Kamis, 12 Mei 2011

Bankir Juga Manusia

Gagalnya intermediasi perbankan bukan semata-mata karena perilaku para bankir. Senangnya para bankir berputar-putar di lingkaran hantu pasar uang merupakan respons dari kondisi sektor riil yang tidak hidup. Eko B. Supriyanto
Kondisi sektor riil yang selama ini menjadi penopang kehidupan negara justru sedang berhadapan dengan sebuah fenomena paradoks pertumbuhan (paradox of growth). Lihat saja, pertumbuhan ekonomi tidak disertai penurunan angka kemiskinan dan pengangguran.
Hal yang sama juga terlihat pada risiko mikro dan distorsi dalam perekonomian yang menghambat investasi dan terefleksi pula pada makin merenggangnya (decoupling) hubungan antara sektor keuangan dan sektor riil.
Perbankan terlihat tidak gemar menyalurkan kredit. Bank-bank dan para pemilik uang cenderung menempatkan dananya pada instrumen keuangan yang berisiko rendah, misalnya pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan surat utang negara (SUN).
Mengapa kredit sulit mengucur? Bisa jadi, kebijakan prudential yang diterapkan BI sejak krisis membuat perbankan sangat diatur, seolah-olah tidak memberi ruang gerak dalam melakukan akselerasi kredit. Penerapan Basel II Accord dinilai terlalu berat jika dikaitkan dengan pemberian kredit.
Penerapan risiko yang berlebihan oleh BI mengakibatkan bank-bank terbiasa menghindari ketimbang menghadapi risiko. Pemberian kredit merupakan langkah menghadapi risiko.
Tidak hanya itu. Kebijakan BI tentang konsolidasi perbankan dalam API (Arsitektur Perbankan Indonesia) di satu sisi dan upaya mendorong intermediasi perbankan di sisi lain merupakan dua hal yang bertolak belakang.
Di satu sisi, bank-bank harus melakukan ekspansi kredit. Tapi, di sisi lain, bank dihadapkan pada tuntutan kebijakan konsolidasi, khususnya dalam persoalan modal minimum, single presence policy, dan penerapan risiko-risiko.
Kondisi di luar perbankan juga sangat menyulitkan posisi bank-bank dalam mengucurkan kredit. Risiko kredit dan risiko pasar dinilai masih relatif tinggi. Hal tersebut terutama terkait dengan iklim usaha dan investasi yang kurang kondusif serta relatif masih tingginya suku bunga kredit.
Dunia usaha sedang menghadapi penurunan profitabilitas. Beban pinjaman meningkat, tapi keuntungan menipis. Penurunan daya beli masyarakat berimbas pada makin lesunya dunia usaha. Proses deindustrialisasi akibat masuknya barang-barang impor ilegal merupakan pukulan berat bagi pembiayaan perbankan. Di sisi lain, sektor-sektor unggulan baru belum banyak mendapatkan fasilitas kredit.
Stimulus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang diharapkan dapat menghidupkan sektor riil tidak banyak terjadi. Rendahnya penyerapan belanja negara dan belanja daerah mengakibatkan sektor riil tidak bergerak seperti sebelum krisis.
Keengganan daerah-daerah merealisasikan proyek—karena ketakutan dinilai korupsi—membuat dana-dana menumpuk di pelbagai bank pembangunan daerah (BPD) dan BPD-BPD kemudian mengembalikannya lagi dalam bentuk SBI.
Kalangan badan usaha milik negara (BUMN) yang diharapkan dapat membantu menggerakan dunia usaha sekaligus penggerak motor ekonomi ternyata dihadapkan pada persoalan yang sama. Isu pergantian direksi dan tidak jelasnya pengembangan BUMN membuat BUMN tidak berjalan semestinya.
Intervensi lembaga hukum terhadap dunia usaha dan perbankan justru mengakibatkan pelunasan kredit-kredit berkolektibilitas lancar. Bahkan, peta politik menunjukkannya adanya ketidakpastian dalam pembuatan kebijakan berjangka panjang.
Sejak krisis menghempas, pengusaha-pengusaha baru tak tumbuh. Sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) diharapkan dapat menyerap kredit lebih. Tapi, ternyata, kredit itu didominasi UMKM sektor konsumsi.
Akibatnya, penyerapan kredit tidak banyak memberi efek terhadap kegiatan ekonomi. Banyak kendala dihadapi sektor UMKM produktif, sehingga tidak bisa tumbuh menjadi perusahaan menengah yang mampu menyerap kredit secara korporasi.
Jadi, gagalnya intermediasi perbankan bukan semata-mata karena perilaku para bankir. Senangnya para bankir berputar-putar di lingkaran hantu pasar uang merupakan respons dari kondisi sektor riil yang tidak hidup.
Kesalahan utamanya tidak pada perbankan. Setan gundulnya ada di luar perbankan. Jika hantu di luar sektor perbankan berhasil diusir, putus sudah lingkaran setan pasar uang itu.
Sebab, bankir juga manusia, bukan seorang dewa, kendati syarat menjadi bankir—sebagaimana ditunjukkan dengan ketatnya aturan yang dipatok BI—mirip dengan syarat menjadi dewa. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar