Rabu, 04 Mei 2011

Memuja Manajemen, Mengindari Tipuan

Dari lima unsur CAMEL, manajemen menjadi faktor terpenting dalam menganalisis perbankan. Sayangnya, ia tidak dapat diukur secara kuantitatif. Haruskah analis perbankan kembali tertipu? Mirza Adityaswara

Dulu, sebelum krisis, pekerjaan analis perbankan (banking analyst) cukup mudah. Sebab, yang dianalisis dan ditanyakan kepada manajemen bank hanyalah angka-angka pertumbuhan kredit, pertumbuhan dana pihak ketiga, efisiensi biaya, margin bunga, dan besarnya laba. Dari lima unsur CAMEL (capital, asset, management, earning, and liquidity), mungkin sebagian besar analis hampir tidak pernah secara “sadar” memasukkan unsur manajemen sebagai unsur terpenting dalam penilaian rating suatu bank.

Karena keadaan pada waktu itu semua berjalan sedemikian baiknya, para analis—termasuk penulis sendiri—terlena dengan angka-angka fantastis pertumbuhan kredit dan laba perbankan Indonesia. Tentu saja, keadaan terlena ini didorong pula oleh pujian-pujian investor, kreditor asing, dan lembaga multilateral terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ternyata, apa yang terlihat dipermukaan “sangat baik” pada kenyataannya “sangat keropos”. Kemudian, berbondong-bondonglah para analis, kreditor, dan lembaga multilateral menceritakan kebobrokan perbankan Indonesia, maka hancurlah perbankan kita pada 1998.

Keadaan di pasar valuta asing pada waktu itu makin tidak terkendali. Sebab, gelombang pembelian valas didukung oleh banjirnya kredit likuiditas dari bank sentral—sebagai konsekuensi penjaminan deposito). Dan, keadaan itu didukung sistem devisa kita yang sedemikian bebas. Kita masih ingat reaksi di pasar modal juga sangat negatif karena memang sesuai dengan sifat pasar modal yang selalu over shoot.

Belajar dari kesalahan itu, sudah seharusnya para banking analyst di Indonesia sangat berhati-hati dalam memberikan rekomendasi “beli” untuk saham bank di Indonesia–mudah-mudahan, pendapat ini mewakili pendapat para banking analyst di Indonesia.

Dari lima unsur CAMEL, sekarang, unsur M (manajemen) menjadi unsur terpenting dalam analisis. Kalau manajemen suatu bank dari awal sudah tidak bisa dipercaya, berbicara bombastis, atau selalu menghindar bertemu analis, sebaiknya bank tersebut dihindari dan tanpa ragu-ragu, analis sebaiknya memberikan rekomendasi “sell/a void” (jual/hindari).

Apalagi jika bank tesebut dalam situasi krisis seperti sekarang pertumbuhan kreditnya masih gila-gilaan. Lebih bahaya lagi bila bank tersebut masih dikendalikan suatu keluarga atau satu pemilik. Bank-bank seperti ini kemungkinan besar menyimpan bom waktu.

Faktor keterbukaan manajemen dikategorikan sebagai good corporate governance. Sayangnya, faktor manajemen tidak bisa diukur secara kuantitatif. Manajemen bank sebaiknya secara sukarela menjelaskan kebijakan kredit dan pengembangan asetnya.

Terus terang, setelah tertipu dengan kinerja perbankan sebelum krisis, sulit sekali bagi analis untuk percaya bahwa credit culture bank-bank di Indonesia memang sekarang sudah membaik. Masih sulit bagi para analis untuk yakin bahwa sistem pemberian dan pengawasan kredit, termasuk sistem audit, saat ini sudah lebih baik ketimbang sebelum krisis.

Kualitas laporan audit juga menjadi faktor penting. Sayangnya, tidak ada sanksi bagi para auditor yang sebelum krisis memberikan kualifikasi “wajar tanpa syarat” kepada bank-bank yang ternyata sekarang terbukti melakukan pelanggaran legal lending limit secara gila-gilaan. Sebaiknya, para analis langsung memberikan tanda tanya untuk laporan audit bank yang dihasilkan kantor akuntan yang kredibilitasnya diragukan.

Dari sisi keterbukaan, kualitas laporan publikasi memang makin lama makin baik. Dalam laporan keuangan publikasi, sekarang, kita bisa melihat penggolongan kualitas aktiva produktif dan rekening administratif. Tapi, yang masih perlu diyakinkan kepada analis adalah angka-angka yang dilaporkan memang benar adanya.

Setelah yakin akan faktor manajemen/corporate governance, barulah analis menyoroti empat unsur CAMEL yang lain, yakni capital, asset, earning, and liquidity.

Karena situasi perbankan Indonesia saat ini masih menghadapi situasi yang berat, malah kemungkinan memburuk, faktor kualitas aktiva produktif menjadi sangat penting. Ada tiga rasio kualitas aktiva yang dilihat analis. Satu, rasio aset bermasalah terhadap aset total. Dua, rasio pencadangan terhadap aset bermasalah (makin tinggi, makin baik). Tiga, rasio agunan yang diambil alih terhadap aset total.

Rasio terakhir itu penting diamati. Sebab, bisa saja, kredit bermasalah mengecil karena penghapusbukuan, tapi agunan yang diambil alih bank masih menyangkut terus di neraca bank. Sebab, bank segan menjual agunan tersebut. Bank takut harga jualnya jauh di bawah harga pengambilalihan.

Sementara itu, makin tinggi kredit bermasalah dan makin buruk situasi ekonomi, maka makin tinggi pencadangan yang diperlukan bank. Dalam situasi yang buruk seperti saat ini, tingkat pencadangan/coverage 40% terhadap kredit bermasalah adalah sangat kurang, walaupun dulu sebelum krisis tingkat coverage 40% mungkin dianggap cukup. BCA adalah salah satu contoh bank yang memiliki tingkat coverage tinggi (120%).

Modal bank selalu menjadi unsur penting, apalagi dalam situasi ekonomi yang buruk. Untuk perbankan Indonesia, terutama bank-bank rekap, capital adequacy ratio (CAR) saja tidak cukup. Sebab, CAR bank-bank rekap sudah terdistorsi oleh besarnya proporsi obligasi rekap dalam neraca bank-bank tersebut. Rasio CAR harus dilengkapi dengan rasio modal terhadap total aset.

Bagi investor, rasio laba adalah sangat penting, terutama return on equity (ROE). Bagi investor, percuma saja suatu bank memiliki CAR tinggi, tapi ROE-nya rendah. Sebab, hal itu mencerminkan bahwa bank tersebut over capitalized. Artinya, bank tersebut tidak dapat memanfaatkan modalnya dengan baik.

Untuk Indonesia, investor asing menuntut ROE yang tinggi, yakni harus lebih tinggi ketimbang bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ditambah dengan hedging cost. Artinya, investor asing menuntut ROE sekitar 27%, suatu hal yang hampir mustahil bisa ditemukan di perbankan.

Bagi perusahaan credit rating rasio, mungkin, rasio return on asset (ROA) lebih penting daripada ROE. Secara kasar bisa dikatakan bahwa suatu bank dengan ROA lebih dari 2% sudah merupakan prestasi sangat baik.

Laba juga ditentukan oleh efisiensi biaya operasiona. Analis menggunakan cost to income rasio, yang penghitungannya agak berbeda dengan rasio yang dipakai BI. Patokan untuk cost to income ratio perbankan Indonesia adalah sekitar 50%. Agar bank-bank itu mampu menurunkan rasio biaya tersebut ke bawah 50%, harus ada usaha ekstrakeras untuk mengurangi biaya dan meningkatkan pendapatan. Terus terang, saya tidak melihat ada keberanian bank-bank rekap melakukan langkah drastis seperti itu.

Seberapa penting rasio likuiditas saat ini? Untuk bank-bank rekap, loan to deposit ratio (LDR) tidak bisa mencerminkan tingkat likuiditas bank tersebut. Maklum, sebagian besar kredit sudah dipindahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan digantikan dengan obligasi rekap.

Artinya, untuk bank-bank rekap, bila mau menghitung LDR, kita harus memasukkan komponen obligasi rekap ke dalam pembilangnya (kredit ditambah obligasi rekap dibagi dengan dana pihak ketiga). Bila obligasi rekap kita masukkan, akan terlihat bahwa LDR bank-bank rekap tidak rendah, tapi sudah mencapai 80%-100%.

Saya lebih senang menggunakan rasio net penempatan jangka pendek terhadap dana pihak ketiga untuk melihat tingkat likuiditas suatu bank. Tapi satu hal harus disadari bahwa sebaik-baiknya suatu bank menjaga tingkat likuiditasnya, akan tetap hancur bila bank itu dilanda rumor dan rush. Karena itu, yang terpenting bagi bank adalah menjaga kepercayaan para deposan. (*)

Penulis adalah pengamat perbankan.

Sumber : www.infobanknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar