Kamis, 05 Mei 2011

Mahalnya Sertifikat Halal Para Bankir


Ingat, hancurnya bank-bank di masa lalu karena ulah bankir para bankir yang kurang memahami risiko dan tidak mempunyai kompetensi dalam mengelola bank yang sering dipenuhi risiko: risiko pasar, risiko operasional, risiko reputasi, dan beberapa risiko lainnya. Eko B. Supriyanto

Para bankir wajib punya sertifikat halal yang berlabel sertifikat menajemen risiko (risk management). Ada lima level yang harus diikuti seorang bankir dan ketentuan ini berlaku hingga jenjang direksi. Jadi, bankir sudah seperti malaikat saja, selain harus lolos uji kelayakan dan kepatutan (fit & proper test), ia juga harus punya sertifikat manajemen risiko. Semua ini ditujukan agar para bankir mampu meminimalisasi risiko yang datang secara mendadak, kendati ongkosnya terlalu besar bagi bank-bank.

Semua tahu bahwa industri perbankan merupakan industri yang sarat dengan risiko. Selain mengelola uang masyarakat, bank juga mempunyai tugas menyalurkan kredit. Pendeknya, kegiatan bank, baik dari sisi aktiva maupun sisi pasiva, mengandung berbagai jenis risiko.

Nah, karena banyaknya risiko—seperti risiko pasar, risiko kredit, risiko likuiditas, dan risiko reputasi serta empat risiko lainnya—diperlukan seorang bankir yang ahli dan mampu dalam memandang dan mengantisipasi risiko. Semua itu dimaksudkan untuk menjaga agar banknya tidak jatuh atau minimal dapat mengurangi kerugian yang timbul. Semua pejabat bank, tidak terkecuali, wajib memiliki sertifikasi manajemen risiko.

Menurut Bank Indonesia (BI), sertifikasi mamajemen risiko itu penting untuk menjamin kualitas dan kompetensi yang sama bagi para manajer risiko (risk manager) yang ada pada setiap bank. Lebih jauh, dengan sertifikasi manajemen risiko ini, diharapkan semua manajer risiko yang bekerja pada industri perbankan memiliki persyaratan minimum dan standar kualitas yang sama, baik dari sisi keahlian, kompetensi, maupun pengetahuan tentang manajemen risiko.

Bisa jadi, sertifikasi untuk manajer risiko yang bekerja pada industri perbankan Indonesia bukan lagi dianggap sebagai suatu kewajiban, melainkan sudah dianggap sebagai suatu kebutuhan. Bahkan, harus ada pada setiap orang yang mengemban tugas sebagai manajer risiko pada bank. Ibarat seorang pengacara harus memiliki izin praktik pengacara. Hal yang sama bagi profesi akuntan. Untuk itulah, BI memasukkannya dalam visi Arsitektur Perbankan Indonesia (API).

Perlu diketahui, ujian sertifikasi pertama yang diselanggarakan di Pekan Raya Jakarta (PRJ), Kemayoran, Jakarta, bukan sepenuhnya dilakukan oleh BI, tapi semacam disubkontrakan ke Global Association of Risk Professional bersama Badan Sertifikasi Manajemen Risiko (BSMR), sebuah lembaga bentukan Federasi Perbankan Indonesia dan Indonesia Risk Profesional Association (IRPA).

Tidaklah penting siapa yang menyelenggarakan ujian yang diperkirakan sampai dengan lima jenjang ini. Hanya masalahnya, kualitas ujian, seperti dituturkan para bankir, tidak menyentuh substansi. Materi soal yang berbentuk pilihan ganda (multiple choice) ini lebih banyak bersifat dasar. Contohnya, ada berapa jenis risiko di perbankan, tahun berapa PBI tentang manajemen risiko.

Pertanyaannya, apakah dengan materi ujian seperti itu seorang bankir bisa langsung memahami aspek risiko? Tentu tidak karena memang ujian itu baru tingkat dasar bagi supervisi manajer risiko atau stafnya. Termasuk pula pemimpin cabang, pemimpin divisi, dan wakil pemimpin divisi. Bahkan, kualitas soal tidak sebanding dari materi yang diberikan, baik dalam bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.

Tidak hanya itu. Ujian sertifikasi manajemen risiko ini dinilai oleh sebagian besar bankir sesuatu yang mahal harganya. Hampir seluruh bank mengirimkan orangnya di ujian pertama yang melibatkan 1.700 bankir. Peristiwa ini termasuk dalam rekor dunia karena dalam peradaban bankir sepanjang masa tidak pernah ada ujian sebanyak ini, kecuali di Indonesia.

Wah, berapa banyak uang yang mengalir ke kantong panitia. Kita kalkulasi saja. Semua peserta yang mengikuti ujian tersebut dikenai biaya. Biaya ujian besarnya Rp3,5 juta, lalu biaya pelatihan lebih kurang sebesar US$600. Kalau dibulatkan, jumlahnya mencapai sekitar Rp10 juta per peserta.

Jika jumlah peserta ujian sebanyak 1.700, maka saku penyelenggara akan terisi fulus sekitar Rp17 miliar. Jadi, banyak sekali biaya yang keluar. Itu belum termasuk biaya peserta dari luar kota yang akomodasinya harus ditanggung bank, baik uang saku maupun biaya transportasi.

Anda bisa menghitung berapa biaya yang dibutuhkan untuk mencetak 50.000 bankir. Untuk biaya pelatihan dan pendaftaran saja mencapai Rp500 miliar. Apalagi, sertifikasi manajemen risiko ini tidak hanya satu level, tapi ada lima level yang harus diikuti bankir sampai dengan jenjang direksi.

Tentu tidak semua bankir mengikuti level yang ada. Oke. Taruhlah rata-rata setiap bankir mengikuti tiga level. Untuk ini saja, biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai triliunan rupiah. Ini juga belum termasuk biaya akomodasi dan tranportasi dari bank-bank yang mempunyai cabang di daerah-daerah.

Jadi, inikah bisnis besar bule-bule yang ditelan oleh BI? Tanpa bermaksud mengusik halal tidaknya sertifikasi manajemen risiko, yang jelas, sejumlah bankir sedikit mengeluhkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Soalnya, bukan sekadar biaya pendaftaran dan biaya ujian, melainkan plus akomodasi bagi karyawan yang dari daerah. Sepertinya, bank-bank besar dalam kurun waktu lima tahun ke depan harus menganggarkan biaya sertifikasi bagi karyawannya hingga ratusan miliar rupiah.

Jelas, masalah sertifikasi manajemen risiko ini bukan masalah kecil. Bahkan, bisik-bisik yang terdengar dari kalangan perbankan, biaya untuk sertifikasi ini mencapai 60% sampai dengan 70% dari biaya pendidikan yang harus dikeluarkan bank setiap tahunnya.

Jika hal ini benar, maka biaya sertifikasi manajemen risiko perlu diturunkan agar beban yang harus ditangggung bank tidak terlalu berat. Sebab, di tengah konsolidasi perbankan, tidaklah mudah bank mempertahankan marginnya juga kelancaran kreditnya. Semua tahu, mencari laba sesen saja sangat sulit di zaman sekarang ini.

Harus diakui, beban biaya yang harus ditanggung bank-bank memang cukup berat. Tapi, itulah ongkos yang harus dibayar kalau memang bankir-bankir kita ingin mahir dan paham terhadap risiko yang menghadang. Para bankir harus sadar, risiko besar telah di depan mata.

Ingat, hancurnya bank-bank di masa lalu karena ulah bankir para bankir yang kurang memahami risiko dan tidak mempunyai kompetensi dalam mengelola bank yang sering dipenuhi risiko: risiko pasar, risiko operasional, risiko reputasi, dan beberapa risiko lainnya.

Tapi, apakah dengan selembar sertifikat, lantas bank-bank bebas dari kegagalan? Entahlah. Yang jelas, banyak peserta yang meragukan keampuhan sertifikasi manajemen risiko, yang harganya mahal ini. Apalagi kalau melihat persoalan yang dihadapi para bankir, yang tidak semua bisa diselesaikan dengan cara multiple choice.

Penilaian itu hanyalah pendapat yang belum tentu benar. Semua tergantung dari bankir generasi multiple choice, seperti soal-soal dalam ujian sertifikasi manajemen risiko.

Perbankan kita telah memulai sesuatu yang baik dengan menyelenggarakan sertifikasi halal manajemen risiko. Mereka pun diharapkan akan segera tahu seluk-beluk risiko. Tapi, kenapa harganya mahal, padahal hasilnya belum tentu semahal harganya.

Alangkah bijaknya bila biaya sertifikasi manajemen risiko ini ditekan dan tidak menjadi beban baru bagi perbankan yang kini ditodong dengan konsolidasi dan kredit macet serta penurunan laba akibat badai suku bunga yang tinggi. (*)

Sumber : www.infobanknews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar