Senin, 21 Februari 2011

Perbankan Targetkan Pertumbuhan Kredit 24% di 2011

Sejalan dengan pertumbuhan perekonomian yang ditargetkan mencapai 6,5% di 2011, industri perbankan mematok pertumbuhan kredit 24% dalam RBB yang disampaikan kepada BI. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan bahwa dari industri perbankan menargetkan pertumbuhan kredit 24% pada 2011, sementara untuk pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) ditetapkan sebesar 15%.

“Dari Rencana Bisnis Bank (RBB) sangat optimis, tahun ini kredit tumbuh lebih dari 24% dan DPK tumbuh di atas 15%. Jadi kalau terwujud, angka ini tidak terlalu jauh angkanya dari pencapaian tahun 2010 lalu,” ungkap Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Jumat, 18 Februari 2011.

Menurutnya, angka pertumbuhan kredit yang diproyeksikan perbankan tersebut dinilai sudah cukup sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang berada di kisaran 6,5%.

Dengan proyeksi peningkatan kredit sampai 24% di 2011, maka diperkirakan rasio kredit terhadap DPK (LDR) perbankan dapat tembus mencapai 80%.

Dalam menjalankan bisnisnya untuk menggenjot penyaluran kredit tersebut, industri perbankan harus memerhatikan permodalan mereka, jangan sampai optimisme tersebut tidak tercapai.

”Jangan sampai bank ini nafsu besar, kurang tenaga besar. Pentingnya balancing bank perlu mendorong ekonomi tapi diyakinkan bank secara mikro masih dalam koridor tingkat keamanan tinggi. Angka-angka ini (pertumbuhan) harus di-back up dukungan kondisi keuangan modal,” tandas Muliaman.

Industri perbankan sendiri konsisten menyalurkan kredit mencapai Rp1.742,85 triliun di tahun 2010, meningkat 22,86% dari pencapaian tahun sebelumnya sebesar Rp1.430,2 triliun. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Rabu, 16 Februari 2011

46,12 Juta Debitur Ngutang ke Bank

Jakarta - Jumlah debitur yang meminjam dana di bank umum meningkat hingga 7,88 juta. Bank Indonesia mencatat selama 2010 jumlah debitur bank umum mencapai 46,12 juta debitur.

Demikian disampaikan oleh Kepala Biro Hubungan Masyarakat Bank Indonesia Difi Ahmad Johansyah ketika berbincang dengan detikFinance di Jakarta, Rabu (16/2/2011).

"Tahun 2009 jumlah debitur mencapai 38,23 juta debitur tetapi mengalami peningkatan di 2010 dimana mencapai 46,12 juta debitur," ujar Difi.

Seperti halnya jumlah debitur di bank umum, Difi mengatakan jumlah debitur di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga mengalami peningkatan. Pada 2009, Difi mengatakan jumlah debitur BPR mencapai 3,4 juta debitur dan meningkat menjadi 4,28 juta debitur pada tahun 2010.

"Selain BPR, BI juga mencatat jumlah debitur pada Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB) dimana pada tahun 2009 tercatat sebanyak 493 ribu dan pada 2010 tercatat menjadi sebesar 651 ribu debitur," tuturnya.

Sehingga, total debitur yang meminjam dananya di bank umum, BPR hingga LKNB para tahun 2010 mencapai 51,05 juta debitur.

Difi menambahkan, peningkatan jumlah debitur perbankan seiring dengan usaha bank sentral terkait program melek finansial alias financial inclusion.

"BI bercita-cita seluruh masyarakat mendapatkan akses keuangan dari perbankan. Ke depan, BI akan memberikan program-program lain yang nantinya akan dimasukan ke dalam sebuah blue print mengenai akses jasa keuangan ke masyarakat. Sekarang kan ada juga revisi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) dimana beberapa hal yang penting adalah adanya finansial inclusion nantinya di follow up pelaksanaan lebih lanjut," terangnya.

Dalam paket 23 kebijakan yang dirilis BI di akhir 2010 kemarin, salah satunya memang berisi mengenai financial inclusion. Bank Indonesia meluncurkan program 'National Strategy Financial Inclusion' (NSFI) berupaya membuat kerangka acuan yang memuat langkah-langkah strategis dalam upaya membuka akses masyarakat baik yang belum terhubung dengan jasa keuangan (unfinanced persons) maupun lembaga perbankan (unbanked person).

Financial inclusión sendiri dapat didefinisikan sebagai akses yang menyeluruh terhadap jasa keuangan, di mana seluruh 37 hambatan baik berupa price maupun non price dapat diatasi dalam penggunaan jasa keuangan.

Dalam lima tahun terakhir, financial inclusion merupakan cara utama yang digunakan untuk mengurangi kemiskinan, yakni melalui peningkatan kemampuan individu dalam mengelola keuangannya.

Program Financial Inclusion ini akan dimulai dari sektor perbankan terlebih dahulu karena Indonesia merupakan banking based country di mana mayoritas kegiatan jasa keuangan tergantung pada bank.

Strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan dari financial inclusion tercermin dalam lima pilar pembuka dan penutup akses perbankan kepada masyarakat miskin yaitu:

  • Financial education
  • Financial eligibility
  • Supportive regulation
  • Facilitating intermediation
  • Policy reform yang mencakup customer protection, agent banking, and mobile phone banking.
Sumber : Herdaru Purnomo - detikFinance

BI Luncurkan Program Financial Inclusion

Darmin Nasution Darmin Nasution


JAKARTA – Bank Indonesia (BI) meluncurkan program National Strategy Financial Inclusion (NSFI) sebagai upaya untuk memperluas akses masyarakat terhadap jasa keuangan. Selama ini, 32% atau 76 juta penduduk sama sekali belum tersentuh jasa keuangan (financially excluded).

Program financial inclusion itu merupakan salah satu kebijakan baru Bank Indonesia yang diumumkan Gubernur BI Darmin Nasution di Jakarta, Rabu (29/12). Kemarin, BI mengeluarkan 23 butir kebijakan yang meliputi lima aspek, yakni kebijakan penguatan stabilitas moneter, kebijakan mendorong peran intermediasi perbankan, kebijakan meningkatkan ketahanan perbankan, penguatan kebijakan makroprudensial, serta penguatan fungsi pengawasan.

Menurut Darmin, guna mendukung program pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, BI meluncurkan program perluasan akses kepada lembaga keuangan. Kebijakan tersebut bertujuan untuk meniadakan hambatan akses masyarakat dalam memanfaatkan layanan jasa keuangan, baik yang bersifat harga maupun nonharga.

Mengacu survei Bank Dunia pada 2009, kata Darmin, sekitar 32% dari masyarakat Indonesia atau 76 juta penduduk masih dalam kondisi financially excluded, yaitu belum tersentuh jasa yang paling dasar dari sektor keuangan seperti bank, pasar modal, asuransi, dana pensiun, dan lembagalembaga lain.

Selain itu, 60-70% Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) juga belum memiliki akses terhadap perbankan. Padahal, hampir 53 juta masyarakat miskin bekerja di sektor UMKM. “UMKM memiliki potensi yang sangat besar untuk menurunkan pengganguran dan mengurangi kemiskinan karena 99,91% pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM,” kata Darmin.

Apabila berfungsi dengan baik, lanjut Darmin, lembaga dan pasar keuangan diyakini dapat memberikan kesempatan kepada seluruh masyarakat untuk mengambil keuntungan dari investasi terbaik, karena dana mereka akan disalurkan pada kegiatan produktif, sehingga dapat mendorong pertumbuhan, meningkatkan distribusi pendapatan, dan mengurangi angka kemiskinan.

Untuk itu, BI meluncurkan program National Strategy Financial Inclusion (NSFI). Dalam lima tahun terakhir, kata Darmin, financial inclusion merupakan cara utama untuk mengurangi kemiskinan, yakni melalui peningkatan kemampuan individu dalam mengelola keuangannya.

Program financial inclusion akan dimulai dari sektor perbankan karena mayoritas kegiatan jasa keuangan di Indonesia tergantung pada bank. Strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan financial inclusion meliputi lima pilar, yaitu edukasi keuangan, meningkatkan eligibilitas keuangan, regulasi yang mendukung, peningkatan fasilitasi intermediasi, serta reformasi kebijakan yang meliputi perlindungan nasabah, agent banking, dan phone banking.

Dikutip dari Nasori dan Hari Gunarto | Kamis, 30 Desember 2010 | 11:44

Rabu, 09 Februari 2011

PRINSIP MENGENAL NASABAH (KNOW YOUR CUSTOMER) DAN ANTI PENCUCIAN UANG (ANTI MONEY LAUNDERING)

Perkembangan di bidang pengetahuan dan teknologi telah mendorong pula perkembangan ragam kejahatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Kejahatan dalam suatu wilayah negara maupun lintas batas wilayah negara juga semakin berkembang, diantaranya illegal logging, perdagangan obat-obatan terlarang, penyelundupan barang, penyelundupan tenaga kerja, terorisme, penyuapan, korupsi dan kejahatan-kejahatan kerah putih lainnya. Tindak kejahatan ini umumnya melibatkan dan menghasilkan uang dalam jumlah yang besar.
Terdapat berbagai modus yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan tersebut untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut, salah satunya adalah dengan memasukkan hasil tindak pidana tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system), terutama ke dalam sistem perbankan. Dengan demikian asal usul harta kekayaan tersebut tidak dapat dilacak oleh penegak hukum. Modus inilah yang disebut dengan pencucian uang (Money Laundering).
Sebagai salah satu entry bagi masuknya uang hasil tindak kejahatan, bank harus mengurangi risiko digunakannya sebagai sarana pencucian uang dengan cara mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau transaksi dan memelihara profil nasabah, serta melaporkan adanya transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transactions) yang dilakukan oleh pihak yang menggunakan jasa bank. Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah atau lebih dikenal umum dengan Know Your Customer Principle (KYC Principle) ini didasari pertimbangan bahwa KYC tidak saja penting dalam rangka pemberantasan pencucian uang, melainkan juga dalam rangka penerapan prudential banking untuk melindungi bank dari berbagai risiko dalam berhubungan dengan nasabah dan counter-party.
Di sektor perbankan, inisiatif untuk memerangi pencucian uang secara aktif dan serius telah dimulai sejak Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) pada tanggal 18 Juni 2001.
Penerapan ketentuan tersebut dilakukan berdasarkan antara lain 40 rekomendasi FATF dan core principle no. 15 dari Basel Committee on Banking Supervision.
KETENTUAN TERKAIT KYC/AML

  1. Undang-undang Republik Indonesia No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 
  2. Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles)
  3. Peraturan Bank Indonesia No. 3/23/PBI/2001 tanggal 13 Desember 2001 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer)
  4. Peraturan Bank Indonesia No. 5/21/PBI/2003 tanggal 17 Oktober 2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer)
  5. Peraturan Bank Indonesia No. 5/23/PBI/2003 tanggal 23 Oktober 2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan lampiran
  6. Surat Edaran No. 3/29/DPNP tanggal 13 Desember 2001 perihal Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
  7. Surat Edaran No. 5/32/DPNP tanggal 4 Desember 2003 perihal Perubahan Atas Surat Edaran Bank Indonesia No. 2/29/DPNP dan lampiran
  8. Surat Edaran No. 6/37/DPNP tanggal 10 September 2004 perihal Penilaian dan Pengenaan Sanksi atas Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Kewajiban Lain Terkait dengan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan lampiran 
sumber :http://www.bi.go.id

Tingkat Bunga Yang Wajar untuk Bank Perkreditan Rakyat

Periode
Rupiah
15/01/2011 - 14/05/2011
10,25%
15/09/2010 - 14/01/2011
10,25%
15/05/2010 - 14/09/2010
10,25%
15/01/2010 - 14/05/2010
10,25%

(Sumber : www.lps.go.id)

Penjelasan BI Rate sebagai Suku Bunga Acuan

Definisi

BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh bank Indonesia dan diumumkan kepada publik.

Fungsi

BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan.
Dengan mempertimbangkan pula faktor-faktor lain dalam perekonomian, Bank Indonesia pada umumnya akan menaikkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan melampaui sasaran yang telah ditetapkan, sebaliknya Bank Indonesia akan menurunkan BI Rate apabila inflasi ke depan diperkirakan berada di bawah sasaran yang telah ditetapkan.
(sumber : http://www.bi.go.id)

Selasa, 08 Februari 2011