Kamis, 08 Desember 2011

Perbankan Asia di Tengah Ancaman Krisis Global

Di tengah kinerja perekonomian Asia yang menakjubkan, sektor perbankan di Asia sesungguhnya masih menyimpan berbagai permasalahan. Tata kelola (governance) masih menjadi isu utama. Isu lain adalah meningkatnya kompetisi antarbank. A. Tony Prasetiantono
Kepanikan di sektor finansial disebabkan ambruknya instrumen derivasi berbasiskan kredit perumahan kelas dua (subprime mortgage) di Amerika Serikat (AS) bisa menjadi ancaman serius industri perbankan di seluruh dunia, termasuk Asia. Hingga sekarang, terdapat dua pendapat mengenai dampak kejadian di AS tersebut terhadap perekonomian dunia.
Pendapat pertama mengatakan, insiden ini bisa menjalar ke mana-mana, menyerupai efek domino atau contagion effect, tanpa bisa dibendung. Dunia pernah mengalami hal serupa, tapi kejadiannya sudah sangat lama, yakni ketika kepanikan di sektor finansial (industri perbankan dan pasar modal) pada 1929 merembet ke mana-mana di seluruh dunia. Kejadian tersebut baru bisa reda setelah tujuh tahun, yaitu pada 1936.
Pendapat kedua meyakini, insiden ini bisa dihentikan karena kepanikan kali ini dimulai di New York dan direspons dengan cepat oleh negara yang paling berkepentingan, yaitu AS, didukung sekutu-sekutu ekonominya, seperti Uni Eropa, Jepang, dan Kanada. Ketika negara-negara terkemuka dunia ini berupaya secara all out memerangi krisis, kita pun boleh berharap, hal ini akan efektif.
Dalam sepuluh tahun terakhir, sejak terjerembab dalam krisis pada 1997-1998, sektor finansial Asia telah melakukan serangkaian restrukturisasi secara signifikan. Hal ini juga didukung kinerja perekonomian Asia yang kini berstatus sebagai wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Kontribusi Asia terhadap pembentukan output global kini mencapai 40%, dari sisi perdagangan dunia menyumbang 25%, dan dalam hal penguasaan cadangan devisa mencapai 67%.
Pemilik cadangan devisa terbesar di dunia adalah Republik Rakyat China (RRC), yang kini mencapai US$1.330 miliar. RRC juga menjadi negara yang perekonomiannya tumbuh paling cepat di dunia, yaitu 11,5% (semester pertama 2007), disusul India 9,3% (April-Juni 2007). Angka-angka ini fantastis mengingat kedua negara tersebut memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia, masing-masing 1,3 miliar dan 1,1 miliar.
Fakta tersebut mematahkan anggapan bahwa beban jumlah penduduk yang besar akan menjadi kendala besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hipotesis yang menyatakan bahwa perekonomian kedua negara kepanasan (overheating) sejauh ini juga belum terbukti.
Di tengah kinerja perekonomian Asia yang menakjubkan tersebut, sektor perbankan di Asia sesungguhnya masih menyimpan berbagai permasalahan. Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, dalam ceramah di Bali (22 Agustus 2007), menyebutkan bahwa tata kelola (governance) masih menjadi isu utama, meski kita sudah belajar banyak dari krisis 1997-1998.
Laporan PriceWaterhouseCoopers, Asia Banking Insights: Tackling the key issues in banking and capital markets in Asia (Maret 2007), juga menyebutkan hal yang lebih kurang sama tentang isu ini.
Disclosures atau keterbukaan dalam laporan keuangan dalam industri perbankan akan menjadi fondasi utama bagi terbentuknya tata kelola yang kuat (strong governance). Bank-bank di Asia diharapkan terus didorong menyampaikan segala informasi yang bersifat material (signifikan) dalam aksi korporasinya (corporate actions), yang akan berdampak tertentu terhadap kinerjanya. Termasuk adalah informasi mengenai pengelolaan manajemen risiko (risk management).
Isu lain yang penting dalam industri perbankan Asia adalah meningkatnya kompetisi antarbank. Hal itu, antara lain, dapat disaksikan dari penentuan suku bunga yang makin volatile. Persaingan melalui suku bunga menjadi hal yang lazim. Di satu sisi bisa mendorong intermediasi dana dari sektor perbankan ke sektor riil; di sisi lain, persaingan suku bunga yang terlalu hebat juga bisa membawa dampak negatif, misalnya menurunnya tingkat kesehatan bank. Akibatnya, sekarang, banyak bank yang menghadapi kendala dalam memenuhi persyaratan permodalan sebagaimana diatur dalam Basel II Accord.
Apa yang dialami negara-negara Asia ini sebenarnya merupakan ulangan dari pengalaman Jepang. Fenomena “gelembung busa sabun” dalam perekonomian (bubble economy) Jepang sudah berhenti sejak satu dasawarsa silam. Perekonomian sudah sulit tumbuh (pertumbuhan nyaris nol alias zero growth). Suku bunga juga mendekati nol persen. Dalam kondisi ini, perbankan Jepang juga mengalami stagnasi. Implikasinya, Jepang harus melakukan berbagai upaya merger dan akuisisi agar terjadi pertumbuhan dalam industri perbankannya.
Dalam kasus industri perbankan RRC, hal yang menarik adalah dominasi perbankan pemerintah yang masih sangat kuat di tengah-tengah gelombang liberalisasi di negara itu yang sudah berjalan cukup jauh. Dominannya perbankan pemerintah dinilai rawan terhadap risiko. Dalam situasi demikian, sulit diharapkan bahwa pengambilan keputusan bisa semata-mata dilandaskan pada kepentingan bisnis. Pengambilan keputusan sulit dipisahkan dari kepentingan-kepentingan nonbisnis (berarti kepentingan politik), yang melibatkan pemerintah (pusat dan daerah) maupun partai politik.
Dengan atau tanpa krisis, upaya (1) mendorong governance, (2) memperkuat struktur permodalan, serta (3) melakukan pertumbuhan nonorganik melalui akuisisi, merger, dan konsolidasi merupakan agenda paling utama dalam industri perbankan di Asia. Yang menarik, meski banyak analisis sering mengkhawatirkan perekonomian RRC—yang disebut-sebut bisa mengalami hard landing karena perekonomiannya “terlalu panas” (overheating)—sejauh ini kekhawatiran itu tetap belum terbukti. Banyak ulasan yang bermuara pada simpulan bahwa perekonomian RRC tumbuh terlalu cepat—kini 11,5% dan harus diturunkan ke level 8% hingga 9%—belum juga menemukan muara pembuktiannya.
Di industri perbankan RRC masih sulit dibayangkan bahwa peran pemerintah akan berkurang melalui privatisasi karena tampaknya, pemerintah RRC masih cukup enjoy dengan situasi sekarang. Kalaupun dugaan para analis benar bahwa perbankan RRC menyimpan bom waktu karena persoalan governance, pemerintah RRC sebenarnya juga pernah berpengalaman. Solusinya adalah melakukan suntikan modal (rekapitalisasi) yang didanai cadangan devisa. Kini, cadangan devisa yang terbesar di dunia (US$1,33 triliun) tentu mengakibatkan Pemerintah RRC lebih percaya diri lagi.
Meski begitu, menjadi tugas seluruh dunia untuk meyakinkan Pemerintah RRC bahwa mereka tidak boleh terlalu percaya diri dan underestimate terhadap peringatan-peringatan yang dilontarkan banyak analis. Dalam hal pertumbuhan ekonomi, jika mereka terus menggenjotnya di level tinggi seperti sekarang, demand terhadap energi akan terus meningkat drastis. Harga minyak dunia sudah melampaui US$81 per barel. Jika ini berlanjut, seluruh dunia, termasuk RRC, akan terancam inflasi. Risikonya, demand terhadap produk-produk RRC pun bisa menurun. Dalam keadaan ini, bukankah perekonomian seluruh dunia akan terkoreksi?
Sudah saatnya, pemangku otoritas perekonomian dunia mendiskusikannya secara intensif dan terbuka agar dapat menghindari krisis ekonomi yang meluas dan mendalam. Pemangku otoritas ekonomi RRC harus mau duduk dan memilah masalahnya dengan pemangku otoritas negara-negara besar lain. Krisis ekonomi dunia hanya bisa dielakkan bila “dikeroyok” secara kolektif. Negara-negara Asia harus ambil bagian penting, terutama RRC. (*)

Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM).

Sumber : Infobank

Tidak ada komentar:

Posting Komentar