Senin, 02 Mei 2011

Keharusan Mencetak Bankir Konsumer

Berkarier menjadi consumer banker merupakan pilihan bijak saat ini. Mengembangkan talenta-talenta di bidang consumer banking secara lebih sistematis sudah merupakan keharusan. Awaldi

Menurut data statistik yang dikeluarkan Infobank, porsi kepemilikan asing atas perbankan nasional makin lama makin besar. Data terakhir menyebutkan sekitar 47% kepemilikan bank sekarang ini berada di tangan asing.

Lihat saja, hampir semua bank swasta nasional dimiliki asing: Bank Central Asia (BCA), Bank Internasional Indonesia (BII), Bank Danamon, Bank CIMB Niaga, PermataBank, Bank Buana, Bank OCBC NISP, dan seterusnya.

Pelan-pelan terdapat kecenderungan penggantian nama bank tersebut menggunakan flag dari holding company-nya. Niaga dan Lippo bergabung menjadi CIMB Niaga, Buana menjadi UOB Buana, NISP akan menjadi OCBC NISP, sementara Haga dan Hagakita menjadi Rabobank.

Data di atas merupakan penggambaran dari perkembangan global market. Dalam hal ini, kapital tidak lagi mengenal batas negara. Investasi merupakan kegiatan lintas negara.

Teori supply dan demand berlaku. Bahasa premannya, cocok harga, angkat barang. Air mengalir ke tempat yang lebih rendah. Sementara, kapital mencari tempat investasi dengan harga wajar yang dapat menghasilkan return yang tinggi.

Penempatan saham mayoritas perusahaan dari negara lain di bank-bank tersebut tentu diikuti dengan penempatan-penempatan eksekutifnya. Ini merupakan konsekuensi logis.

Penempatan investasi dengan harapan return sesuai dengan kalkulasi tentu harus dapat diamankan dengan meyakinkan bahwa leadership dan sumber daya yang ada akan mampu melakukannya.

Holding company-nya memilihkan beberapa sumber daya manusia (SDM) berkualitas yang dapat meyakinkan pencapaian ini. Umumnya hal ini terjadi ditingkat eksekutif puncak (top executive).

Nakhoda beberapa perusahaan swasta kemudian dikenal sebagai ekspatriat. Begitu juga beberapa jajaran direksi dan jajaran perjabat seniornya.
Yang menarik, nama-nama yang disebutkan di atas maupun beberapa eksekutif ekspatriat yang ditempatkan di bank-bank tersebut umumnya berasal dari corporate banking dan/atau investment banking (selanjutnya ditulis corporate banking saja).

Hal ini wajar karena beberapa alasan. Pertama, high profile banker umumnya berasal dari coporate banking. Ekstremnya, seseorang baru disebut bankir kalau berasal dari mainstream ini.

Pencitraan ini juga terefleksi dalam film-film yang selalu menunjukkan bankir sebagai corporate/investment banker. Oleh sebab itu, banyak expat, apalagi yang muda-muda dan lulusan master business of art (M.B.A) umumnya lebih tertarik mendapatkan eksposur di corporate banking ketimbang consumer banking.

Kedua, margin untuk mendapatkan return yang cepat dan besar berasal dari corporate banking. Wajar jika owner memberikan perhatian lebih kepada sektor ini untuk dapat memberikan pengembalian modal yang lebih cepat.

Ketiga, sektor dalam industri perbankan yang knowledge-nya bersifat relatif generik dan kegiatannya lintas negara adalah corporate banking. Menjadi corporate banker cukup dengan bermodalkan intelegensia dan mahir dalam ilmu corporate finance (atau lulusan M.B.A spesialisasi dalam corporate finance).

Dengan ilmu yang bersifat generik tersebut, mereka bisa menerapkannya dalam analisis dan dealing dengan perusahaan-perusahaan besar yang umumnya juga sudah mengglobal.

Dengan kata lain, ilmu dan teknologi yang dibutuhkan bersifat standar dan global dan bisa diterapkan lintas negara. Artinya, gampang bagi expat untuk menyesuaikan diri karena ilmu yang digunakan sama walaupun implementasi di negara yang berbeda.

Oleh karena itu, kalau Anda lihat, hampir semua chief executive officer (CEO) dan expat-expat yang ditempatkan pemiliknya di bank nasional yang dibeli mempunyai latar belakang sebagai corporate banker. Sebaliknya, hampir seluruh eksekutif puncak consumer banking dikuasai bankir-bankir Indonesia, baik dulu maupun sekarang. Jarang atau, kalau boleh dibilang, tidak ada expat mengambil posisi ini.

Sebagai contoh, Citibank pada 1990-an pernah sangat sukses dengan kartu kreditnya. Posisi itu dapat diraih berkat kepemimpinan Enny Hardjanto sebagai marketing director. Contoh lain Winny E. Hasan, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama Bank DKI (Daerah Khusus Ibu Kota), pernah menjadi ikon consumer banking Bank Niaga pada 1990-an.

Sebut juga beberapa nama lain: Dian Soerarso (Bumiputera), Rudy N. Hamdani (Bank OCBC NISP), Dyah Sulianto (BNI), Malik Habir (PermataBank), Mohammad Helmy (BRI), dan lain-lain. Mereka semua “asli” Indonesia.

Dalam sejarah dan perkembangannya, sampai dengan sekarang, sektor consumer banking ini kelihatannya tidak diincar dan kurang diminati ekspatriat. Kenapa demikian?

Menjadi consumer banker tidak cukup hanya dengan penguasaan ilmu banking dan corporate finance. Seseorang harus menguasai dengan baik budaya, sistem sosial, dan psikologi nasabah-nasabah individu yang dilayaninya. Ini tidak cukup dipelajari dari sekolah M.B.A, management trainee, atau ilmu-ilmu logika dan “ilmu standar” lainnya.

Dibutuhkan penjiwaan dan tingkat social-emotional inteligency tersendiri sehingga produk-produk yang dijual sesuai dengan situasi masyarakat dan dibeli nasabah individu.

Enny Hardjanto sukses memperkenalkan dan membesarkan kartu kredit Citibank di Indonesia karena dia tidak sembarang menjual kartu kredit. Dia paham dan mengerti dengan situasi kejiwaan profesional muda Indonesia, yang pada waktu itu gila dengan “gengsi” dan barang-barang branded.

Enny kemudian memosisikan kartu kredit Citibank bagaikan BMW bagi pasaran mobil-mobil pribadi. Kartu kredit Citibank tidak untuk semua orang, tetapi khusus untuk orang yang membutuhkan “identitas” dan pengakuan. Kartu kredit Citibank dijual dengan harga premium. Kartu tersebut laku bak pisang goreng.

Winny E. Hasan juga sukses mem-Bank Niaga-kan Jawa Timur karena yang bersangkutan mengerti watak orang Jawa Timur. Maka, muncullah waktu itu cabang pertama di Indonesia yang disebut dengan ladys branch.

Semua staf terdiri atas wanita, dari pemimpin cabang hingga tenaga satuan pengamanan (satpam). Winny juga memperkenalkan konsep “uang muka tidak soal” dalam kredit mobil. Caranya itu membuat masyarakat Jawa Timur tidak bisa memisahkan kredit mobil dengan kredit yang diberikan Bank Niaga.

Sama halnya dengan kesuksesan yang diraih Enny Hardjanto yang membuat masyarakat tidak bisa memisahkan kartu kredit dengan kartu kredit Citibank.

Dari hari ke hari, consumer banking makin mendapatkan tempat dalam industri perbankan. Consumer banking dan corporate banking berbagi kedudukan sama kuat, baik dalam business growth, profit generation, maupun bank leadership.

Sebelum krisis moneter (krismon), corporate banking memang menjadi primadona dan merupakan fokus banyak bank. Setelah krismon, banyak bank berlomba-lomba memutar haluan ke pendulum lainnya, yaitu consumer banking, yang memang memiliki eksposur risiko yang lebih kecil (akan tetapi return juga lebih kecil). Consumer banking dan corporate banking mulai berbagi kekuatan, menjadi sama kuat.

Kini mulai ada bankir yang dibesarkan dalam tradisi consumer banking dipercaya menjadi CEO. Tidak tertutup kemungkinan akan lebih banyak lagi di kemudian hari.

Karena itu, bagi pencari kerja dan karyawan, berkarier menjadi consumer banker merupakan pilihan bijak saat ini. Begitu juga bagi bank.

Mengembangkan talenta-talenta di bidang consumer banking secara lebih sistematis sudah merupakan keharusan. Karier di bidang ini most likely akan diisi orang lokal, sementara kebutuhan leadership-nya juga makin banyak.

Karena itu, harus disiapkan talenta-talenta yang cukup. Jangan sampai supply dari khazanah lokal terlambat. Momentumnya patut dimanfaatkan. Mencetak bankir-bankir konsumer harus dipikirkan secara sistematis oleh dunia perbankan kita. Bahkan, seyogianya dengan motor dari Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) maupun Persatuan Perbankan Indonesia (Perbani).

Kebiasaan menggunakan jalan pintas dengan hijecking dari bank lain sebaiknya dikurangi karena kalau tidak supply-nya akan menipis dan momentum yang sudah tercipta tidak bisa digunakan dengan baik.

Kiranya Perbanas dapat menjadi fasilitator untuk mengurangi kebiasaan hijecking yang makin menggila akhir-akhir ini. Sampai-sampai ada temen saya head-hunter yang bilang bahwa salary untuk beberapa posisi bankir (antara lain card center) sudah unreasonable, terlalu tinggi.

Hal ini disebabkan kebiasaan “membeli” karyawan dan lemahnya supply consumer banker yang berkualitas untuk bidang-bidang tertentu.

Mencetak bankir konsumer dapat dimulai melalui program management trainee (MT) di bank itu sendiri yang didedikasikan/spesialisasi dalam bidang consumer banking. Kemudian, diteruskan dengan pembinaan melalui program pendidikan berkelanjutan serta pengelolaan talenta secara sistematis melalui coaching, mentoring, pemberian tugas-tugas, dan promosi ke jenjang yang lebih tinggi.

Dalam hal penyelenggaraan MT, calon-calonnya dipilih dari mereka yang merupakan mahasiswa terbaik di universitasnya. Kalau perlu melalui program beasiswa/ijon yang diseleksi ketika mereka masih kuliah tahun kedua dan/atau ketiga. Dilanjutkan dengan program training dan orientasi selama lebih kurang 10-12 bulan.

Akan tetapi, “pekerjaan” mencetak bankir konsumer ini bisa juga diangkat ke tingkat nasional dengan melibatkan Perbanas School (atau sekarang dikenal dengan APBI, Asia Pacific Banking Institute).

Keterlibatan Perbanas ini dapat dipikirkan, antara lain dengan menciptakan graduate khusus untuk consumer banking. Akan lebih baik lagi dibungkus dalam kerja sama link and match (pada tahun terakhir) dengan bank-bank terkait dalam format management trainee. Sehingga, lulusan khusus APBI untuk consumer banking ini bisa benar-benar terpakai dan sesuai dengan kebutuhan.

Pada akhirnya, diharapkan consumer banking, the last of the mohican, tetap selamanya diisi bankir-bankir lokal. (*)

Penulis kini memimpin sebuah Leadership Institute di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebelumnya dia pernah menjadi head of HR salah satu bank di Jakarta.

Sumber : www.infobanknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar