Rabu, 26 Oktober 2011

Wakil Presiden Minta Bank Jemput Bola Dukung Sektor Rill

Perbankan diminta jangan hanya menjadi penyalur kredit. Bank juga harus berperan dalam memfasilitasi kegiatan investasi. Dwitya Putra

Jakarta–Wakil Presiden Boediono menilai, perbankan harus berperan proaktif dalam memfasilitasi kegiatan investasi untuk mendukung prospek ekonomi ke depan. Dengan begitu, lanjutnya, perbankan tidak hanya bergerak menyalurkan kredit, tetapi bisa menjemput bola dengan mendukung perekonomian.

“Kita teringat pada krisis di masa lampau, perbankan kakinya tidak lagi menginjak tanah, mereka sibuk dengan kegiatan yang terkait dengan kertas keuangan. Mereka akhirnya mendapat nilai tambah yang semu yang hanya dibagi habis di antara para pelakunya,” kata Boediono, disela acara Nusa Tenggara Investment Day yang diselenggarakan Bank Mandiri di Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Selasa, 25 Oktober 2011.

Boediono melihat, perbankan nasional saat ini tidak hanya menyibukkan diri dengan bisnisnya sendiri, dan berharap perbankan dapat menjaga perannya dalam kegiatan ekonomi riil.

Dikatakan Boediono, investasi merupakan proses bersama yang harus melibatkan kesepakatan berbagai pihak, antara lain investor, pihak yang memberi pembiayaan, pemilik daerah (pemda) baik di tingkat propinsi, kabupaten maupun kota, serta masyarakat.

Melihat hal tersebut, Boediono imbau perbankan dapat mengambil peran sebagai penghubung di antara pihak terkait.

“Kalau keempatnya tidak mencapai kesepakatan umum, tidak akan terjadi investasi. Harus ada kepentingan bersama,” tegasnya. (*)

Sumber : Infobank


Senin, 24 Oktober 2011

5 Pilihan Kinerja Luar Biasa

Para profesional hanya menggunakan 30% waktu yang mereka miliki untuk mengerjakan hal-hal yang penting. Sisa 70% waktu ternyata digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang kurang penting bahkan tidak relevan  dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Rully Ferdian
Jakarta–Setiap hari kita seakan dibombardir oleh berbagai hal yang menyita perhatian. Mulai dari bangun tidur, rasanya tidak afdol bila kita tidak men-check smartphone atau tablets yang kita miliki, check messenger update, Facebook, Twitter, email hingga mencari berita terbaru melalui berbagai situs  berita online. Saat sarapan atau makan malam bersama keluarga-pun terkadang, perhatian kita masih tersita untuk menjawab pesan-pesan yang masuk atau menonton televisi.
Tak hanya perhatian kita yang tersita, perubahan di era pegetahuan dan informasi ini semakin cepat terjadi. Setiap hari kita dituntut untuk menghadapai  berbagai kompleksitas pekerjaan yang menuntut kita untuk mengambil berbagai keputusan, namun seringkali keputusan tersebut harus kita ubah lagi dengan cepat.
Tidak itu saja, saat ini setiap profesional yang bekerja di kota besar seperti Jakarta harus mengakrabkan diri dengan kemacetan. Berangkat kerja di pagi  buta dan pulang saat malam telah menjelang menjadi pilihan untuk menghindari kemacetan yang semakin parah dari hari ke hari. Namun, kompetisi  bisnis saat ini juga semakin ketat. Setiap profesional dituntut untuk makin produktif dan meningkatkan efektivitas kerja mereka.
Seringkali pekerjaan yang belum terselesaikan terpaksa untuk dibawa pulang ke rumah, dikerjakan hingga larut malam bahkan akhir pekan. Meski telah melakukan itu semua, banyak yang merasa bahwa pekerjaan yang dilakukan belum bisa terselesaikan dengan baik. Kesibukan ini membuat energi kita seakan-akan tersedot habis hingga kita mengalami krisis energi.
Hal ini diperparah pula dengan pola makan yang tidak teratur, polusi, konsumsi junk food hingga karena kesibukan tak sempat lagi kita berolahraga. Sering kita merasa sudah terlalu lelah untuk menyelesaikan pekerjaan dan seakan-akan membutuhkan waktu istirahat yang lebih lama.
Kesibukan sering membuat kita lupa untuk relax dan me-recharge energy sehingga mampu menghasilkan kinerja yang lebih maksimal lagi. Lebih disayangkan lagi, hubungan dengan keluarga pun menjadi renggang, tidak terjaga dengan baik.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh FranklinCovey menunjukkan fakta bahwa para profesional hanya menggunakan 30% waktu yang mereka miliki untuk mengerjakan hal-hal yang penting. Sisa 70% waktu ternyata digunakan untuk mengerjakan hal-hal yang kurang penting bahkan tidak relevan  dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Tak dapat dipungkiri, kenyataan ini sering menghambat kita untuk menghasilkan kinerja yang luar biasa (extraordinary result).
Meski demikian, setiap professional sebenarnya memiliki kesempatan untuk menghasilkan extraordinary result, yaitu dengan mengubah prioritas kita dengan melakukan 70% hal yang penting dan 30% untuk hal yang tidak penting dalam pekerjaan tersebut. Untuk menghasilkan kinerja yang luar biasa tersebut, kita perlu untuk memprioritaskan bukan sekedar waktu, namun memprioritaskan keputusan (decision), perhatian (attention) dan energy kita.
Dengan memprioritaskan ketiga hal ini, maka kita akan mampu membuat keputusan yang memiliki nilai tambah tinggi, sehingga membuat fokus  perhatian kita tetap terjaga pada hal-hal yang penting serta kita dapat menjaga keseimbangan energy kita untuk mencapai hasil yang luar biasa tersebut.
Dunamis Organization Services, mitra FranklinCovey USA di Indonesia, meluncurkan satu solusi baru untuk membantu individu dan organisasi  meningkatkan produktivitas sekaligus memberikan hasil yang extraordinary, yaitu “The 5 Choices to Extraordinary Productivity”.
“The  5 Choices to Extraordinary Productivity” mempermudah individu dan organisasi untuk meningkatkan produktivitas dengan membantu setiap orang di setiap level organisasi untuk memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang penting dan utama sehingga mampu mengambil keputusan dengan tepat, meningkatkan efektivitas waktu yang mereka miliki, sehingga energi mereka dapat terjaga untuk melakukan aktivitas yang memiliki high-impact dan memberikan hasil yang maksimal.
Seperti dijelaskan dalam release-nya di Jakarta, Kamis, 20 Oktober 2011, 5 pilihan yang akan membantu meningkatkan produktivitas kita untuk mencapai hasil yang extraordinary dalam “The 5 Choices to Extraordinary Productivity” meliputi:
1.  Act on the Important, don’t react to the urgent (Bertindak pada hal-hal yang penting, bukan reaktif pada hal-hal mendesak)
2. Go  for  Extraordinary, don’t  settle for ordinary (Menentukan tujuan untuk mencapai hasil yang  maksimal, tidak melakukan pekerjaan hanya dengan cara yang biasa-biasa saja)
3. Schedule the Big Rocks, don’t sort gravel (Menjadwalkan hal-hal yang menjadi prioritas utama dan mengeksekusinya secara konsisten)
4. Rule your Technology, don’t let it rule you (Mengendalikan teknologi yang ada untuk memudahkan kita mencapai tujuan, bukan tenggelam dalam kecanggihan teknologi saja)
5. Fuel your Fire, don’t burn out (Selalu me-recharge energy untuk fisik, mental, social dan spiritual kita, bukan hanya melakukan aktivitas-aktivitas fisik yang melelahkan saja). (*)

Sumber : Infobank

Jumat, 21 Oktober 2011

Kebutuhan Nasabah Bertambah, Perbankan Perlu Tingkatkan Layanan

Seiring dengan bertambahnya jumlah masyarakat kelas menengah ke atas, IBI berharap industri perbankan bisa memanfaatkan potensi bisnis tersebut dengan meningkatkan jumlah produk dan layanan prima, melihat kebutuhan nasabah kelas atas tersebut lebih beragam. Paulus Yoga
Jakarta–Semakin bertumbuhnya masyarakat kelas menengah ke atas di Indonesia diharapkan bisa diikuti dengan peningkatan pelayanan prima industri perbankan baik dari sisi produk maupun layanan.
“Di tengah berkembangnya industri perbankan d Indonesia, kita harapkan dengan CWMA (certified wealth management association) ini, yang memberikan sertifikasi dan jaminan-jaminan yang lebih baik, diharapkan para ekspertis kita bisa menjadi lebih baik,” tukas Wakil Ketua Ikatan Bankir Indonesia (IBI) Jahja Setiaatmadja, di Jakarta, Selasa, 18 Oktober 2011.
Melalui CWMA dan kegiatan yang dilaksanakan, lanjutnya, merupakan hal yang sangat positif dalam meningkatkan hubungan para staf dan jajaran dalam menekuni bidang wealth management.
Seiring dengan bertumbuhnya pasar keuangan di Indonesia, dan bertambahnya masyarakat kelas menengah ke atas diharapkan bisa meningkatkan akselerasi (percepatan) bisnis, sehingga memberikan imbas terhadap industri perbankan.
“Masyarakat high network bertambah, pendapatan perkapita sudah capai USD 3000. Ini jadi sangat menarik bagi kita, jadi penambahan buying power, saving masyarakat meningkat. Ini akan meningkatkan konsumsi dan peningkatan sektor riil,” tutur Jahja.
Menurutnya, dengan peningkatan di sektor riil, maka akan meningkatkan juga usaha-usaha baru, sehingga akselerasi perekonomian di Indonesia semakin besar. Tentunya, ke depan diharapkan dapat mendukung pertumbuhan pendapatan perkapita masyarakat, termasuk di dalamnya masyarakat kelas menengah ke atas.
“Untuk affluence (kelas menengah ke atas), memang pasarnya sendiri masih kecil. Tapi dari total populasi kita yang besar mencapai 240 juta jiwa, itu persentase tetap menjadi besar. Kalau 10% saja sudah sebanyak penduduk Singapura,” ucapnya.
Ia menjelaskan, kebutuhan nasabah prima sendiri sangat berbeda dengan nasabah umumnya, sehingga perlu pengembangan produk sesuai dengan kemampuan investasi, juga pelayanan yang berkualitas dari sumber daya manusia yang memahami seluk beluk wealth management. (*)

Sumber : Infobank

2,86% Rekening Kuasai Total Simpanan Nasabah

Penurunan total simpanan utamanya disebabkan penurunan pada segmen nominal di atas Rp5 miliar, yaitu sebesar Rp31,21 triliun (-3,09%, mtm), sehingga total simpanan pada segmen tersebut menjadi Rp979,97 triliun. Rully Ferdian
Jakarta–Berdasarkan data simpanan nasabah yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jenis simpanan dengan proporsi total simpanan terbesar adalah deposito sebesar 46,84% atau Rp1.167,52 triliun. Namun, total simpanan tersebut berasal dari 2.865.218 rekening atau hanya 2,86% dari jumlah rekening keseluruhan.
Sementara itu, tabungan merupakan jenis simpanan dengan proporsi jumlah rekening terbesar sebesar 94,47% atau 94.619.718 rekening, tetapi berdasarkan total simpanan, tabungan hanya memiliki proporsi sebesar 31,56% atau sebesar Rp768,64 Triliun.
Data LPS yang dikeluarkan di Jakarta, Selasa, 18 Oktober 2011, itu juga menyebtukan, penurunan total simpanan utamanya disebabkan penurunan pada segmen nominal di atas Rp5 miliar, yaitu sebesar Rp31,21 triliun (-3,09%, mtm), sehingga total simpanan pada segmen tersebut menjadi Rp979,97 triliun.
Simpanan dengan segmen nominal di atas Rp5 miliar adalah simpanan dengan proporsi terbesar berdasarkan total simpanan yaitu sebesar 39,32% dari total simpanan. Namun, jumlah rekening dengan nominal di atas Rp5 miliar hanya 42.445 rekening atau hanya 0,04% dari jumlah rekening keseluruhan.
Berdasarkan jumlah rekening, kenaikan terbesar terjadi pada segmen nominal di bawah Rp100 juta, yaitu sebesar 131.399 rekening (0,13%, mtm) sehingga mencapai 97.703.915 rekening. Segmen nominal di bawah Rp100 juta merupakan segmen nominal dengan proporsi jumlah rekening terbesar, yaitu 97,54% dari seluruh jumlah rekening. (*)

Sumber : Infobank

Total Simpanan yang Dijamin LPS Capai Rp1.510,18 Triliun

Total simpanan yang dijamin LPS pada Agustus 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp28,34 triliun, dimana pada Juli 2011 total simpanan yang dijamin adalah Rp1.481,85 triliun dan pada Agustus 2011 total simpanan yang dijamin adalah Rp1.510,18 triliun. Rully Ferdian
Jakarta–Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), distribusi simpanan yang dijamin sebesar Rp1.275,24 triliun untuk seluruh simpanan yang nominalnya kurang dari atau sama dengan Rp2 miliar.
Sementara itu, sebesar Rp234,95 triliun yang merupakan proporsi yang dijamin (Rp2 miliar) dari seluruh simpanan dengan nominal di atas Rp2 miliar (Rp2.000.000.000 x 117.473 rekening).
Berdasarkan hal tersebut, total simpanan yang dijamin oleh LPS pada Agustus 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp28,34 triliun, dimana pada Juli 2011 total simpanan yang dijamin adalah Rp1.481,85 triliun dan pada Agustus 2011 total simpanan yang dijamin adalah Rp1.510,18 triliun.
LPS juga menyebutkan, simpanan dengan segmen nominal di atas Rp5 miliar adalah simpanan dengan proporsi terbesar berdasarkan total simpanan, yaitu sebesar 39,32% dari total simpanan. Namun, jumlah rekening dengan nominal di atas Rp5 miliar hanya 42.445 rekening atau hanya 0,04% dari jumlah rekening keseluruhan. (*)

Sumber : Infobank

Kamis, 13 Oktober 2011

LPS Turunkan Bunga Penjaminan

JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menurunkan tingkat suku bunga wajar simpanan masyarakat di bank umum dan bank perkreditan rakyat (BPR) yang dijamin oleh pemerintah mulai 25 hingga 75 basis points (bps) mulai 15 Oktober 2011.
Kepala Eksekutif LPS, Firdaus Djaelani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis (13/10/2011) menyebutkan, suku bunga penjaminan di bank umum untuk simpanan dalam mata uang rupiah turun 25 bps dari 7,25 persen menjadi 7,00 persen.
Sementara untuk simpanan dalam valuta asing pada bank umum turun 75 bps dari 2,75 persen menjadi 2,00 persen. Sedangkan untuk suku bunga simpanan di BPR turun 25 bps dari 10,25 persen menjadi 10,00 persen.
Firdaus mengungkapkan, alasan utama penurunan suku bunga dalam rangka penjaminan ini karena inflasi relatif rendah dan likuiditas perbankan saat ini cukup baik, sehingga diperkirakan suku bunga simpanan di bank akan turun.
Terakhir LPS menetapkan tingkat suku bunga LPS untuk periode 15 September - 14 Januari 2012. Tingkat suku bunga dana masyarakat di bank umum yang dijamin Pemerintah ditetapkan 7,25 persen, suku bunga penjaminan simpanan valas di bank umum 2,75 persen, dan suku bunga penjaminan simpanan di BPR 10,25 persen.
Sesuai ketentuan LPS, apabila tingkat bunga simpanan yang diperjanjikan antara bank dengan nasabah penyimpan melebihi tingkat bunga wajar, maka simpanan nasabah dimaksud menjadi tidak dijamin.   Untuk itu, bank wajib memberitahukan nasabah mengenai tingkat bunga wajar yang berlaku dengan menempatkan informasi mengenai tingkat bunga wajar pada tempat yang mudah diketahui oleh nasabah penyimpan.

Sumber : Kompas

Rabu, 12 Oktober 2011

BI pangkas suku bunga acuan sebesar 0,25% jadi 6,5%

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) akhirnya memangkas bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) atau 0,25% menjadi 6,50% untuk bulan Oktober 2011. Sebelumnya, BI rate berada di level 6,75% dan berlangsung sejak 4 Februari 2011.
Ini berarti suku bunga acuan kembali ke periode 9 Agustus 2009-4 Februari 2011, yaitu 6,5%.

Penentuan suku bunga di bulan Oktober ini terbilang cukup krusial. Sebab, selama bulan September 2011, pasar keuangan Indonesia goncang. Nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS) jatuh.
Pasar saham dan obligasi pemerintah juga mulai ditinggalkan investor. Aksi cabut dana ini membuat ekonomi Indonesia dalam status waspada.

Keputusan ini datang setelah sebelumnya, bank sentral secara berturut-turut memberikan sinyal pemangkasan suku bunga lantaran inflasi yang terkendali.
"Inflasi di 2011 akan lebih rendah dan bergerak di bawah 5% seiring dengan koreksi harga komoditas global," terang Gubernur BI, Darmin Nasution, Selasa (11/10).
BI menilai kebijakan suku bunga acuan (BI rate) di level 6,75% terlalu tinggi bila dibandingkan dengan posisi inflasi berada di kisaran 4,5%-4,6%.
"Kita perlu mengoreksi. Dari dulu selisih antara policy rate dan inflasi tidak besar. Pernah 2% tapi beberapa kali sedikit di atas 2%. Yang sekarang dilakukan ini mengoreksi sesuatu yang sepatutnya dikoreksi dan mengoreksinya ke bawah," ujar Darmin.
Direktur Riset dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo mengklaim, meski BI rate turun, level 6,5% masih sangat menarik bagi investor.
"Sehingga kekhawatiran akan sudden reversal tidak ada justifikasinya. Fundamental perekonomian Indonesia masih kuat," ujar Perry.

Sumber : Kontan Online

Simpanan Nasabah di BPR dan BPRS Capai Rp36,80 Triliun

Total simpanan pada BPR pada akhir semester I 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp2.398,25 miliar (9,19%) dibandingkan dengan total simpanan pada akhir semester II 2010. Sedangkan total simpanan pada BPRS pada akhir semester I 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp190,02 miliar (11,16%) dibandingkan dengan total simpanan pada akhir semester II 2010. Rully Ferdian
Jakarta–Total simpanan nasabah pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) pada akhir semester I 2011 mencapai Rp36.806,53 miliar. Total simpanan tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp3.128,27 miliar (9,29%) dibandingkan dengan total simpanan akhir semester II 2010. Jika dibandingkan dengan akhir semester I 2010, total simpanan akhir semester I 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp6.796,63 miliar (22,65%, YoY).
Demikian data posisi simpanan BPR dan BPRS, yang dikeluarkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), di Jakarta, Senin, 10 Oktober 2011.
Sementara itu, hingga akhir semester I 2011, total simpanan pada BPR mencapai Rp34.913,43 miliar dan total simpanan pada BPRS mencapai Rp1.893,10 miliar. Proporsi total simpanan pada BPR adalah sebesar 94,86% dari total simpanan pada BPR/BPRS. Sedangkan proporsi total simpanan pada BPRS adalah sebesar 5,14% dari total simpanan pada BPR/BPRS.
Berdasarkan kelompok bank, total simpanan pada BPR pada akhir semester I 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp2.398,25 miliar (9,19%) dibandingkan dengan total simpanan pada akhir semester II 2010. Jika dibandingkan dengan total simpanan pada akhir semester I 2010, maka total simpanan tersebut mengalami kenaikan sebesar Rp6.371,48 miliar (22,32%, YoY).
Sedangkan total simpanan pada BPRS pada akhir semester I 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp190,02 miliar (11,16%) dibandingkan dengan total simpanan pada akhir semester II 2010. Jika dibandingkan dengan total simpanan pada akhir semester I 2010, total simpanan pada akhir semester I 2011 mengalami kenaikan sebesar Rp425,14 miliar (28,96%, YoY). (*)

