Rabu, 18 April 2012

BI Lihat Pola Pertumbuhan Kredit Konsumsi Semakin Turun

Dalam beberapa tahun belakangan, Bank Indonesia melihat pola pertumbuhan kredit konsumsi masih di bawah jenis kredit lainnya, dan akan semakin tertekan dengan adanya aturan DP minimal yang efektif mulai 15 Juni 2012. Paulus Yoga
Jakarta–Bank Indonesia (BI), menilai dalam beberapa tahun belakangan, pola kucuran kredit perbankan mulai bergeser, di mana pertumbuhan kredit investasi lebih besar, dibanding pertumbuhan kredit konsumsi.
“Polanya memang dua tahun ini pertumbuhan kredit konsumsi masih lebih rendah dibanding yang lain,” ujar Deputi Gubernur BI Muliaman D. Hadad, kepada wartawan di Gedung BI, Jakarta, Kamis, 12 April 2102.
Ia menjelaskan, pertumbuhan kredit konsumsi yang relatif tidak secepat kredit investasi dan kredit modal kerja belakangan ini bukan karena imbas dari aturan uang muka atau down payment (DP) minimal Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Mengingat aturan DP minimal tersebut baru saja dikeluarkan bank sentral, dan baru efektif berlaku pada 15 Juni 2012. Namun, setelah berjalannya aturan tersebut, ditengarai kredit konsumsi akan mulai melambat.
Per akhir Februari BI mencatat pertumbuhan kredit investasi dalam setahunan tumbuh paling cepat mencapai 33,2%, disusul kredit modal kerja yang tumbuh 23,4%. Sementara kredit konsumsi tumbuh 19,6% dalam setahunan. Secara keseluruhan kredit perbankan tumbuh 24,2% dalam setahunan.
Sebagai perbandingan, bank sentral mencatat pada akhir Desember 2011, kredit investasi tumbuh sebesar 33,2% dalam setahunan, kredit modal kerja tumbuh sebesar 21,4%, dan kredit konsumsi tumbuh sebesar 24,1%.
“Ini karena demand (permintaan) investasi masih besar. Pertumbuhan kredit masih sesuai perkiraan kita. Dalam RBB (rencana bisnis bank) kan tumbuh 24-25% tahun ini. Forecast (perkiraan) GDP (pertumbuhan ekonomi) kita akan meningkat sedikit, karena didorong oleh pertumbuhan kredit,” terang Muliaman.
Atas perkembangan tersebut, maka kredit investasi naik menjadi Rp475,58 triliun pada Februari 2012, dibanding Februari 2011 sebesar Rp357,04 triliun. Kredit modal kerja naik menjadi Rp1.058,59 triliun dari Rp857,85 triliun. Sedangkan kredit konsumsi naik dari Rp558,98 triliun menjadi Rp668,54 triliun. (*)

Sumber : Infobank

Kemudahan Kredit Bank Belum Tentu Baik

Mudahnya kredit yang diberikan perbankan belum dikatakan baik. Pasalnya, perbankan masih memberikan suku bunga kredit tinggi. Angga Bratadharma
Jakarta–Jika perbankan memudahkan dalam memberikan kredit kepada masyarakat, hal itu belum tentu mengindikasikan kebaikan perbankan. Pasalnya, perbankan masih mematok suku bunga kredit yang tinggi bagi masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Demikian diungkapkan Peneliti Indonesia for Global Justice Rachmi Hertanti, kepada wartawan, dalam Seminar “Kajian Kritis Peran Bank Asing dan Bank Nasional di Indonesia dalam Penyaluran Kredit ke Usaha Mikro dan Kecil,” di Jakarta, Senin, 19 Maret 2012.
Menurut Rachmi, mudahnya masyarakat mengakses kredit perbankan justru belum bisa dikatakan baik. Pasalnya, dari hasil temuan yang dilakukan oleh Indonesia for Global Justice (IGJ), menghasilkan bahwa terdapat keluhan-keluhan dari masyarakat terkait kredit yang didapatkan dari perbankan.
“Dari temuan dilapangan dapat kami paparkan bahwa banyak keluhan dari kredit perbankan meski dimudahkan oleh perbankan. Mereka ada yang mengatakan kapok dan semacamnya”, jelas Rachmi.
Ia mengaku, industri perbankan juga disinyalir memberikan kredit kepada masyarakat yang tidak bankable. Banyak masyarakat miskin dihentikan penyaluran kreditnya karena tidak bisa mencicil kredit yang didapatkan.
“Mungkin bisa dikatakan ada oknum kali ya. Jadi, mereka mempermainkan masyarakat miskin dengan memberi kredit kepada masyarakat yang tidak bisa mengembalikan. Ini kan tidak baik. Karena itu, harus ada pengkajian yang lebih baik”, jelasnya. (*)

Sumber : Infobank

Tenaga Dalam BRI di Micro Banking

BRI makin tak terkejar sebagai raja mikro meski pesaing-pesaingnya makin agresif dan terus mengerubuti. Kuncinya, mengader bankir-bankir loyal yang tahan bajak. Seperti apa? Darto Wiryosukarto
Gurihnya  pasar di segmen kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) makin menarik minat bank-bank untuk masuk pasar tersebut. Meski pertumbuhan kredit UMKM tahun lalu terlihat kecil karena adanya perubahan pencatatan kredit yang mengeluarkan data kredit konsumtif dari pelaporan UMKM sejak awal 2011, sektor ini tetap diburu.
Apalagi, bayang-bayang krisis ekonomi di Eropa dan Amerika Serikat masih terus menghantui. Sektor ini pun diharapkan bisa menjadi tumpuan karena terbukti telah teruji saat menghadapi krisis. Makanya, sepanjang 2011 bank-bank tetap semangat menggarap segmen ini, meski hasil akhirnya tak merata. Sebagian bank pertumbuhannya pasif, sebagian yang lain (atau beberapa) melonjak tinggi.
Setidaknya, enam bank papan atas menguasai 20,3% pangsa pasar di segmen ini, yakni BRI, BNI, Bank Danamon, Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, dan Bank Bukopin (BBKP). BRI menjadi penyalur kredit terbesar dengan pangsa pasar 10,7%. BRI membukukan kredit Rp276,6 triliun, tumbuh 20,83% (year on year atau yoy). Kredit mikro, bagian dari UMKM, menjadi penggerak dengan kenaikan 32,6% menjadi Rp87,81 triliun.
Sofyan Basir, Direktur Utama BRI, mengakui, segmen mikro memang paling sehat meskipun non performing loan (NPL) gross di kisaran 3,344%. Dari segmen ini, setiap bulan BRI membukukan kredit sekitar Rp1,1 triliun hingga Rp1,2 triliun. Hal ini ditunjang oleh cluster kantor terbanyak yang menjadi nilai tambah BRI saat masuk level sangat mikro yang tidak dapat dimasuki bank umum lain atau bank asing.
Rata-rata kredit yang disalurkan BRI sekitar Rp6 juta per debitor dengan rata-rata kredit per debitor di bawah Rp20 juta. Makanya, BRI tetap konsisten menyalurkan kredit untuk segmen terbawah. Dari total 5,2 juta nasabah, sekitar 5,1 juta di antaranya mendapatkan kredit di bawah Rp20 juta. Kredit yang di atas Rp20 juta lebih sedikit, yaitu 63.000.
Lonjakan kredit mikro BRI tak lepas dari strategi perseroan menggandeng korporasi di kegiatan ekonomi hulu. Misalnya, selain kerja sama dengan perkebunan atau pertanian, BRI juga membiayai petani plasma dan distributornya. “Setiap kredit korporasi yang kami berikan juga menyentuh mitra,” ujar Sofyan Basir kepada Infobank, bulan lalu.
BNI juga meraup kenaikan menawan di segmen kredit UMKM. Dari target Rp29,5 triliun hingga akhir 2011, BNI sudah berhasil meraih Rp28,2 triliun pada Oktober. Pencapaian tersebut telah melampaui target pemberian kredit per Oktober 2010 yang mencapai Rp25,5 triliun.
“Jadi, year on year per Oktober 2011, dibandingkan dengan per Oktober 2010, ada peningkatan sekitar Rp3 triliun,” ujar Ronny Venir, Deputy General Manager Small Business Division BNI, kepada Infobank, beberapa waktu lalu.
Strategi BNI dalam mencapai target kredit UMKM pada 2011 salah satunya melalui linked program dengan koperasi dan BPR. Selain itu, menjalankan program pembiayaan inti plasma atau program bapak angkat. “Program inti plasma biasanya diberikan kepada kredit-kredit perdagangan,” katanya.
Bank Danamon, yang begitu gencar menjaring kredit UMKM melalui program Danamon Simpan Pinjam (DSP), juga membukukan pertumbuhan di atas rata-rata, yakni 30% atau senilai Rp29,76 triliun. Segmen ini memberikan kontribusi hingga 31% terhadap total kredit kuartal ketiga 2011 sebesar Rp97,4 triliun. Seperti halnya BNI, kredit ini juga mayoritas mengucur ke sektor perdagangan.
Bank Danamon sadar betul ketatnya persaingan di segmen ini, mengingat situasi ekonomi global yang tidak menentu. Diprediksi, pada tahun ini kredit korporasi akan berkurang. Meskipun begitu, bank yang mayoritas sahamnya dikuasai Asia Financial itu tak akan menurunkan bunga kredit mikronya untuk menjaring nasabah lebih banyak. Mereka masih cukup optimistis, dengan suku bunga dasar kredit sebesar 10%-11% masih bisa kompetitif.
BTPN, yang baru beberapa tahun ini fokus di pasar mikro, mencetak kenaikan kredit mikro 45% menjadi Rp6,1 triliun (yoy). Jika dihitung selama tahun ini saja atau secara year to date (ytd) tumbuh 32%. “Ini sangat membantu pencapaian kredit kuartal ketiga kami yang tumbuh 31%,” kata Eny Yuliati, Sekretaris Perusahaan BTPN.
Ketika raja-raja mikro meraup pertumbuhan di kisaran 30%, bank-bank papan menengah ke bawah harus cukup puas dengan pertumbuhan kredit UMKM rata-rata di bawah 20%. Tak heran, pertarungan sengit pun terjadi di tingkat bank-bank papan atas yang berambisi untuk memperbesar market share-nya.
Tak hanya berebut pasar, pertarungan yang lebih seru lagi justru terjadi dalam memperebutkan sumber daya manusia (SDM) spesialis bankir mikro. Penyebabnya, bank-bank yang baru fokus menggarap pasar mikro ingin secepatnya “tancap gas” sehingga berburu tenaga yang benar-benar siap menjaring kredit. Akhirnya, mereka menempuh jalan pintas: hijack alias membajak.
Empat tahun lalu, misalnya, ratusan bankir DSP Bank Danamon bermigrasi ke BTPN dan Bank Mega Syariah yang baru saja meluncurkan unit bisnis mikronya. BTPN mendirikan Mitra Usaha Rakyat (MUR), sementara Bank Mega Syariah mendirikan Mega Mitra Syariah (M2S). Kedua bank itu membutuhkan tenaga-tenaga siap pakai untuk menggenjot bisnis.
Tak berselang lama, sekitar dua tahun kemudian, giliran Bank Mega Syariah yang terkena bajak. Dari 4.000 karyawan, sekitar 1.000 orang hengkang ke bank lain, seperti BTPN dan Bank Pundi. Faktor remunerasi menjadi alasan utama
BRI, yang memiliki paling banyak karyawan mikro—karena pionir di segmen ini—tak kaget lagi jika ada karyawannya yang dibajak. Satu sisi, ada kebanggaan tersendiri karena SDM didikannya diakui bank lain. Namun, di lain sisi, mereka merasa sedih dan kehilangan karena harus mencari kembali penggantinya dan mulai mendidik kembali SDM baru. Makanya, selain memberi pembekalan teknis kepada calon karyawannya, manajemen BRI juga menekankan pentingnya value.
“Kita tanamakan, jangan pernah bangga kalau hanya bicara angka pada zamanmu. Kita harus berpikir jauh ke depan, 20 tahun ke depan. Kita harus bikin pondasinya hari ini. Makanya, saya bilang sama mereka, ‘Tolong di setiap titik kamu berada tinggalkan value itu’. Saya bangga kalau saya jadi sebutir pasir di rumah masa depan BRI,” tutur Sofyan.
Selain value, yang tak kalah penting tentu terkait dengan kesejahteraan. Apalagi, selama ini faktor remunerasi menjadi pendorong utama bankir pindah bank. Makanya, BRI memberi apresiasi kepada karyawannya yang memiliki komitmen. “Jika selama 30-35 tahun di BRI, saya katakan kepada mereka, kamu mengantarkan anak-anak kamu ke pelaminan dengan tanggung jawab BRI. Jadi, bukan nyekolahin saja,” tegasnya. (*)

Sumber : Infobank

Bankir Nilai Biaya Dana di Perbankan Indonesia Masih Tinggi

Untuk menyalurkan kredit, perbankan masih mengandalkan dana pihak ketiga, yang diambil dengan menawarkan bunga tertentu sebagai biaya dana. Di Indonesia, biaya dana yang terlihat dari bunga deposito masih lebih tinggi dibanding negara-negara kawasan. Paulus Yoga
Jakarta–Direktur Micro and Retail Banking PT Bank Mandiri (persero) Tbk Budi Gunadi Sadikin menyatakan, kendala perbankan dalam menurunkan suku bunga masih terbentur dengan besarnya biaya dana.
Hal tersebut diutarakannya kepada wartawan usai menghadiri seminar: “Mewujudkan National Payment Gateway Menyongsong MEA 2015,” di Jakarta, Rabu, 14 Maret 2012.
“Ini biaya dana kita kan bahannya besar,” tukasnya.
Ia mencontohkan, biaya dana perbankan di Singapura jauh lebih kecil bila di banding di Indonesia. Tingkat bunga deposito di Singapura, lanjutnya, hanya setengah persen, berbanding jauh dengan perbankan di Tanah Air yang rata-rata di level 6%.
“Jadi, bunga kredit masih tinggi, karena cost of fund (biaya dana) tinggi,” tandasnya.
Ia menambahkan, memang bunga kredit bisa diturunkan, bila biaya dana juga turun. Namun, menurutnya, hal yang lebih penting adalah seberapa besar perbankan mengambil margin.
“Kalau bahan 0,5% dan jual 2%. Itu kan untungnya sampai 400%. Jadi berbeda, tidak bisa dibandingkan,” tutupnya. (*)

Sumber : Infobank

Berebut Pasar Tionghoa Berkantong Tebal

Bank-bank berlomba membidik etnis Tionghoa sebagai nasabah potensial. Banyak bank yang dihidupnya ditopang oleh kesetiaan nasabah Tionghoa. Berapa besar potensinya? Jennar Siantang
Etnis Tionghoa sudah ratusan tahun berada di Indonesia. Eksistensinya tak bisa dilepaskan dari perjalanan perniagaan dan bisnis keuangan di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda orang Tionghoa menjadi bangsa kelas dua setelah Belanda, tapi banyak yang dipercaya menjadi kasir.
Selain menyandang kepercayaan, orang Tionghoa di Indonesia yang umumnya berasal dari tenggara China itu dikenal ulet dalam bekerja. Jangan heran jika sejak era kolonial sudah ada pengusaha-pengusaha andal keturunan Tionghoa.
Salah satunya Liem Seeng Tee di Surabaya dengan produk rokoknya berlabel 234. Ia adalah pendiri PT HM Sampoerna. Ada juga yang berkecimpung di bidang keuangan, seperti Oey Tiong Ham yang mendirikan NV Bank Vereeniging di Semarang dan NV Batavia Bank (The NV Chung Hwa Sang Yeh Mij) di Medan.
Saat pemerintah Orde Baru berkuasa, jumlah orang Tionghoa diklaim sebanyak 5 juta jiwa. Kendati minoritas, mereka berperan aktif dalam perekonomian, bahkan mampu mendominasi jagat niaga Indonesia. Malah, sejak keluarnya Pakto 88 yang membuat bank-bank bermunculan seperti cendawan di musim hujan, etnis Tionghoa mendominasi kepemilikan bank.
Karena keuletannya, jangan heran jika banyak etnis Tionghoa berhasil dalam berbisnis. Tentu saja, kemakmuran ekonomi pun mengikutinya. Tebalnya kantong mereka pun menjadi target pasar industri perbankan. Bahkan, tak sedikit bank umum yang brankas dananya ditopang oleh basis nasabah orang Tionghoa.
Salah satunya Bank Mutiara, yang sebelumnya bernama Bank Century. Karena kesetiaan nasabah itulah likuiditas bank ini tetap stabil dan tumbuh, kendati “dihajar” isu politik sejak terbentuknya Panitia Khusus (Pansus) Century di legislatif. “Kontribusi mereka pada DPK (dana pihak ketiga) Mutiara juga mencapai 90%, dari total Rp11,2 triliun per Desember 2011,” ujar Benny Purnomo, Director Distribution Network Bank Mutiara, kepada Infobank.
Bank-bank papan atas seperti Bank Mandiri juga melirik masyarakat Tionghoa sebagai pasar potensial. Kendati menggarap pasar yang lebar di berbagai segmen, bank terbesar di Indonesia dari segi aset ini memiliki program khusus untuk menggarap pasar orang Chinese. Untuk mendapatkan kepercayaan mereka, Bank Mandiri berkali-kali mengelar event, seperti seminar atau gathering, yang ditujukan khusus untuk orang Tionghoa.
Menurut Setiyo Wibowo,Vice President Mass Banking Bank Mandiri, perkembangan sektor riil yang melibatkan masyarakat Tionghoa menjadi indikasi bahwa mereka berperan penting dalam memutarkan uang. “Potensi market-nya besar sekali kontribusinya terhadap GDP. Retail sales tekstil itu sekitar Rp2.000 triliun,” paparnya kepada Infobank lewat saluran telepon bulan lalu.
Diprediksi, potensi tabungan maupun giro dari sana mencapai Rp22 triliun. “Itu dari tekstil aja, belum kita lihat consumer goods dan sektor industri yang lain,” imbuh Setiyo. Bagi Bank Mandiri dan bank-bank besar lain yang mengembangkan layanan priority banking, produk-produk semacam wealth management juga bisa menjadi alternatif untuk menggaet kalangan Tionghoa berkantong tebal.
Menurut Setiyo, menggaet pasar etnis Tionghoa tidak terlalu sukar. Mereka biasa berkumpul membuka usaha di satu lokasi yang sama. Sehingga, mereka banyak mendominasi usaha di pusat perdagangan tertentu, yang dari segi sektor ekonominya pun cenderung homogen.
Ambil contoh kawasan pertokoan Glodok, Jakarta Pusat, atau Mangga Dua, Jakarta Utara, yang masing-masing menjadi sentra perdagangan barang elektronik dan tekstil.
Fenomena serupa juga tampak di daerah yang dihuni komunitas Tionghoa seperti Surabaya dan Medan. Dari kantong-kantong kegiatan bisnis mereka, bank-bank tidak hanya bisa merogoh kocek mereka, tapi juga membiayai bisnis mereka serta berbagai kegiatan transaksi yang mendatangkan fee based income. Namun, karena telah menjadi lahan potensial, bank-bank tentu harus berkompetisi untuk bisa merebut pasar etnis Tionghoa. (*)

Sumber : Infobank

BI Rate Tetap 5,75%

No. 14/7/PSHM/Humas
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada tanggal 12 April 2012 memutuskan untuk mempertahankan BI rate sebesar 5,75%. Tingkat BI Rate tersebut dinilai masih konsisten dengan tekanan inflasi dari sisi fundamental ke depan yang diperkirakan masih relatif terkendali. Meskipun demikian, Bank Indonesia mewaspadai risiko dapat meningkatnya tekanan inflasi secara temporer ke depan dari kemungkinan adanya kebijakan terkait BBM yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia akan mengambil langkah kebijakan yang diperlukan untuk mengantisipasi dampak inflasi jangka pendek tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia akan melanjutkan penguatan operasi moneter dan kebijakan makroprudensial, dengan tetap menjaga konsistensi kebijakan suku bunga dengan prakiraan makroekonomi ke depan. Dengan terus memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial, serta koordinasi kebijakan dengan Pemerintah baik melalui forum Tim Pengendalian Inflasi di tingkat pusat (TPI) maupun Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID), Bank Indonesia meyakini dapat membawa inflasi tahun 2013 menuju kisaran 4,5% ± 1%.
Dewan Gubernur berpandangan bahwa perekonomian global masih diliputi oleh ketidakpastian yang tinggi. Meskipun perekonomian AS mulai mengindikasikan perbaikan, pemulihan ekonomi di kawasan Eropa masih terkendala oleh penyelesaian krisis yang sedang berlangsung sementara terdapat indikasi perlambatan ekonomi di China dan India. Perlambatan pertumbuhan ekonomi global diperkirakan akan berdampak pada penurunan lebih lanjut kinerja ekspor negara-negara emerging markets, termasuk Indonesia. Sementara itu, tekanan inflasi global masih relatif rendah sehingga negara-negara maju masih melanjutkan kebijakan akomodatif meskipun dengan ruang gerak yang semakin terbatas. Namun, peningkatan harga komoditas global, khususnya harga minyak, telah meningkatkan tekanan inflasi yang dapat mendorong penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat di negara-negara emerging markets. Dengan ketidakpastian perekonomian global dan tingginya harga komoditas, volatilitas arus masuk modal asing ke negara-negara emerging markets diperkirakan masih akan berlanjut.
Dewan Gubernur memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih akan relatif tinggi di tengah risiko perlambatan ekonomi dunia tersebut dan kemungkinan ditempuhnya kebijakan Pemerintah terkait dengan BBM. Pada triwulan II-2012 pertumbuhan ekonomi diprakirakan mencapai 6,4%, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan prakiraan pertumbuhan untuk triwulan I-2012 sebesar 6,5%. Pertumbuhan ekonomi diprakirakan masih dapat mencapai kisaran 6,3-6,7% pada tahun 2012 dan meningkat menjadi sekitar 6,4-6,8% pada tahun 2013. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, di tengah perlambatan ekonomi global tersebut, terutama ditopang oleh kuatnya permintaan domestik dengan konsumsi yang masih kuat dan peran investasi yang semakin meningkat. Penimbangan risiko (balance of risks) untuk tahun 2012 menunjukkan pertumbuhan cenderung bias ke bawah baik karena dampak perlambatan perekonomian global maupun kemungkinan adanya kebijakan terkait BBM oleh Pemerintah, apabila tidak ditempuh langkah-langkah stimulus khususnya dari kebijakan fiskal. Secara sektoral, seluruh sektor ekonomi diprakirakan masih akan tumbuh cukup tinggi, dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor transportasi dan komunikasi; sektor perdagangan, hotel dan restoran; dan sektor bangunan.
Kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada tahun 2012 diprakirakan akan mencatat surplus yang lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Penurunan surplus neraca pembayaran terutama disebabkan oleh defisit transaksi berjalan yang lebih besar karena melambatnya ekspor sejalan dengan perlambatan permintaan dunia di tengah impor yang terus meningkat seiring dengan kuatnya permintaan domestik dan tingginya konsumsi BBM. Di sisi lain, transaksi modal dan keuangan diprakirakan masih mengalami surplus yang cukup besar ditopang oleh aliran investasi langsung dan portofolio. Sementara itu, cadangan devisa sampai dengan akhir Maret 2012 masih cukup besar, mencapai 110,5 miliar dolar AS, atau setara dengan 6,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah.
Pergerakan nilai tukar Rupiah selama triwulan I-2012 mengalami pelemahan. Rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,83%(qtq) ke level Rp9.144 per dolar AS atau secara rata-rata melemah 1,03% (qtq) menjadi Rp9.066 per dolar AS. Pelemahan tersebut diikuti dengan volatilitas yang meningkat dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Tekanan terhadap Rupiah antara lain berasal dari penyesuaian portofolio investor asing akibat pengaruh sentimen global dan ekspektasi inflasi yang meningkat di dalam negeri, di samping permintaan valas yang cenderung meningkat seiring dengan kuatnya impor, termasuk impor migas untuk konsumsi BBM di dalam negeri. Dengan langkah stabilisasi nilai tukar Rupiah yang ditempuh Bank Indonesia baik melalui intervensi di pasar valas maupun pembelian SBN dari pasar sekunder, stabilitas pergerakan nilai tukar Rupiah secara keseluruhan masih tetap terjaga.
Di sisi harga, inflasi masih terkendali meskipun terdapat risiko peningkatan tekanan inflasi ke depan. Inflasi IHK pada triwulan I-2012 tercatat 0,88% (qtq) sehingga secara tahunan tercatat sebesar 3,97% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Di sisi lain, inflasi inti masih cenderung terkendali dan berada pada level yang relatif rendah (4,25%, yoy). Sumber tekanan inflasi antara lain berasal dari rendahnya deflasi kelompok bahan pangan meskipun telah memasuki masa panen raya. Sementara itu, inflasi administered prices relatif rendah seiring dengan tidak adanya perubahan kebijakan dibidang harga komoditas strategis. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko meningkatnya ekspektasi inflasi terutama yang terkait kemungkinan kebijakan BBM yang ditempuh oleh Pemerintah.
Stabilitas sistem perbankan tetap terjaga dan disertai dengan fungsi intermediasi yang semakin baik dalam mendukung pembiayaan perekonomian. Industri perbankan menunjukkan kinerja yang semakin solid sebagaimana tercermin pada tingginya rasio kecukupan modal (CAR/Capital Adequacy Ratio) yang berada jauh di atas minimum 8% dan terjaganya rasio kredit bermasalah (NPL/Non Performing Loan) gross di bawah 5%. Sementara itu, intermediasi perbankan juga terus membaik, tercermin dari pertumbuhan kredit yang hingga akhir Februari 2012 mencapai 24,2% (yoy). Kredit investasi tumbuh cukup tinggi, sebesar 33,2% (yoy), dan diharapkan dapat meningkatkan kapasitas perekonomian. Sementara itu, kredit modal kerja dan kredit konsumsi masing-masing tumbuh sebesar 23,4% (yoy) dan 19,6% (yoy).
Ke depan, Dewan Gubernur akan mencermati dampak dari kemungkinan kebijakan Pemerintah terkait dengan BBM dan risiko perlambatan ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia. Apabila kebijakan BBM tersebut ditempuh Pemerintah, Bank Indonesia tetap meyakini bahwa dampaknya terhadap inflasi akan bersifat temporer (one-time shock). Meskipun demikian, Bank Indonesia akan mengoptimalkan berbagai kebijakan yang diperlukan untuk meminimalkan dampak temporer inflasi tersebut dan mengendalikan tekanan inflasi ke depan sesuai kondisi fundamental agar berada dalam sasarannya. Dalam hal ini, Bank Indonesia akan memperkuat bauran kebijakan moneter dan makroprudensial yang telah ditempuh selama ini. Respon kebijakan suku bunga tetap diarahkan untuk mengendalikan tekanan inflasi dari sisi fundamental sesuai prakiraan makroekonomi ke depan. Sementara itu, untuk mengendalikan tekanan inflasi dalam jangka pendek yang bersifat temporer, kebijakan difokuskan pada penguatan operasi moneter dan pengendalian ekses likuiditas secara terukur. Disamping itu, koordinasi dengan Pemerintah akan terus diperkuat, baik dengan Pemerintah Pusat melalui forum TPI maupun dengan Pemerintah daerah melalui forum TPID.
Laporan lengkap mengenai pembahasan Rapat Dewan Gubernur (RDG) April 2012 yang memuat perkembangan makroekonomi, kebijakan moneter, dan prospek 2012-2013 dapat dilihat dalam Laporan Kebijakan Moneter (LKM)

Jakarta, 12 April 2012
 
Departemen Perencanaan Strategis
dan Hubungan Masyarakat
Dody Budi Waluyo
Kepala Departemen



BI: Pertumbuhan Ekonomi 2012 Diprediksi 6,4%


Inflasi akan tetap rendah dan terkendali. Perkiraan tersebut masih valid bila pemerintah tidak melakukan kebijakan dibidang BBM. Selain itu, pertumbuhan ekonomi cenderung berada pada kisaran 6,4%. Angga Bratadharma
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menilai, perkiraan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 akan bias cenderung menurun, yang sebelumnya diperkirakan berada pada kisaran 6,3% hingga 6,7%.
“Kita sampaikan waktu itu bahwa perkiraan pertumbuhan ekonomi kita tahun 2012 itu 6,3% hingga 6,7% masih bisa dicapai, tapi sepertinya cenderung bias kebawah, kearah 6,3%, lebih tepatnya 6,4%. Makanya kita turunkan penurunan BI Rate 100 bps agar pertumbuhan ekonomi kita bisa 6,4%. Kalau tidak ada stimulus moneter bisa 6,3%, kalau dikasih bisa di atas 6,4%”, ucap Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, kepada wartawan, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 17 April 2012.
Ia mengatakan, inflasi ke depan akan tetap rendah dan terkendali. Perkiraan tersebut masih valid bila pemerintah tidak melakukan kebijakan dibidang BBM. “Kisaran pertumbuhan ekonomi masih 6,3% hingga 6,7% kalau tidak ada kebijakan mengenai BBM itu. Poinnya sekitar 6,4%. Inflasi akhir tahun menjadi 4,4%”, jelas Perry.
Ia menambahkan, apabila pemerintah melakukan kebijakan untuk menaikkan harga BBM, maka perkiraan pertumbuhan ekonomi 6,4% bisa tercapai, inflasi 4,4% dan ditambah 0,3$, jadi 4,7%.
“Kalau dilakukan kenaikan harga BBM, maka 4,4% ditambah 2,2% jadi 6,6%, lebih rendah dari 7% yang kita perkirakan waktu itu, karena inflasi bulan-bulan ini lebih rendah,” ujar Perry.
“Tahun 2013 makro ekonomi kita akan kembali ke tren jangka menengah dan panjang. Pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 6,4%-6,8% dengan arah sekitar 6,7%. Inflasinya akan tetep terkendali di level sekitar 4,5%. Plus minus 1%”, tambahnya. (*)

Sumber : Infobank

BI: Pengaruh Kenaikan BBM Terhadap Inflasi Hanya 3 Bulan

Memang dengan adanya penaikan harga BBM akan berpengaruh terhadap inflasi yang ada, namun BI yakin bahwa penaikan tersebut akan kembali turun sekitar 3 bulan dari kenaikan. Angga Bratadharma
Jakarta–Bank Indonesia (BI) menyatakan, dampak dari kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah hanya akan berpengaruh terhadap inflasi selama 3 bulan. Setelah itu, inflasi disinyalir akan kembali turun.
“Apabila pemerintah menaikan BBM bersubsidi kemarin itu, memang menaikan inflasi, tapi saya rasa setelah waktu penaikan itu selesai, maka inflasi akan turun kembali”, kata Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, kepada wartawan, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 17 April 2012.
Ia mengatakan, memang dengan adanya penaikan harga BBM akan berpengaruh terhadap inflasi yang ada, namun BI yakin bahwa penaikan tersebut akan kembali turun sekitar 3 bulan dari penaikan itu.
“Memang ada pengaruhnya, tapi saya rasa 3 bulan sesudahnya akan kembali turun”, tukasnya.
Perry menambahkan, secara keseluruhan Dewan Gubernur (DG) juga meyakini dengan berbagai opsi dan kondisi yang adda, termasuk dengan BBM bersubsidi, maka inflasi akan tetap terkendali hingga akhir tahun.
“Setelah dampak temporer berakhir, inflasi akan kembali pada tren fundamentalnya. Jadi tahun depan tetap akan terkendali”, tutupnya. (*)

Sumber : Infobank

Ekspektasi Inflasi Naik, BI Perketat Operasi Moneter


Policy respon yang dilakukan BI mengenai tekanan inflasi jangka pendek adalah melakukan langkah penguatan operasi moneter dalam pengendalian likuiditas. Angga Bratadharma
Jakarta–Melihat adanya indikasi bahwa ekspektasi inflasi mulai meningkat, terlihat dari indikator survei penjualan eceran, ekspektasi konsumen, dan implied expektasi di pedagang, maka Bank Indonesia (BI) mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi hal tersebut.
“Kita memang melihat adanya indikasi bahwa ekspektasi inflasi mulai meningkat. Sebab itu, langkah yang dilakukan BI mulai melakukan pada bulan lalu dan bulan ini melakukan penguatan operasi moneter”, tukas Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo, kepada wartawan, di Gedung BI, Jakarta, Selasa, 17 April 2012.
Menurut Perry, policy respon yang dilakukan BI mengenai tekanan inflasi jangka pendek adalah melakukan langkah penguatan operasi moneter dalam pengendalian likuiditas. “Suku bunga operasi moneter dan suku bunga Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sedikit bergerak naik khususnya untuk tenor-tenor lebih dari 1 hari. Dengan penguatan operasi moneter yang kita lakukan, makanya suku bunga operasi moneter kita untuk FASBI masih dimantain 3,75%. Tapi tenor 9 bulan sekitar 4%”, tandasnya.
Namun, lanjut Perry, BI meyakini dengan level sekarang sekitar 4% untuk tenor operasi moneter 9 bulan itu masih dinilai rendah, sehingga diyakini tidak ada alasan untuk membawa suku bunga deposito/suku bunga kredit naik.
“Maksimum LPS 5,5%. Jadi tidak ada alasan bagi bank untuk menaikan suku bunga deposito. Apalagi bunga kredit, Trennya msaih harus penurunan”, terang Perry.
Ia menambahkan, BI juga akan menyiapkan langkah-langkah lanjutan, namun hal itu tergantung dari bagaimana pergerakan atau rencana pemerintah ke depan. “Langkah lain adalah pengendalian likuiditas secara langsung, disamping penguatan operasi moneter”, tutup Perry. (*)

Sumber : Infobank