Kamis, 14 April 2011

Dukungan Wapres Terhadap Industri BPR/BPRS


Industri BPR/BPRS tengah menghadapi persaingan yang cukup ketat. Dimana saat ini banyak bank umum serta bank asing yang merambah ke ‘pasar’ BPR/BPRS. Pengurus Perbarindo memandang perlu adanya pengaturan dari pemerintah terhadap persaingan tersebut. Guna menyampaikan keinginannya itu, Perbarindo pun melakukan audiensi dihadapan Wakil Presiden Boediono.
Tak lama berselang sejak terpilih menjadi ketua umum Perbarindo, Joko Suyanto dan segenap ‘kabinet’ Perbarindo periode 2010-2014 atau tepatnya tanggal 23 November 2010 menemui Boediono selaku wakil Presiden RI. Bertempat di istana wakil presiden di Jalan Merdeka Selatan No.14 Jakarta.
Dalam kesempatan yang berharga tersebut Tim Perbarindo, ketua umum didampingi antara lain Awet Abadi selaku Dewan Penasehat, Made Arya Amitaba sang wakil Ketua Umum, T Jaya Tarigan Sekretaris Jenderal dan Hiras Lumban Tobing selaku Ketua Bidang Pendidikan. Tidak hanya penasehat dan pengurus Perbarindo, S. Budi Rochadi Deputi Gubernur Bank Indonesia, Edy Setiadi Direktur DKBU Bank Indonesia serta Santoso Wibowo Deputi Direktur DKBU juga mendampingi acara pertemuan tersebut.


Pada pertemuan tersebut suasana begitu cair dan penuh keakraban dengan memperkenalkan pada Wakil Presiden Boediono kepengu-rusan Perbarindo periode 2010-2014. Wapres pun memberikan ucapan selamat kepada pengurus Perbarindo yang terpilih dan mengharapkan agar asosiasi Perbarindo dapat lebih berperan lagi dalam memperjuangkan anggotanya dan ikut menjaga industri BPR/BPRS supaya lebih dapat dipercaya masyarakat.
Wapres juga meminta agar BPR senantiasa meningkatkan kemampuannya untuk dapat berdaya saing dalam melayani masyarakat. “BPR bisa meningkatkan daya saing dalam melayani masyarakat dengan menggunakan pendekatan kultur dan kebutuhan wilayah dimana BPR berada,” papar wapres.
Selanjutnya Wapres juga berpesan bahwa isu pengembangan SDM yang berintegritas tinggi sa-ngat menjadi kunci sentral dalam mengembangkan industri BPR di masa yang akan datang. Oleh ka-renanya Perbarindo diminta untuk lebih memperhatikan program-program pengembangan SDM.
Dalam kesempatan audiensi tersebut, Joko Suyanto, sang Ketua Umum Perbarindo, menyampaikan point-point penting hasil Munas VIII Perbarindo, yang dirangkaikan juga dengan perkembangan industri BPR/BPRS di Tanah Air.
Joko Suyanto membeberkan bahwa hingga September 2010 aset industri BPR meningkat sebesar 14,05 % jika dibandingkan aset Desember 2009 yakni dari Rp 37.554 miliar menjadi Rp 42.832 miliar. Joko Suyanto menjelaskan bahwa peningkatan tersebut masih bisa lebih dimaksimalkan dari angka yang diraih tahun 2010 tersebut, namun dibutuhkan dukungan dari semua stakeholders, guna mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi industri BPR.
Untuk itu, dalam pertemuan yang berlangsung selama satu jam itu terdapat 8 hal, yang juga merupakan hasil penting Munas VIII Perbarindo, yang disampaikan kepada wakil presiden.
Hal pertama yang disampaikan kehadapan wakil presiden terkait dengan era ekonomi kerakyatan maka Perbarindo mendorong pemerintah dapat konsisten dan sungguh-sungguh berpihak kepada pelaku UMKM. Hal ini dimaksudkan guna membangun fundamental perekonomian Indonesia dengan memanfaatkan BPR/BPRS sebagai lembaga intermediasi serta menfasilitasi penyaluran dana program pemerintah.
Selain itu, dalam menghadapi persaingan didunia perbankan dimana banyaknya bank umum serta bank asing yang merambah ke ‘pasar’ BPR, pengurus Perbarindo memandang perlu adanya pengaturan terhadap persaingan tersebut dalam waktu yang secepatnya.
Hal ketiga yang disampaikan kepada mantan Gubernur Bank Indonesia ini adalah mendorong pendirian dan mengoptimalkan lembaga Apex Bank yang sudah berjalan. Hal ini dipandang penting untuk mengatasi kesulitan pengelolaan likuiditas di BPR/BPRS yang disebabkan oleh mismatch.
Perbarindo juga mengharapkan segera merealisasikan lembaga Apex Bank dengan mendorong pemerintah untuk segera mengamandemen pasal 14C dalam Undang Undang Perbankan. Guna mewujudkan perbaikan didalam diri BPR/BPRS Perbarindo akan menerapkan Good Corporate Governance.
Disinggung pula sehubungan dengan RUU pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Perbarin-do mengharapkan BPR/BPRS tidak dipungut biaya apapun oleh lembaga yang bernama Otoritas Jasa Keuangan tersebut. Hal ini karena terbatasnya kemampuan keuangan yang dimiliki BPR/BPRS.
Terkait pengawasan, BPR mengharapkan OJK nantinya memahami karakteristik BPR/BPRS yang berbeda dengan bank umum. Sehingga diperlukan pengawasan tersendiri. Disamping pengawasan OJK juga diharapkan pemerintah melakukan pembinaan terhadap industri BPR/BPRS.
Point ketujuh yang disampaikan, dengan besarnya potensi BPR/BPRS diharapkan pemerintah memberikan mandat secara langsung untuk menyalurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) kepada UKM. Namun fitur dan skim KUR disesuaikan dengan kondisi industri BPR. Hal itu me-ngingat selama program KUR ini di launching oleh pemerintah tahun 2007 posisi BPR hanya berperan secara tidak langsung melalui linkage program bank umum.
Terakhir Perbarindo berharap Peraturan Pemerintah No. 39 tahun 2007 lebih fleksibel sebab peraturan tersebut hanya memperbolehkan pemerintah daerah menempatkan uang negara/daerah pada bank umum/bank sentral. Perbarindo mengharapkan dibukanya peluang penempatan kelebihan uang kas negara/daerah di tempatkan di BPR/BPRS.
Tentunya dengan slogan pemerintah SBY yang pro poor dan pro growth, 8 usulan organisasi BPR/BPRS tadi selaras, sehingga pe-rekonomian nasional tidak lagi bertumpu pada sektor konsumtif namun lebih terdorong oleh usaha kecil menengah dimana BPR menjadi patner strategis sektor UKM yang telah terjalin lama.
Diakhir pertemuan tersebut Wapres Boediono sempat menyampaikan pesan agar BPR mampu menjaga dana masyarakat yang dititipkannya. Karena bila tidak bisa menjaganya akan berakibat sistemik bilamana ada bank sekecil apapun yang bermasalah.
Aziz & Erman

Sumber : www.perbarindo.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar