup rendah tersebut didukung oleh relatif stabilnya inflasi inti, rendahnya inflasi bahan pangan, dan minimnya inflasi administered prices. Inflasi inti yang stabil didukung oleh kebijakan moneter dan nilai tukar dalam mengendalikan permintaan, tekanan inflasi dari barang impor, serta ekspektasi inflasi. Di sisi lain, rendahnya inflasi bahan pangan didukung oleh kebijakan Pemerintah dalam menjaga kecukupan pasokan dan kelancaran distribusi serta stabilisasi harga pangan. Sementara itu, kebijakan fiskal terkait subsidi energi berdampak pada minimnya inflasi administered prices. Sinergi kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah dalam meredam inflasi tersebut juga tidak terlepas dari koordinasi yang semakin baik, yang antara lain dilakukan melalui forum TPI (Tim Pengendalian Inflasi ) dan TPID (Tim Pengendalian Inflasi Daerah).
Stabilitas sistem keuangan tetap terjaga yang disertai terus membaiknya fungsi intermediasi perbankan. Didukung oleh berbagai kebijakan yang ditempuh Bank Indonesia, industri perbankan semakin solid, sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, intermediasi perbankan juga semakin membaik, tercermin dari pertumbuhan kredit yang hingga akhir November 2011 mencapai 26,0% (yoy), di mana kredit investasi, modal kerja, dan konsumsi masing-masing tumbuh sebesar 36,0% (yoy), 22,2% (yoy), dan 26,0% (yoy).
Ke depan, Dewan Gubernur meyakini prospek ekonomi Indonesia masih cukup kuat walaupun di tengah ketidakpastian perekonomian global. Pada triwulan I-2012, pertumbuhan ekonomi diprakirakan akan mencapai 6,5%, ditopang investasi dan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat. Peningkatan peringkat utang Indonesia menjadi investment grade diharapkan akan semakin memperkuat investasi ke depan. Sementara itu, ekspor diprakirakan tetap tumbuh meskipun melambat sejalan dengan melemahnya ekonomi global. Secara keseluruhan tahun 2012, pertumbuhan ekonomi domestik diprakirakan pada kisaran 6,3%-6,7% dan akan terakselerasi ke kisaran 6,4%-6,8% pada 2013 seiring membaiknya ekonomi global. Di sisi harga, Dewan Gubernur memperkirakan inflasi pada 2012 dan 2013 akan tetap dapat dikendalikan pada kisaran sasarannya, yaitu 4,5%±1%.
Dewan Gubernur akan terus mewaspadai beberapa faktor risiko terhadap keseimbangan ekonomi makro Indonesia, termasuk perkembangan ekonomi global yang masih diliputi oleh ketidakpastian yang tinggi, terutama terkait dengan berlarut-larutnya penyelesaian krisis di kawasan Eropa. Bank Indonesia akan terus berupaya untuk mengoptimalkan peran kebijakan moneter dalam mendorong kapasitas perekonomian, menjaga stabilitas pasar keuangan, dan memitigasi dampak perlambatan ekonomi global, dengan senantiasa menjangkar ekspektasi inflasi ke depan ke arah sasarannya. Ke depan, Bank Indonesia akan terus memperkuat bauran kebijakan melalui respon kebijakan suku bunga, kebijakan nilai tukar, kebijakan makroprudensial dalam rangka pengelolaan capital flows, kebijakan makroprudensial dalam rangka pengelolaan likuiditas, dan koordinasi kebijakan bersama Pemerintah.
Laporan lengkap mengenai pembahasan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Januari 2012 yang memuat perkembangan makroekonomi dan kebijakan moneter dapat dilihat dalam Tinjauan Kebijakan Moneter (TKM) di Website Bank Indonesia.

Jakarta, 12 Januari 2012 
Biro Hubungan Masyarakat


Difi A. JohansyahKepala Biro

Sumber : Bank Indonesia

Rabu, 04 Januari 2012

BI Beri Bantuan Edukasi Keuangan dan Perbankan

Pelaksanaan edukasi di bidang perbankan ini merupakan bagian upaya BI dalam meningkatkan perlindungan nasabah yang merupakan bagian dari Pilar 6 API. Angga Bratadharma
Jakarta–Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyerahkan alat bantu ajar dan media ekstrakurikuler dalam rangka mendukung pelaksanaan integrasi edukasi keuangan ke dalam kurikulum mata pelajaran IPS untuk SD dan SMP. Dalam menjalin kerja sama ini, kedua lembaga ini didukung Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
“Bank Indonesia berharap dengan tersedianya alat bantu ajar dan media ekstrakurikuler, maka pengenalan mengenai edukasi keuangan dan perbankan dapat diterima anak didik dengan rasa senang dan menumbuhkan kreativitas ke depan”, ujar Gubernur BI Darmin Nasution, di Komplek BI, Jakarta, Kamis 29 Desember 2011.
Selain itu, BI juga bekerja sama dengan Rumah Cerdas Kak Seto dan Kelompok Kerja Edukasi Masyarakat Bidang Perbankan, yang memberi penjelasan mengenai uang, bilyet, formulir bank, buku saku dan lembar kerja siswa.
Dalam kesempatan ini, BI menyelenggarakan pelatihan kepada guru untuk materi edukasi perbankan, perencanaan keuangan dan keterampilan mengajar pada 28-29 Desember 2011
Pelaksanaan edukasi di bidang perbankan ini merupakan bagian upaya BI dalam meningkatkan perlindungan nasabah yang merupakan bagian dari Pilar 6 Arsitektur Perbankan Indonesia (API).
“Salah satu bentuk program edukasi keuangan dimaksud adalah menumbuhkan budaya menabung sedari usia dini”, tukas Darmin ketika berdialog dengan 250 guru, kepala sekolah dan dinas pendidikan daerah.
Darmin berharap, dengan memberikan pengetahuan akan keuangan umumnya dan menabung khususnya sedari dini dan berkelanjutan, diharapkan dapat meningkatkan literacy masyarakat dalam jangka menengah dan panjang.
“BI juga meminta kepada perbankan agar menggunakan dana CSR untuk memiliki program khusus pelaksanaan edukasi keuangan kepada siswa sekolah sehingga ke depan mereka lebih mengetahui manfaatnya, memahami risikonya dan memperhatikan biayanya ketika memanfaatkan produk perbankan”, pungkas Darmin. (*)

Sumber : Infobank

BI: 50% Masyarakat Tidak Tersentuh Perbankan

BI akan mendukung program gerakan menabung sedari dini, karena menabung merupakan kegiatan yang dapat memberi keuntungan, baik masyarakat itu sendiri maupun kepada pemerintah. Angga Bratadharma
Jakarta–Bank Indonesia (BI) mencatat, masyarakat Indonesia hanya 50% yang sudah tersentuh dunia perbankan. Akhirnya, banyak dari masyarakat kita yang tidak tersentuh mengenai perbankan dan keuangan, khususnya program menabung sedari dini.
“Sebanyak 50% masyarakat kita belum tersentuh perbankan, khususnya program menabung”, ujar Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution, pada acara Training for Trainers Pendidikan Keuangan dan Perbankan Kepada Para Pendidik, di gedung BI, Jakarta, Kamis 29 Desember 2011.
Menurut salah satu guru SD yang berasal dari Banjarmasin, masih adanya masyarakat yang belum tersentuh perbankan, khususnya menabung sedari dini, dikarenakan belum meratanya kesejahteraan dan informasi kepada masyarakat luas, tertuama di daerah terpencil.
“Menurut saya, itu (program menabung sedari dini) dikarenakan belum meratanya informasi di daerah terpencil”, tukas perwakilan Guru dari Banjarmasin kepada Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution dan Menteri Pendidikan Moh Nuh dalam acara tanya jawab pada kegiatan Training for Traine tersebut.
Karena itu, BI akan mendukung program gerakan menabung sedari dini, karena menabung merupakan kegiatan yang dapat memberi keuntungan, baik masyarakat itu sendiri maupun kepada pemerintah.
“Dalam kegiatan ini, saya harap para pendidik yang hadir dalam acara ini mampu mengedukasi tentang pentingnya menabung”, tutur Darmin.
Darmin menuturkan, kegiatan Training for Trainer ini diharap mampu mencetak para pelaku didik yang berkompeten dan mengenal lebih baik lagi mengenai edukasi Perbankan dan Keuangan sehingga bisa memperkenalkan para siswa SD dan SMP mengenai dunia Perbankan, khususnya mengajak menabung sedari dini
“Saya harap, pogram ayo menabung ini bisa memperkenalkan masyarakat mengenai dunia perbankan dan sekaligus meningkatkan taraf hidup orang banyak,” tutup Darmin. (*)

Sumber : Infobank

Agar Konsumen Loyal di Era Ledakan Informasi

Karakter umum para pelanggan dewasa ini adalah mereka ingin diperlakukan sebagaimana dirinya (personalized) dan tidak mau menerima perlakukan standar yang umum. Kristianus Yulianto
Makin hari tugas departemen marketing makin menantang karena begitu dinamisnya persaingan. Itu semua terjadi karena saat ini begitu berkembangnya teknologi informasi (TI) sehingga persaingan memperebutkan pelanggan jadi makin “keras” dan “kejam”.
Begitu populernya internet, khususnya media sosial seperti Twitter dan Facebook, di Indonesia menjadi penyebab terjadinya ledakan jumlah informasi. Orang dapat dengan mudah mendapatkan informasi mengenai produk serta pembandingnya.
Jika bingung, cukup menulis status di Facebook, “Saya tertarik untuk membeli produk X, tetapi ragu, please advise!” Tidak perlu waktu bermenit-menit untuk mendapatkan berpuluh-puluh masukan dari para anggota komunitas.
Demikian mudah dan banyak tersedianya informasi yang dibutuhkan membuat posisi orang makin baik dalam mengambil keputusan dan menjadikan mereka sadar bahwa mereka adalah seseorang yang punya “bargaining power”, yang bisa menentukan untuk “ya” atau “tidak” ataupun berpindah dari satu pilihan ke pilihan lain.
Customer Relationship Management yang Cerdas
Menghadapi situasi terkini yang sarat dengan kompetisi, semua perusahaan pasti sepakat untuk menerapkan inisiatif customer relationship management (CRM) yang cerdas atau lebih dikenal dengan customer intelligence (CI). CI adalah strategi CRM yang lebih targeted—tidak melakukan promosi secara membabi buta—karena interaksi dengan pelanggan dilakukan secara lebih fokus dan sesuai dengan karakter/perilaku transaksinya.
Hal itu akan menyebabkan respons rate lebih tinggi, meski biaya marketing yang dipergunakan lebih rendah. Untuk memungkinkan itu, sebuah solusi CI yang baik harus mencakup hal-hal berikut.
Satu, memiliki data pelanggan dan catatan transaksinya. Agar dapat memahami dan memperkirakan perilaku pelanggan dalam bertransaksi, hal pertama yang harus dilakukan adalah memahami karakter, perilaku, tingkat keuntungan yang dihasilkan pelanggan (life time value), serta tingkat risikonya. Semua itu dapat diperoleh dari data pelanggan dan catatan transaksinya.
Dua, dapat berinteraksi dengan pelanggan secara khusus. Karakter umum para pelanggan dewasa ini adalah mereka ingin diperlakukan sebagaimana dirinya (personalized) dan tidak mau menerima perlakukan standar yang umum.
Hal itu memungkinkan dengan tersedianya fasilitas untuk memetakan perilaku dan kelompok pelanggan dengan menggunakan perangkat data mining. Perangkat data mining yang andal dapat dengan mudah memetakan perilaku pelanggan (high value, medium value, atau low value) dan memprediksi kecenderungannya (untuk cross-sell, up-sell, atau berpindah ke produk lain).
Tiga, monitoring pencapaian dan peningkatan kinerja. Sebuah organisasi pemasaran yang efektif dan efisien harus mudah melakukan “penyesuaian-penyesuaian” dicocokkan dengan situasi lapangan. Untuk itu, tersedianya sebuah sistem pelaporan serta indikator-indikator kinerja, seperti “respons rate” dan “life time value”, yang mudah dipahami menjadi mutlak agar para pengambil keputusan bisa dengan cepat mengambil langkah-langkah penyesuaian terhadap model perilaku pelanggan dan program-program marketing yang ada.
Tantangan
CI adalah sebuah strategi marketing berbasis TI yang andal. Agar berhasil dalam implementasinya, perhatikan dua hal berikut. Satu, kurang tersedianya data dalam bentuk elektronik dalam kualitas yang baik menjadikan tidak akuratnya pemahaman. Bahkan, tak jarang menyebabkan model perilakunya jadi salah.
Dua, tidak tersedianya sebuah ”analytically driven marketing”. Inilah tantangan terberat yang ada. Tak banyak perusahaan yang memiliki tim marketing analytics. Tidak hanya karena memang tak mudah menguasai dasar-dasar keilmuannya dan data yang diperlukan, tetapi juga karena gaya marketing yang lebih percaya pada intuisi ketimbang data. Sudah siapkah perusahaan Anda menerapkan CI? (*)

Penulis adalah praktisi di bidang teknologi informasi. 

Sumber : Infobank

Pemerintah Patok Inflasi 2012 Tidak Melebih 5,3%

Pemerintah tidak bisa dengan mudah melakukan perubahan atau merevisi target-target inflasi meski diproyeksikan kondisi ekonomi ke depan bakal lebih baik. Hal ini dikarenakan berhubungan dengan politik anggaran. Dwitya Putra
Jakarta–Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo menegaskan, pemerintah tetap pada keputusan sebelumnya untuk mematok target inflasi maksimal 5,3%, meski melihat kondisi Indonesia 2012 bisa lebih baik.
“Kita optimis inflasi maksimal 5,3%. Namun, kita berupaya bisa lebih rendah dari itu,” kata Agus, saat ditemui wartawan, di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) Jakarta, Senin, 2 Januari 2012.
Menurut Agus, untuk mendorong hal tersebut, pemerintah akan terus berkodinasi dari segi moneter dan fiskal serta daerah untuk menjaga inflasi tetap lebih rendah.
Saat ini, lanjutnya, pemerintah tidak bisa dengan mudah melakukan perubahan atau merevisi target-target inflasi meski diproyeksikan kondisi ekonomi ke depan bakal lebih baik. Hal ini dikarenakan berhubungan dengan politik anggaran.
“Kalau World Bank dan lain-lain bisa, kalau pemerintah tidak bisa,” tegasnya.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi secara keseluruhan sepanjang 2011 sebesar 3,79% atau di bawah target pemerintah yang sebesar 5,65%.
Sementara komponen inti tahun kalender (Januari–Desember) 2011 dan laju inflasi komponen inti year on year (Desember 2011 terhadap Desember 2010) masing-masing sebesar 4,34%. (*)

Sumber : Infobank

Inflasi 2011 Momentum Tinjau BI Rate dan Suku Bunga Penjaminan LPS

Kebijakan BI dan LPS untuk menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga penjaminan sangat penting untuk mendorong perbankan menurunkan suku bunga kredit dan membentuk ekspektasi inflasi ke depan semakin rendah. Angga Bratadharma
Jakarta–Anggota Komisi XI DPR Kemal Azis Stamboel menilai, inflasi 2011 yang rendah hanya sebesar 3,79% menjadi peluang bagi Bank Indonesia untuk menurunkan BI Rate dan juga Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) untuk menurunkan suku bunga penjaminan.
“Ruang bagi BI dan LPS semakin besar untuk menurunkan suku bunga acuan dan penjaminan,” ujar Kemal, dalam keterangan pers-nya, di Jakarta, Senin, 2 Januari 2012.
Menurutnya, penurunan sebelumnya secara umum juga sudah diikuti kalangan perbankan. Kalau Januari ini BI dan LPS menurunkan lagi tentu akan menjadi kado awal tahun yang baik bagi dunia usaha dan perekonomian nasional.
“Hal ini tentunya juga sejalan dengan tren inflasi triwulan pertama yang rendah dan juga target inflasi tahun 2012 yang 5,3 persen”, ujar Kemal.
Kemal mengatakan, kebijakan BI dan LPS untuk menurunkan suku bunga acuan dan suku bunga penjaminan sangat penting untuk mendorong perbankan menurunkan suku bunga kredit dan membentuk ekspektasi inflasi ke depan semakin rendah.
Sementara, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Desember sebesar 0,57%, sehingga inflasi secara keseluruhan sepanjang 2011 sebesar 3,79% atau lebih rendah target pemerintah yang sebesar 5,65%.
Bahkan, selama Desember, penyumbang inflasi terbesar adalah bahan makanan yang naik 0,37%, dengan andil ke inflasi 1,62%. Andil inflasi bahan makanan selama tahun 2011 mencapai 0,84%. Angka itu turun dibandingkan andil bahan makanan terhadap inflasi selama tahun 20110 yang sebesar 3,5%.
“Kita harapkan ini akan efektif mendorong suku bunga kredit agar segera turun dari rata-rata mengarah ke 7%-8%. Tentu kalau ini berhasil akan mendorong permintaan domestik, dan akan mengakselerasi perekonomian nasional dan sektor riil ditengah resesi global”, tambah kemal. (*)

Sumber : Infobank