Sumber :  Infobank

Selasa, 11 Oktober 2011

Keputusan BI Turunkan BI Rate Sudah Tepat

Penurunan BI rate ini dianggap akan mendorong penurunan suku bunga kredit dan ekonomi riil bisa lebih dinamis. Apa pertimbangannya? Dwitya Putra
Jakarta–Penurunan tingkat acuan suku bunga perbankan (BI rate) sebesar 25bsp, dari 6,75% ke 6,5% dianggap keputusan berani yang diambil oleh BanK Indonesia.
Pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya, Jakarta, A. Prasentyatoko menilai, dengan keputusan tersebut, hampir semua pengamat salah memprediksi BI akan menahan posisi BI rate di 6,75%.
“Hampir semua pegamat salah prediksi. Namun, ini bagus, dan BI cukup progresif, karena memang ruangnya sempit untuk menurunkan, dan BI berani,” kata Ico, panggilan akrab A. Prasentyatoko, kepada Infobanknews.com, di Jakarta, Selasa, 11 Oktober 2011.
Menurutnya, pertimbangkan BI ke depan belum tentu ada momentum sebaik sekarang untuk BI menurunkan BI rate. Apalagi, lanjutnya, kalau ada kenaikan BBM dan tarif dasar listrik. Hal ini akan mendorong penurunan suku bunga kredit. “Dengan begitu ekonomi riil bisa lebih dinamis,” ujarnya.
Ico menambahkan, kondisi ini sendiri tidak akan berdampak terhadap kondisi pasar modal. Sejauh tidak ada gejolak di tingkat global, maka tidak akan bayak pengaruhnya.
“Volatilitas pasar modal karen faktor global, bukan domestik,” pungkasnya. (*)

