Kamis, 14 April 2011

Dicari: Layanan Bank Pembangkit Sensasi


Era service economy dan service excellence sudah berakhir. Era kepuasan pelanggan menjadi ukuran kesuksesan sebuah brand pun tidak cukup lagi. Kini, kita memasuki era experiential economy.
Hermawan Kartajaya

Pelayanan prima (service excellence) bagi nasabah—di luar kinerja dan indikator keuangan, seperti total aset, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR), kredit bermasalah (non performing loans atau NPL), dan (loan to deposit ratio atau LDR)—merupakan faktor yang dijadikan pertimbangan dalam memilih bank. Faktor ini, menurut saya, lebih penting dibandingkan dengan suku bunga dan produk perbankan secara keseluruhan.
Faktor pelayanan, lebih-lebih bagi perusahaan yang bergerak di bidang pelayanan, merupakan penentu kelangsungan hidup perusahaan. Sebuah penelitian yang dilakukan Richard C. Whiteley, dalam bukunya The Customer Driven Company, menunjukkan bahwa lebih dari 65% nasabah pindah dari suatu perusahaan ke perusahaan lain karena faktor service deliver quality. Misalnya, tidak adanya perhatian pribadi (20%), pelayanan yang tidak ramah dan unhelpful (45%), serta masalah produk (30%): 15% masalah price dan 15% lagi karena kualitas produk.


Faktor pelayanan baru menjadi begitu terasa ketika persaingan antarbank kian ketat. Seperti yang terjadi saat ini, ketat dan prudent-nya regulasi perbankan, adanya tekanan internasional untuk mengadopsi praktek good corporate governance, dan standar perbankan internasional semacam Basel II Accord mendorong bank-bank nasional melakukan pembenahan baik dari sisi operasional maupun manajemen risiko.
Ketatnya regulasi tersebut juga berdampak terhadap bank, misalnya dari sisi penyaluran kredit kepada pihak ketiga (lending). Dari sisi funding pun tidaklah mudah bagi bank untuk mendapatkan nasabah, baik untuk produk saving maupun deposito. Sehingga, mau tidak mau, bank-bank harus bersaing ketat dalam memberikan pelayanan agar tetap dapat mempertahankan nasabah lama (customer rentention) dan berusaha menggaet nasabah baru (customer acquisition).
Faktor-faktor itulah yang kini mendorong peningkatan kinerja pelayanan bank-bank nasional pada tahun-tahun terakhir ini. Terbukti pada 2002 dan 2003, berdasarkan survei terbaru yang dilakukan Infobank, bank-bank nasional mampu sejajar dengan bank-bank asing dalam hal palayanan dan kepuasan pelanggan.
Dari sisi pelayanan, mungkin, terdapat perbedaan yang tidak terlampau jauh antara kelompok bank nasional dan bank asing. Begitu pula dengan fasilitas fisik dan standar operasional pelayanannya. Hanya, dalam hal pengembangan dan investasi sumber daya manusia (SDM), kelompok bank asing boleh dikatakan lebih unggul.
Meskipun hasil survei menyatakan demikian, prakteknya tidak demikian. Tidak mudah memetakan persaingan standar pelayanan perbankan yang sesungguhnya. Ada beberapa pertanyaan yang menggoda saya ketika membaca hasil survei tersebut.
Misalnya, apakah hasil survei itu mencerminkan kondisi bahwa kelompok bank nasional lebih unggul dibandingkan dengan bank asing dalam hal pelayanan? Apakah aspek-aspek yang diukur telah mewakili secara keseluruhan standar service excellence?
Dalam memetakan persaingan perbankan dari hal pelayanan, kita hanya bisa mengukur secara eksternal hasil penerapan standar pelayanan suatu bank. Di balik itu semua, secara internal, terdapat banyak aspek yang memang tidak akan tertangkap dalam survei atau pemetaan perbankan. Misalnya, proses pengembangan SDM, pengembangan service culture, dan konsistensi standar pelayanan secara keseluruhan. Karena itu, metode pemetaaan dan ragam aspek yang diukur akan menentukan hasil survei tersebut.
Misalnya, salah satu bank yang mempunyai keunggulan di aspek pengembangan SDM tentu tidak akan tertangkap bila yang diukur bukan aspek tersebut. Demikian pula jika salah satu bank mempunyai keunggulan pada sebuah aspek, tapi aspek tersebut secara pembobotan dan level kepentingan dipersepsi rendah nasabah, sehingga secara rata-rata akan menghasilkan nilai yang relatif lebih rendah.
Menurut saya, metodologi yang diperkenalkan Zeithaml dan Parasuraman dalam bukunya yang berjudul Delivering Quality Service: Balancing Customer Perceptions and Expectations jauh lebih lengkap. Parasuraman dan Zeithaml mendeskripsikan lima dimensi kepuasan pelanggan, yaitu reliability, assurance, tangible, empathy, dan responsiveness.
Tangible adalah kemampuan suatu bank dalam menyediakan fasilitas fisik, peralatan perbankan, petugas bank, dan akses komunikasi, baik untuk keperluan internal maupun nasabah. Reliability adalah kemampuan untuk memberikan pelayanan, seperti janji yang tepat, konsisten, dan akurat.
Assurance adalah pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan pegawai bank untuk dapat dipercaya dan melayani dengan percaya diri. Empathy adalah bentuk pelayanan dan perhatian secara personal yang diberikan bank kepada nasabahnya. Sedangkan responsiveness adalah kemauan untuk membantu nasabah dengan menyediakan pelayanan terdepan.
Namun, ketika semua bank sudah menyediakan pelayanan yang sama, pelayanan tersebut menjadi general. Memuaskan kebutuhan nasabah pun sudah menjadi suatu keharusan.
Karena itu, bank yang ingin keluar dari jebakan pelayanan yang sudah menjadi komoditas tersebut harus menerapkan cara lain. Cara itu adalah experential marketing. Joseph Pine II dan James Gilmore, dua pakar yang merupakan perintis experiential economy, mengidentifikasi bahwa penawaran yang diberikan perusahaan kepada pelanggannya dapat berupa komoditas (commodities), barang (goods), layanan (services), dan pengalaman (experiences).
Sebagai produsen, Anda bisa memilih. Mau menjual komoditas yang memang gampang tapi dengan harga pasar atau mau menjual pengalaman yang harganya premium, walaupun jauh lebih sulit.
Yang menarik dari model tersebut adalah bahwa era service economy dan service excellence—saat barang dan layanan yang bagus sudah cukup untuk memuaskan pelanggan—sudah berakhir. Era kepuasan pelanggan menjadi ukuran kesuksesan sebuah brand pun tidak cukup lagi.
Kini, kita memasuki era experiential economy. Kita tak cukup lagi kalau hanya punya produk dan layanan yang oke. Lebih dari itu, produk dan layanan Anda juga harus mampu membangkitkan sensasi dan pengalaman yang akan menjadi basis loyalitas pelanggan.
Karena adanya pergeseran ini, konsep kepuasan pelanggan kemudian menjadi kurang relevan. Bukan berarti kepuasan pelanggan tak perlu. Justru, kepuasan pelanggan telah menjadi prasyarat pelayanan yang sudah general.
Kalau sebuah bank ingin keluar dari jebakan pelayanan yang sudah general ini, mau tidak mau, mereka harus biasa menransformasi dari pelayanan menjadi experience. Banyak perusahaan yang berhasil menerapkan experience dalam bisnisnya, misalnya Starbuck. Kafe ini tidak hanya sekadar berjualan kopi, tapi menawarkan pengalaman minum kopi yang menyenangkan. Starbuck mengemas ambience minum kopi yang tidak dimiliki kafe lain. Orang jadi tidak peduli berapa harga secangkir kopi yang ditawarkan Starbuck.
Contoh penerapan experience yang lain adalah Hard Rock Cafe. Kafe ini bukan sekadar tempat makan dan nongkrong, melainkan juga menawarkan pengalaman khas yang hanya bisa dijumpai di Hard Rock.
Tentu saja, bank tidak bisa serta-merta mengadopsi gaya Starbuck ataupun Hard Rock Cafe. Tapi, paling tidak, bank bisa meng-customize cara-cara experience sesuai dengan karakter banknya. Tapi penerapan experiential marketing itu harus disesuaikan dengan target nasabah masing-masing bank.
Saya menduga, kecenderungan yang akan datang, layanan perbankan akan makin kompetitif. Fasilitas teknologi informasi (TI), seperti automatic teller machine (ATM), internet banking, dan mobile banking, lama-kelamaan akan menjadi standar. Jor-joran hadiah seperti yang sekarang berlaku akan kian biasa. Begitu juga dengan layanan yang diberikan.
Dengan demikian, kecenderungan yang akan terjadi pun ada dua hal. Satu, bank akan makin meningkatkan pelayanan nasabah ke arah one-to-one marketing. Dua, seperti yang saya kemukakan di atas, mau tidak mau, dunia perbankan akan menerapkan experience marketing. Kalau kecenderungannya sudah mengarah ke situ, orang-orang bank harus belajar pada industri lain, terutama dunia entertaint. Kalau sudah demikian, semboyan experiential economy akan kembali berdengung, ”Work is theatre and every business is a stage.” (*)
Penulis adalah pakar pemasaran.
Sumber : www.infobanknews.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar