Rabu, 21 Maret 2012

Lewat Aturan DP, BI Harap Kelayakan Debitor KPR dan KKB Meningkat

Melalui aturan DP, Bank Indonesia berharap bisa membuat calon debitor KPR dan KKB lebih terarah hanya bagi yang benar-benar membutuhkan. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) berharap dengan adanya aturan uang muka atau down payment (DP) kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit kendaraan bermotor (KKB) bisa menciptakan keseimbangan baru, kendati akan sedikit terhambat dari sisi permintaan.
“Memang dari permintaan akan sedikit terhambat. Tapi keseimbangan baru akan muncul. Nasabah yang mengajukan KPR atau KKB akan semakin memenuhi persyaratan,” ujar Kepala Biro Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Filianingsih, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2012.
Bank sentral telah merilis Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau down payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Sementara Untuk pengaturan uang muka kredit atau DP pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
Berdasarkan simulasi yang BI lakukan, aturan baru mengenai uang muka akan membuat nasabah menunda membayar uang muka. Untuk KPR penangguhannya bisa terjadi selama 7-8 bulan sedangkan untuk KKB penundaannya selama 3-4 bulan.
“Nah nanti ini muncul keseimbangan baru, untuk nasabah-nasabah yang eligible (layak), jadi yang benar-benar membutuhkan, bukan untuk yang spekulasi,” tandas Filianingsih. (*)

Sumber : Infobank

77,23% Pembelian Rumah Dilakukan Lewat Skema Kredit

Pembelian rumah melalui skema KPR masih menjadi solusi bagi masyarakat mengingat peningkatan harga rumah, khususnya di wilayah perkotaan cukup cepat. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) mencatat, sebagian besar pembelian perumahan dilakukan melalui skema kredit. Sebesar 77,23% dari total pembelian perumahan dilakukan dengan menggunakan kredit pemilikan rumah (KPR).
“Bila dirinci, hanya sebesar 1,66% yang menggunakan skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), sementara 75,57% merupakan KPR non-FLPP,” tutur Kepala Biro Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan BI Filianingsih, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 20 Maret 2012.
Selain KPR, masyarakat juga menggunakan dua skema lain dalam pembelian rumah, yakni tunai bertahap dan tunai. Untuk tunai berharap porsinya mencapai 14,13%, sedangkan tunai sebesar 8,64%.
Berdasarkan tipe, mayoritas kredit KPR masih didominasi rumah tinggal tipe 22-70, dengan pembiayaan mencapai Rp88,8 triliun atau memiliki pangsa 43,87%, diikuti rumah di atas tipe 70 dengan pangsa sebesar 31% atau pembiayaan sebesar Rp62,7 triliun.
Sementara untuk rumah tipe 21 ke bawah, memiliki pangsa 15,13%. Menurut Filianingsih, dari survei bank sentral, untuk rumah tipe 70 ke bawah masih digunakan untuk kebutuhan primer, atau ditempati.
“Jadi kalau untuk ditinggali, lebih tinggi komitmen nasabah menyelesaikan kreditnya,” tandasnya.
Dari sisi harga rumah, bank sentral melihat, khusus tipe 70 ke atas kenaikan harganya cukup signifikan, terutama di wilayah tertentu akibat kurangnya supply (penawaran) dibanding demand (permintaan), sehingga berapa pun kenaikan harga diikuti saja oleh masyarakat yang memiliki uang.
“Kalau tipe 70 ke atas, harganya agak melebihi rata-rata,” tutup Filianingsih. (*)

Sumber : Infobank

Wapres: Kenaikan BBM Cegah Kebocoran Subsidi

Banyak cara untuk mengamankan subsidi BBM, tidak cukup hanya dengan melakukan penghematan pengeluaran anggaran negara.
Jakarta–Wakil Presiden Boediono menegaskan, selain untuk mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012, rencana pemerintah melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) juga bertujuan untuk mengatasi kebocoran pemanfaatan BBM bersubsidi dan perencanaan anggaran negara yang lebih baik.
Saat berbincang bersama wartawan di Istana Wakil Presiden, Selasa, 20 Maret 2012, Wapres menyebutkan, terjadinya kebocoran BBM bersubsidi disebabkan adanya perbedaan harga BBM bersubsidi dengan harga ekonominya.
Sebagai perbandingan, Wapres menerangkan bahwa di kawasan regional, harga BBM bersubsidi di Indonesia jauh di bawah harga pada beberapa negara, seperti di Vietnam, Filipina, dan Timor Leste. Bahkan di Timor Leste bensin dijual dengan menggunakan harga ekonomi sekitar Rp12.000 per liter.
Wapres berharap, dalam 2-3 tahun ke depan, subsidi BBM tidak menjadi bagian utama dalam APBN. “Seandainya subsidi tidak menjadi pokok utama dalam APBN, maka APBN dapat dengan bebas digunakan untuk porsi lain yang lebih membutuhkan. Secara bertahap kita menuju ke sana, jangan malah menjauh dari sana,” ujar Wapres, seperti dikutip dari website setkab.go.id.
Mengena kebocoran itu, Wapres menjelaskan, bahwa  itu adalah penggunaan BBM bersubsidi yang tidak tepat sasaran. Apakah oleh industri, atau diselundupkan ke luar negeri. Akibatnya, subsidi tidak lagi dinikmati oleh mereka yang membutuhkan, tetapi insentif dimanfaatkan dalam penyimpangan dan kalangan industri.
Wapres juga mengingatkan, dipasaran dunia harga minyak saat ini pada kisaran 120 dolar AS per barel, sedangkan pemerintah dan DPR dalam APBN 2012 menyepakati harga minyak mentah Indonesia sebesar 90 dolar AS per barel, sehingga pemerintah harus memberikan subsidi yang sangat besar, jika tidak ada penyesuaian.
Terjadinya perbedaan yang cukup besar antara harga BBM saat dengan dengan harga minyak di pasaran dunia itulah, yang membuka peluang terjadinya kebocoran subsidi.  “Semakin besar perbedaan harga dalam dan luar negeri, semakin besar lubangnya. Bocornya makin banyak,” ucap Wapres.
Wapres juga menyadari, banyak cara untuk mengamankan subsidi BBM, tidak cukup hanya dengan melakukan penghematan pengeluaran anggaran negara. “Yang paling efektif adalah melakukan penyesuaian harga BBM. Kita kurangi gap harga,” jelas Wapres.
Dengan melihat kondisi perekonomian global, Wapres memperkirakan harga minyak mentah dunia akan berada pada kisaran 120 dolar AS, 150 dolar AS, bahkan dapat menembus 170 dolar AS per barel. (*)

Sumber : Infobank

Anggito Abimanyu Bantah Manipulasi Data Surplus Migas

Sebelumnya, tersiar berita, Anggito Abimanyu,  yang selalu bersikeras menaikan harga BBM dengan alasan “mengurangi beban subsidi BBM”, mengakui bahwa tidak ada subsidi dalam BBM. Rully Ferdian
Jakarta–Pengamat ekonomi yang juga mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu, membantah berita mengenai manipulasi pemerintah soal surplus migas.
“Sehubungan dengan pemberitaan melalui bbm (BlackBerry Massangers) dan SMS bahwa saya, Anggito Abimanyu, bekerja sama dengan bapak Kwik Kian Gie, bekerja sama menghitung/menganalisis surplus minyak dan menyatakan, pemerintah telah melakukan manipulasi adalah tidak benar dan fitnah.
Dalam kesempatan talkswhow dan di Jakarta Lawyar Club (JLC) TVOne bersama KKG, dan lain-lain, Anggito mengkonfirmasi bahwa terdapat surplus operasi migas dalam APBN 201,2 namun surplus tersebut menurun manakala terjadi kenaikan harga minyak dunia. Dan surplus tersebut telah dimanfaatan untuk belanja APBN bahkan APBN mengalami defisit.
“Tidak pernah terucap satu kalipun mengenai manipulasi pemerintah,” kata Anggito, dalam pernyataannya yang disebarkan melalui bbm dan SMS. Anggito juga menyatakan mendukung kenaikan harga BBM.
“Demikian mohon tidak mempercayai terhadap pemberitaan yang menyudutkan dan memfitnah diri saya,” tulis Anggito.
Sebelumnya, tersiar berita, Anggito Abimanyu, salah satu fundamentalis neo-liberal Indonesia yang selalu bersikeras menaikkan harga BBM dengan alasan “mengurangi beban subsidi BBM”, mengakui bahwa tidak ada subsidi dalam BBM.
“Masih ada surplus penerimaan BBM dibanding biaya yang dikeluarkan,” katanya dalam acara talkshow di TVOne hari Senin (13/3), terkait rencana kenaikan harga BBM akibat kenaikan harga BBM dunia. Anggito menjadi salah satu narasumber bersama Kwik Kian Gie dan Wakil Menteri ESDM.(*)

Sumber : Infobank

Jumat, 16 Maret 2012

Dinilai Lebih Aman, Luas Rumah di Bawah 70 m2 Tidak Kena Aturan LTV

Masyarakat kelas menengah dan bawah boleh menarik nafas lega, karena aturan LTV KPR bagi perbankan lebih diperuntukkan untuk pembiayaan kriteria bangunan di atas 70 m2, yang secara nilai lebih besar. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan, terkait dengan penerapan aturan loan to value (LTV) untuk kredit pemilikan rumah (KPR), hanya diperuntukkan bagi rumah dan apartemen dengan luas bangunan di atas 70 m2.
“Kalau di bawah 70 m2 baik itu rumah atau apartemen, ketentuan LTV itu tidak berlaku,” tukas Kepala Biro Humas Bank Indonesia Difi A. Johansyah, kepada wartawan di Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012.
Sebagaimana dijelaskan dalam Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Bank sentral menetapkan LTV maksimal 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2. Aturan tersebut juga tidak mengikat terhadap pelaksanaan program-program perumahan pemerintah.
Seperti diketahui, pemerintah gencar membangun proyek-proyek rumah murah dan rumah susun, yang lebih diperuntukkan bagi masyarakat miskin, salah satunya yang didukung dengan program Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), di mana beberapa bank turut serta dalam penyalurannnya.
Dari segi luas bangunan, program-program pemerintah tersebut memang ada di bawah ketentuan BI, yang menetapkan maksimal LTV 70% untuk tipe bangunan di atas 70 m2.
Bank sentral menilai, untuk luas bangunan di bawah 70 m2 lebih diperuntukkan masyarakat menengah ke bawah, sebagai tempat tinggal pertama, bukan sebagai investasi sehingga dinilai lebih bebas dari risiko bubble.
“Yang di bawah 70 m2 itu diperuntukkan untuk golongan menengah ke bawah jadi ada toleransi lah. ‎​Di samping itu untuk yang luas bangunan di atas 70 m2 itukan nilainya besar-besar, jadi risikonya bagi perbankan lebih besar (kalau dijadikan investasi),” terang Difi kepada Infobanknews.com. (*)

Sumber : Infobank

BI Syukuri Harmonisasi Aturan dengan Bapepam-LK Berjalan Lancar

Harmonisasi aturan dengan Bapepam-LK terkait aturan uang muka atau down payment di sektor properti dan otomotif, Bank Indonesia bersyurkur bisa berjalan dengan lancar. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan harmonisasi kebijakan dengan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) telah terjalin untuk menjaga tingkat kehati-hatian dalam pembiayaan di sektor otomatif dan properti.
“Makanya dikeluarkan sama, Bapepam juga hari ini mengeluarkan aturan yang sama untuk perusahaan pembiayaan dengan persentasi yang sedikit berbeda,” ucap Gubernur BI Darmin Nasution, kepada wartawan di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012.
Terkait hal tersebut, bank sentral mengeluarkan Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau down payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Sementara Untuk pengaturan uang muka kredit atau DP pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
“Kalau tidak salah DP-nya 5% lebih rendah di sana. Buat kita di perbankan sebenarnya selama ini relatif berjalan, dengan masuknya perusahaan pembiayaan ini menjadi jauh lebih berarti,” tutup Darmin. (*)

Sumber : Infobank

Sesuaikan Perlambatan Ekonomi, BI Coba Perlambat Kredit Konsumsi

Kendati tetap optimis dengan pertumbuhan kredit secara keseluruhan, Bank Indonesia melihat ada baiknya kredit konsumsi diperlambat, khususnya di sektor properti dan konsumsi, melalui penerapan aturan LTV KPR dan DP KKB. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan, aturan loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dan down payment (DP) kredit kendaraan bermotor (KKB) sudah disiapkan sejak lama. Bank sentral menilai saat ini adalah moment yang tepat dalam penerapannya.
“Sebetulnya itu kan sudah dipersiapkan sejak lama. Kalau dilihat kecepatan perkembangan ekonomi, kemungkinan perlambatan itu ada. Tapi, bagaimana pun juga kita ingin mulai sekarang,” tutur Gubernur BI Darmin Nasution, kepada wartawan di Kompleks Gedung BI, Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012.
Ia menambahkan, kalau pun pertumbuhan kredit secara keseluruhan terus berlangsung, namun untuk kredit konsumsi bisa diperlambat pertumbuhannya melalui aturan tersebut.
“Bagaimana pun juga kalau Anda lihat aturannya itu, untuk bank nih ya, DP untuk motor 25%, kemudian untuk mobil 30%. Tapi untuk mobil keperluan produktif lebih kita kecilkan (20%),” terangnya.
Terkait hal tersebut, bank sentral mengeluarkan Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau down payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Sementara Untuk pengaturan uang muka kredit atau DP pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
“Ini karena ada sisi lain juga selain urusan makro, urusan mikronya adalah ini untuk urusan prudensial (kehati-hatian). Untuk prudensial sehingga pemberian kredit itu tidak begitu saja Lebih menariknya lagi, lebih bagusnya lagi, ini sama-sama dilaksanakan di perbankan dan perusahaan pembiayaan,” imbuh Darmin. (*)

Sumber : Infobank

Akhirnya, BI Rilis Aturan LTV KPR dan DP KKBI

Setelah cukup lama berembuk dengan Bapepam-LK, terkait pembiayaan di sektor properti dan otomotif. Dalam menjaga KPR dan KKB tetap sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan tidak menimbulkan bubble ekonomi, Bank Indonesia memperketat aturan dengan menentukan besaran tertentu untuk LTV KPR dan DP KKB. Paulus Yoga

Jakarta–Bank Indonesia (BI) resmi merilis aturan menyangkut loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) dan down payment (DP) kredit kendaraan bermotor (KKB) dalam menjaga kucuran kredit di dua sektor tersebut jauh dari bubble ekonomi.
Sebagaimana dimuat dalam situs BI di Jakarta, Jumat, 16 Maret 2012, aturan tersebut tercantum dalam Surat Edaran Ekstern Nomor 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Dalam aturan tersebut, bank sentral menjelaskan, bahwa LTV paling tinggi 70% untuk KPR dengan kriteria tipe bangunan di atas 70 m2. Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.
Sementara untuk pengaturan uang muka kredit atau Down Payment (DP) pada KKB mencakup beberapa hal sebagai berikut:
- DP paling kurang 25% untuk pembelian kendaraan bermotor roda dua.
- DP paling kurang 30% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat untuk keperluan non produktif.
- DP paling kurang 20% untuk pembelian kendaraan bermotor roda empat atau lebih untuk keperluan produktif.
Khusus untuk keperluan produktif, BI menyatakan harus memenuhi syarat, yakni merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan oleh pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu.
Bank sentral menegaskan, rasio LTV KPR dan besaran DP KKB dapat disesuaikan dari waktu ke waktu sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia.
Adapun SE ini mulai berlaku pada 15 Maret 2012, sedangkan ketentuan mengenai besaran LTV KPR dan DP KKB mulai berlaku pada 15 Juni 2012.
Besaran LTV KPR dan DP KKB, sebagaimana diatur dalam SE tersebut, tidak berlaku untuk kredit yang sudah mendapat persetujuan Bank sebelum berlakunya Surat Edaran tersebut.
Bank sentral menilai, perlunya aturan yang ketat untuk pembiayaan atau kucuran KPR dan KKB, dilakukan dalam meningkatkan kehati-hatian atau manajemen risiko.
Dari sudut pandang makroprudensial, jelas BI, pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi juga dapat mendorong peningkatan harga aset properti yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble) sehingga dapat meningkatkan Risiko Kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang besar.
Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut akan dikenakan sanksi sesuai Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, antara lain berupa:
- Teguran tertulis.
- Penurunan tingkat kesehatan Bank.
- Pembekuan kegiatan usaha tertentu.
- Pencantuman anggota pengurus, pegawai Bank, pemegang saham dalam daftar pihak-pihak yang mendapat predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatutan atau dalam catatan administrasi Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia yang berlaku. (*)

Sumber : Infobank

Kenaikan Harga BBM dan Daya Tahan Kredit

Kenaikan harga BBM juga selalu berdampak pada kolektibilitas kredit. Kelompok yang berpenghasilan tetap akan terkena imbas kenaikan harga kebutuhan dan sudah pasti akan memengaruhi cicilan atau angsuran ke bank atau ke multifinance. Harga polis asuransi juga akan naik karena biaya-biaya rumah sakit dan sekolah juga meningkat.
Eko B. Supriyanto

Pemerintah hampir pasti akan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Hanya saja besarannya masih belum pasti. Namun, perkiraan pasar, kenaikan harga BBM akan berkisar 30% sampai dengan 40%. Untuk premium, yang biasanya Rp4.500 per liter akan menjadi Rp6.000 sampai dengan Rp6.500 per liter. Kenaikan harga BBM ini terkait dengan daya tahan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
Kenaikan harga BBM bersubsidi sepertinya akan dilakukan pada 1 April 2012. Menurut Agus D.W. Martowardojo, Menteri Keuangan (Menkeu) Republik Indonesia (RI), pemerintah akan segera mengajukan pembahasan APBN perubahan (APBN-P) pada awal Maret dan 30 hari sejak pengajuan kenaikan harga sudah bisa dilakukan.
Menurut Agus Martowardojo, kenaikan harga minyak bersubsidi ini dilakukan untuk mengendalikan lonjakan konsumsi BBM dan mengurangi subsidi yang terus membengkak. Namun, Menkeu sendiri tidak akan menyebut angka kenaikannya karena akan menimbulkan spekulasi.
Hitung-hitungan penghematan subsidi BBM kasarnya jika kenaikan Rp1.000 per liter, akan menghemat sekitar Rp28 triliun dan kenaikan Rp1.500 sebesar Rp54 triliun. Jadi, jika tidak dinaikkan harga BBM bersubsidi akan meledakkan APBN.
Tahun lalu saja angka subsidi BBM mencapai Rp165 triliun. Jumlah ini melonjak dari APBN-P sebesar Rp129,7 triliun. Pada 2012 angka subsidi diperkirakan Rp123 triliun. Namun, jika melihat konsumsi BBM dan harga minyak dunia, target itu bisa melonjak tinggi. Untuk itu, pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi ini.
Jika hendak membandingkan angka subsidi minyak tahun ini, besarnya subsidi itu 2,2 kali anggaran infrastruktur perhubungan yang besarnya Rp55,6 triliun dan 0,5 kali anggaran pendidikan murah dan terjangkau Rp290 triliun.
Banyak pengamat tampak setuju atas kenaikan harga BBM ini, kecuali jajaran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang beroposisi dengan pemerintah.
Suka tidak suka, kenaikan harga BBM ini harus dilakukan. Selain mudah dan simpel karena tinggal membuat kebijakan ketimbang membuat kebijakan alih energi yang mendadak dan pengenaan harga BBM bersubsidi yang berbeda—yang akan menimbulkan distorsi harga.
Kendati demikian, ada dampak yang paling serius. Kelompok kaya masih akan menikmati subsidi bersama dengan kelompok miskin. Karena itu, pemerintah perlu membuat kebijakan-kebijakan dan melakukan pembangunan infrastruktur agar masyarakat yang terkena dampaknya dapat tertolong. Perlu ada kebijakan buat si miskin.
Kenaikan harga BBM selalu berdampak banyak. Ongkos angkutan umum akan naik. Bahkan, belum ada pengumuman, asosiasi angkutan umum memperkirakan akan ada kenaikan ongkos angkutan 35% dan ini akan menyulut harga kebutuhan pokok dan akan berdampak pada angka inflasi.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, kenaikan harga BBM juga selalu berdampak pada kolektibilitas kredit. Kelompok yang berpenghasilan tetap akan terkena imbas kenaikan harga kebutuhan dan sudah pasti akan memengaruhi cicilan atau angsuran ke bank atau ke multifinance. Harga polis asuransi juga akan naik karena biaya-biaya rumah sakit dan sekolah juga meningkat.
Jika permintaan turun di kelompok masyarakat berpenghasilan tetap, itu karena tergerus inflasi yang bisa mencapai kenaikan 1% sampai dengan 2% akibat kenaikan harga BBM bersubsidi ini. Inflasi diperkirakan akan terkerek pada kisaran 5% sampai dengan 7% sehingga suku bunga juga sulit diharapkan untuk turun lebih rendah lagi.
Pada akhirnya, jika ada tekanan terhadap harga-harga, akan berpengaruh terhadap sektor riil, yang sudah pasti akan terjadi penurunan permintaan. Jika terjadi penurunan permintaan, akan berpengaruh terhadap kualitas kredit bank. Risiko kredit macet akan makin besar dan ini merupakan ancaman terhadap penurunan suku bunga kredit karena risiko yang meningkat.
Pengalaman sebelumnya, ketika harga minyak naik, akan berpengaruh pada sektor konsumsi, terutama kredit-kredit yang berisiko tinggi. Juga, bakal menurunkan permintaan akan kebutuhan otomotif dan ini pasti bisa merembet ke sektor multifinance. Risiko multifinance akan membesar akibat kenaikan harga BBM dan sudah tentu akan menaikkan harga jual kendaraan bermotor akibat ada kenaikan harga suku cadang.
Karena itu, kalangan perbankan dan multifinance perlu memerhatikan bahaya laten dari kenaikan harga BBM ini. Sepertinya tidak akan terjadi apa-apa karena setiap hari kita disuguhi sinetron mengenai pengusutan kasus korupsi yang dilakukan Nazaruddin dan kawan-kawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Selama ini pemerintah sangat senang memerhatikan kondisi sosial politik. Padahal, sebenarnya kenaikan harga BBM ini bisa berdampak buruk pada sektor riil dan sektor perbankan. Namun, sepanjang pemerintah bisa mengerjakan PR-nya, yaitu mengurusi penduduk miskin, perbankan juga masih akan bisa tumbuh seperti perkiraan, yaitu 22% sampai dengan 24%.
Namun, jangan pernah berharap akan terjadi penurunan suku bunga kredit yang lebih tajam. Semua itu karena efek berantai kenaikan harga BBM yang akan menurunkan kualitas kredit sektor perbankan dan multifinance. Satu-satunya langkah yang wajib dilakukan perbankan dan multifinance adalah bersiap-siap. Tetap menjaga kualitas kredit dan senantiasa memerhatikan biaya-biaya yang tiba-tiba membengkak.
Kenaikan harga BBM bersubsidi ini akan terlewati jika semua pihak dapat melakukan efisiensi. Tanpa itu, kenaikan harga BBM akan mengurangi pencapaian laba perusahaan, atau jika tidak, membakar cash flow perusahaan. Sebab, daya tahan kredit akan makin ringkih akibat kenaikan harga minyak ini. (*)

Penulis adalah Penanggung Jawab/Wakil Pemimpin Redaksi Infobank

Sumber : Infobank