Sumber : Infobank

BI Rate Turun 25 BPS Menjadi 6,50%

Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 11 Oktober 2011 memutuskan untuk menurunkan BI Rate sebesar 25 bps menjadi 6,50%. Bank Indonesia juga akan tetap menempuh langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah khususnya dari dampak gejolak pasar keuangan global. Keputusan ini diambil sejalan dengan keyakinan Bank Indonesia bahwa inflasi pada akhir tahun ini maupun tahun depan akan berada di bawah 5%. Selain itu, langkah-langkah tersebut ditempuh sebagai antisipasi untuk memitigasi dampak penurunan kinerja ekonomi dan keuangan global terhadap kinerja perekonomian Indonesia. Kedepan, Dewan gubernur akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global serta menempuh respon suku bunga serta bauran kebijakan moneter dan makroprudensial lainnya untuk memitigasi potensi penurunan kinerja perekonomian Indonesia tersebut dengan tetap mengutamakan pencapaian sasaran inflasi, yaitu 5%±1% pada tahun 2011 dan 4,5%±1% pada tahun 2012.
Dewan Gubernur terus mewaspadai tingginya risiko dan ketidakpastian di pasar keuangan global serta kecenderungan menurunnya kinerja perekonomian global akibat permasalahan utang dan fiskal di Eropa dan AS.  Perhatian terutama ditujukan pada dampak jangka pendek melalui jalur finansial berupa melemahnya bursa saham, meningkatnya indikator risiko utang, dan tekanan pembalikan arus modal portofolio (capital reversals) oleh investor global dari emerging economies, termasuk Indonesia. Sementara itu, kinerja perekonomian global terindikasi melemah seperti tercermin pada perlambatan kegiatan produksi dan penjualan ritel yang disertai dengan tingkat keyakinan konsumen yang melemah di negara maju dan koreksi sejumlah harga komoditas internasional. Di sisi lain, tekanan inflasi mulai mereda, meski inflasi negara emerging markets masih relatif tinggi, sehingga terjadi pergeseran respon kebijakan moneter ke arah netral atau akomodatif. Kedepan, secara keseluruhan Dewan Gubernur melihat kecenderungan menurunnya pertumbuhan ekonomi negara maju, melambatnya volume perdagangan dunia, dan menurunnya harga komoditas global. Sementara itu di sektor keuangan, tingginya ekses likuiditas global dan persespi resiko investor masih akan mendorong tetap derasnya aliran modal asing masuk ke negara-negara emerging economies, termasuk Indonesia, baik dalam bentuk PMA maupun investasi portofolio.
Dewan Gubernur menilai bahwa fundamental ekonomi dan perbankan nasional tetap kuat di tengah meningkatnya kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV-2011 diperkirakan akan lebih tinggi, terutama didukung oleh konsumsi dan kegiatan investasi, sehingga secara keseluruhan tahun 2011 dapat mencapai 6,6%. Sejauh ini, dampak gejolak ekonomi global lebih dirasakan di pasar keuangan, sementara sektor riil relatif belum terpengaruh. Namun, perekonomian global yang melemah diperkirakan akan memengaruhi kinerja ekonomi domestik pada tahun 2012, baik melalui dampaknya pada pasar keuangan maupun terhadap kegiatan perdagangan internasional. Pertumbuhan ekonomi domestik tahun 2012 diprakirakan berada disekitar 6,5%. Pertumbuhan tersebut ditopang oleh konsumsi yang tetap kuat dan investasi yang meningkat, namun ekspor akan menghadapi tekanan. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan akan tumbuh dengan baik. Sektor-sektor yang diprakirakan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi ke depan, antara lain sektor industri; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor transportasi dan komunikasi.
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan IV-2011 diprakirakan akan kembali surplus setelah mengalami tekanan akibat terjadinya aliran modal keluar pada triwulan sebelumnya. Secara keseluruhan tahun 2011, NPI diprakirakan akan tetap mencatat surplus yang cukup besar. Surplus NPI ini diprakirakan akan tetap berlangsung pada tahun 2012 terutama didukung oleh surplus transaksi modal dan finansial yang terus meningkat, baik dalam bentuk investasi portofolio maupun investasi langsung. Sejalan dengan itu, cadangan devisa pada akhir September 2011 tercatat sebesar 114,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah. Jumlah cadangan devisa tersebut lebih dari cukup untuk mendukung kestabilan nilai tukar Rupiah.
Nilai tukar Rupiah pada triwulan III-2011 mengalami tekanan, khususnya pada bulan September 2011. Pada triwulan III-2011, nilai tukar Rupiah melemah 2,42% (ptp) menjadi Rp8.790 per dolar dengan volatilitas yang meningkat. Namun, pelemahan nilai tukar Rupiah tersebut masih sejalan dengan pergerakan nilai tukar mata uang negara kawasan. Tekanan terhadap rupiah antara lain dipengaruhi oleh meningkatnya faktor risiko global akibat kekhawatiran terhadap prospek ekonomi dunia. Selain itu, meningkatnya permintaan valas untuk memenuhi pembayaran impor turut menekan nilai tukar Rupiah. Kedepan, Bank Indonesia akan terus menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah guna mendukung terpeliharanya kestabilan makroekonomi.
Tekanan inflasi terus menurun. Inflasi IHK pada triwulan III-2011 tercatat sebesar 1,89% (qtq) atau 4,61% (yoy), lebih rendah dari periode yang sama tahun sebelumnya.  Penurunan tekanan inflasi ini berasal dari kelompok volatile food dan administered prices seiring dengan membaiknya pasokan, turunnya harga komoditas pangan internasional dan minimalnya kebijakan Pemerintah terkait harga komoditas strategis. Sementara itu, tekanan kelompok inti di luar kenaikan harga emas juga relatif terjaga baik karena kebijakan apresiasi nilai tukar pada periode sebelumnya dan masih cukup memadainya pasokan dalam merespon permintaan. Dengan perkembangan tersebut, inflasi pada tahun 2011 diyakini akan lebih rendah dari 5%. Tahun 2012, inflasi akan tetap terkendali dan diprakirakan di bawah 5% seiring dengan terjadinya koreksi harga komoditas global dan melemahnya perekonomian dunia.
Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dengan fungsi intermediasi yang membaik meskipun terjadi gejolak pasar keuangan akibat pengaruh global.   Stabilitas industri perbankan masih tetap terjaga dengan baik sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan rendahnya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, penyaluran kredit untuk pembiayaan kegiatan perekonomian terus berlanjut, tercermin pada pertumbuhan kredit yang mencapai 23,8% (yoy) hingga akhir September 2011. Bank Indonesia terus berupaya menjaga stabilitas sistem perbankan dan mendorong fungsi intermediasi dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dengan mendorong ke arah pertumbuhan kredit produktif sehingga perekonomian nasional tetap dapat mencapai pertumbuhan yang optimal di tengah kondisi perekonomian global yang masih diliputi ketidakpastian.
Laporan lengkap mengenai pembahasan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Oktober 2011 yang memuat perkembangan makroekonomi, kebijakan moneter, dan prospek 2011-2012 dapat dilihat dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM) di website Bank Indonesia.

