Selasa, 03 Mei 2011

Kartel Suku Bunga yang Tidak Efektif

Kesepakatan suku bunga ini bukan ide untuk memecahkan pertumbuhan kredit. Juga, bukan jalan alternatif agar suku bunga kredit berangsur turun. Untuk apa suku bunga rendah jika toh permintaan kredit juga masih rendah? Eko B. Supriyanto

Suku bunga perbankan masih terus menjadi bahan pembicaraan menarik. Apalagi, setelah BI Rate turun ke titik terendah, 6,5%–namun tidak diikuti dengan penurunan suku bunga kredit. Suku bunga kredit masih saja membandel. Nah, karena bandelnya suku bunga kredit akibat biaya dana (cost of funds) bank-bank yang masih tinggi, Bank Indonesia (BI) pun melakukan moral suation ke bank-bank.

Hasilnya, tetap saja suku bunga tak bergerak turun secara berarti. Entah karena desakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin), entah siapa, BI melakukan monitoring terhadap 14 bank yang bersepakat menurunkan suku bunga. Wajar saja BI melakukan monitoring suku bunga dana ini karena selama ini para bankir masih mengeluhkan permintaan suku bunga dari perusahaan-perusahaan besar, terutama dana-dana badan usaha milik negara (BUMN).

Banyak yang ragu akan efektivitas kartel suku bunga yang dilakukan oleh 14 bank atas desakan BI tersebut. Pertama, perilaku suku bunga tidak bisa dengan paksaan seperti zaman belum ada instrumen moneter. Atau, memang kenyataan ini merupakan kegagalan instrumen moneter BI.

Kedua, kesepakatan suku bunga boleh jadi akan berlangsung sementara karena masing-masing bank mempunyai risiko sendiri-sendiri dan kebutuhan likuiditas sendiri. Ketiga, struktur dana bank juga berbeda-beda antara satu bank dan bank lain.

Kebijakan BI yang akan memberikan sanksi terhadap bank-bank yang tidak patuh merupakan kebijakan out of the box—kebijakan yang tidak lazim. Kebijakan out of the box terkadang perlu dilakukan. Namun, menyangkut suku bunga, tingkat keberhasilannya juga rendah.

Apalagi, sebenarnya dalam bisik-bisik di kalangan bankir, kesepakatan penurunan suku bunga oleh 14 bank ini diyakini oleh para bankir juga tidak akan langgeng. Bahkan, banyak yang mengatakan tidak akan efektif. Apalagi, struktur perbankan sekarang juga sudah berubah tidak seperti 1991-an ketika J.B. Sumarlin membuat kartel suku bunga yang dikenal dengan sebutan Kesepakatan Hilton yang terdiri atas bank-bank BUMN, yang waktu itu benar-benar menjadi market leader.

Pertanyaannya, mengapa suku bunga tetap membandel? Menurut catatan Biro Riset Infobank (birI), setidaknya ada lima hal penting. Pertama, pemerintah sendiri sebenarnya menginginkan suku bunga tinggi yang tercermin dari yield Surat Utang Negara (SUN) yang mencapai 10%. Ini artinya, pemerintah mempunyai risiko yang lebih tinggi dengan bank-bank—jika suku bunganya dipaksa rendah. Atau, dalam dimensi yang lain bank-bank bersaing dengan pemerintah yang risikonya rendah namun suku bunga tinggi.

Kedua, biaya dana bank-bank yang tinggi. Selama ini seperti pengakuan para bankir, bank-bank ditekan nasabah untuk memberikan suku bunga yang tinggi. Nah, karena tingkat persaingan antarbank yang tajam, bank-bank pun mengikuti kata pemilik dana. Tentu ini akan berdampak pada peningkatan biaya dana.

Ketiga, tingginya risiko atau sering disebut dengan premium risk yang masih tinggi. Angka kredit bermasalah (non performing loan atau NPL) merupakan bukti bahwa risk premium masih tinggi. Sehingga, untuk meng-cover risiko suku bunga kredit juga harus tinggi karena menginginkan margin yang tetap tebal.

Keempat, bankir dan pemilik tetap menginginkan margin yang tebal agar target keuntungan tercapai. Apalagi, pemilik sekarang ini menargetkan keuntungan yang besar dengan target pengembalian modal yang cepat. Hal itu berlaku bagi bank-bank asing yang baru dibeli empat tahun belakangan ini. Juga, pemerintah yang menargetkan laba bank-bank BUMN juga besar.

Kelima, sifat kredit yang dibiayai memang secara genetik sudah tinggi, yaitu kredit sektor konsumsi dan sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kredit konsumsi yang sekarang menjadi primadona memang suku bunganya tinggi. Apalagi, sekarang ini pertumbuhan total kredit juga masih rendah.

Nah, kelima hal itulah yang menjadi beban suku bunga masih bandel. Rendahnya pertumbuhan kredit memaksa para bankir tetap mempertahankan margin yang besar sehingga tingkat keuntungan dapat dipertahankan. Rendahnya pertumbuhan kredit bukan menyangkut semata-mata suku bunga yang tinggi, melainkan karena permintaan kredit yang rendah akibat permintaan barang juga rendah dengan risiko ketidakpastian ekonomi yang masih berkibar-kibar. Lihat saja, angka undisbursed loan yang juga masih tinggi.

Langkah kesepakatan suku bunga ini tidak akan efektif dalam jangka panjang. Apakah setelah kesepakatan suku bunga dana, suku bunga kredit juga harus dibuat kesepakatan? Kesepakatan suku bunga dana ini tidak menunjukkan risiko yang berbeda antarbank, padahal kondisi bank sangat berbeda risikonya. Namun, kesepakatan suku bunga ini juga membawa peluang bagi bank-bank di luar 14 bank itu untuk dapat menangkap dana-dana muntahan.

Kesepakatan suku bunga ini bukan ide untuk memecahkan pertumbuhan kredit. Juga, bukan jalan alternatif agar suku bunga kredit berangsur turun. Untuk apa suku bunga rendah jika toh permintaan kredit juga masih rendah?

Sumber : www.infobanknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar