Minggu, 05 Februari 2012

Sudah 20%, BI Tetap Kaji Kenaikan DP Minimal Kredit Otomotif Perbankan

Kendati rata-rata DP minimal kredit otomotif perbankan sudah 20%, Bank Indonesia tetap melakukan kajian untuk menaikkan DP minimal untuk meningkatkan kehati-hatian. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) terus melakukan koordinasi dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dalam upaya penerapan uang muka atau down payment (DP) minimum di industri multifinance.

“Ini masih dalam proses kita selalu koordinasi dengan Bapepam, tentunya kita harapkan nanti kalau selesai kita harapkan harmonis,” tutur Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Wimboh Santoso kepada wartawan di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat, 3 Februari 2012.

Menurutnya, harmonisasi kebijakan DP tersebut perlu untuk menopang kepentingan perekonomian dan stabilitasnya.

“Memang kala ditanya industri pasti tidak mau. Tapi kan tidak bisa begitu, kita kan memang dikasih mandat untuk mengatur,” tandasnya.

Bank sentral sendiri tetap berupaya meningkatkan DP ke sektor otomotif, dalam hal ini perbankan, yang saat ini dinilai sudah lebih prudent (hati-hati) dibanding industri multifinance dengan minimal DP 20%.

“Sekarang ini bank-bank variatif, ada yang 20%, ada yang 30%. DP untuk kredit otomotif ini average sekitar 20%. Kalau sekarang 20%, nanti 30% kan hanya masalah waktu saja,” ucap Wimboh.

Ia menjelaskan, hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kehati-hatian supaya risikonya bisa terkontrol. Artinya, lanjutnya, pertumbuhan semakin tidak masalah asal tetap hati-hati. (*)

Sumber : Infobank


Pengamat: BI Perlu Buat Arsitektur Perbankan ke Sektor Mikro

Dalam menciptakan persaingan yang lebih ketat di sektor mikro, Bank Indonesia dinilai perlu membuat arsitektur sehingga mendorong lebih banyak bank melakukan pembiayaan ke sektor mikro sehingga suku bunganya bisa turun. Paulus Yoga

Jakarta–Untuk menurunkan suku bunga kredit, khususnya di sektor mikro yang dinilai masih cukup tinggi, Bank Indonesia (BI) perlu membuat arsitektur yang menciptakan kompetisi di sektor mikro meningkat.

Hal tersebut diutarakan Pengamat Ekonomi yang juga menjabat Anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Mirza Adityaswara, kepada wartawan di Kantor LPS, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2012.

“Buatlah arsitektur yang membuat kompetisi di mikro meningkat, jadi suku bunga bisa seperti KPR (kredit pemilikan rumah) dan korporasi,” tandasnya.

Ia menjelaskan, saat ini hampir semua bank memiliki produk KPR, sehingga tingkat kompetisi menjadi ketat dan membuat tingkat suku bunga semakin menurun. Demikian juga halnya dengan segmen korporasi.

Seperti diketahui, dalam suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan yang diumumkan sejak 31 Maret 2011 lalu, terlihat penurunan terbesar memang terjadi untuk SBDK korporasi dan SBDK kredit konsumsi KPR. Bank sentral mencatat, sejak Maret sampai November 2011, komposisi SBDK terlihat sebagai berikut:

- Kredit korporasi turun dari posisi Maret 2011 sebesar 10,51% menjadi 10,36% per November 2011.
- Kredit ritel turun dari 11,80% menjadi 11,78%.
- Kredit konsumsi untuk KPR turun dari 11,16% menjadi 10,82%.
- Kredit konsumsi non KPR naik dari 11,56% menjadi 11,68%.

Saat ini, relatif bank yang bermain di sektor mikro pun masih sangat terbatas. Adapun bank-bank yang memiliki porsi besar di segmen tersebut antara lain PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk (BRI), PT Bank Danamon Indonesia Tbk, PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN), PT Bank Mandiri (persero) Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk dan PT Bank OCBC NISP Tbk.

“Selain bank-bank tersebut, memang masih ada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang memiliki fokus bisnis di sektor mikro. Tapi dari sekitar 1.800 BPR outstanding kreditnya cuma Rp40 triliun,” tukas Mirza.

Beberapa waktu lalu, Direktur Direktorat Kredit UMKM dan BPR BI Edy Setiadi mengaku, data kredit usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) masih belum stabil karena perbankan masih menyesuaikan kategori kredit mikro sesuai aturan yang baru.

“Untuk tahun 2011 itu bank juga masih koreksi lagi angkanya. Jadi angka pertumbuhan tahun 2012 belum semua masuk RBB (rencana bisnis bank),” ucapnya. (*)

Sumber : Infobank

Efisiensi Masih Jadi PR Perbankan di Tanah Air

Upaya peningkatan efisiensi industri perbankan tetap harus didorong, karena sampai saat ini tingkat efisiensinya masih kalah dibanding negara-negara sekawasan. Paulus Yoga

Jakarta–Di luar biaya bunga yang sangat memengaruhi beban operasional, industri perbankan di Tanah Air dinilai masih jauh dari efisien dibanding bank-bank di negara-negara sekawasan.

“Operasional bank, di luar biaya bunga. Itu dihitungnya sebagai cost to asset ratio. Itu perbankan Indonesia di 2010 masih cukup tinggi,” tukas pengamat perbankan Mirza Adityaswara, kepada wartawan di Kantor Lembaga Penjamin Simpanan, Jakarta, Kamis, 2 Februari 2012.

Menurutnya, cost to asset ratio lebih tepat digunakan untuk melihat tingkat efisiensi sebuah bank dibanding dengan menggunakan BOPO (beban operasional terhadap pendapatan operasional).

“BOPO itu kan ada biaya bunga. Cost to asset ratio perbankan Indonesia di 2010, sebagai contoh BRI sebesar 4,5%, BCA 3,5% dan Bank Mandiri 3,1%. Sementara bank-bank kawasan lainnya sekitar 2%. Di Singapura malah sekitar 1%, DBS sebesar 1,1%, UOB 1,1% dan OCBC 1%,” paparnya.

Untuk itu, lanjutnya, upaya Bank Indonesia untuk meningkatkan efisiensi industri perbankan di Tanah Air perlu didukung. (*)

Sumber : Infobank