Minggu, 09 Oktober 2011

BPR PERCONTOHAN : Bank Indonesia mengkaji model bisnis BPR

JAKARTA. Bank Indonesia tengah mengkaji model bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Direktur Direktorat Kredit, BPR, dan UMKM Bank Indonesia Edy Setiadi menyebutkan, nantinya akan dipilih beberapa BPR sebagai proyek percontohan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan BI.

Kriteria tersebut diantaranya, pertama, dalam lima tahun BPR tersebut harus memiliki rasio kecukupan modal (CAR) di atas 10%. Kedua, loan to deposit ratio (LDR) sekitar 94%. Ketiga, penyaluran kredit terus meningkat. Keempat, non performing loan (NPL) di bawah 5%.

Di samping itu, BI juga akan melihat diversifikasi risiko yang dilakukan setiap BPR. Misalnya, tidak terkonsentrasi di sektor konsumsi saja melainkan juga memberikan kredit modal kerja.
Dari hasil evaluasi terhadap sekitar 1.700 BPR di seluruh Indonesia, BI akan menentukan tiga BPR sebagai percontohan. "Model bisnis ini tidak bisa berdiri sendiri-sendiri akan tetapi merupakan kombinasi dari ketiga BPR tersebut. Namun, perlu dipahami bahwa model bisnis ini nanti bukan satu-satunya kerena jumlah BPR yang 1.700-an tersebut memiliki keragaman visi," ujar Edy, Rabu (17/8).
Edy menambahkan, saat ini model bisnis tersebut masih akan dipresentasikan lagi ke Dewan Gubernur BI. Dengan adanya model bisnis ini, BI berharap BPR-BPR dapat berkembang lebih baik sesuai karakteristik masing-masing.

Sumber : http://keuangan.kontan.co.id/v2/read/1313637653/75646/Bank-Indonesia-mengkaji-model-bisnis-BPR