Senin, 14 November 2011

Berbank di Mal, Kenapa Tidak?

Membaca tren yang terjadi di antara pengunjung mal, bank perlu makin memperhatikan mal sebagai lokasi distribusinya. Bank juga perlu mempelajari aktivitas pengunjung yang makin beragam agar bisa mendesain kantor dan layanan yang pas untuk para pengunjung dan sekaligus nasabah itu. Harry Puspito

Area mal di Jakarta diperkirakan mencapai lebih dari 2,5 juta meter persegi. Dalam dua tahun, sebuah media memrediksi akan terjadi lonjakan area mal hampir satu juta meter persegi atau hampir 40% dari area sekarang. Ini adalah sebuah angka yang spektakuler mengingat occupancy rate mal, akhir-akhir ini, baru mencapai 76,3% dan cenderung menurun. Bisa dibayangkan bila mal-mal baru itu dibuka. Di sisi lain, situasi ekonomi negeri ini tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan, sehingga daya beli masyarakat bergeming.

Tak heran jika saat ini disinyalir banyak mal yang sepi pengunjung. Kalaupun ada yang ramai, itu kebanyakan terjadi pada akhir pekan. Pada hari-hari biasa, khususnya Senin, kebanyakan lengang. Beberapa mal baru sangat sepi pengunjung, termasuk pada akhir pekan. Bahkan, ada mal yang sudah tutup. Seperti, Sudirman Palace di daerah berprestise, segitiga emas Jakarta atau Jalan Sudirman. Padahal, mal tersebut baru beroperasi tujuh bulan.

Itu yang terjadi pada tingkat industri. Bagaimana dengan para pengunjung yang disuguhi mal-mal baru dengan segala kemewahannya itu? Apa yang terjadi dengan para pengunjung mal? Ini adalah pertanyaan yang penting untuk dijawab secara akurat. Sebab, di satu sisi, risiko untuk nimbrung berbisnis di mal akan makin besar, sedangkan di sisi lain, peluang-peluang yang tercipta juga bisa luar biasa besar, baik bagi mal itu sendiri maupun berbagai sektor tenant.

Namanya saja shopping mall atau shopping center. Tentu, pusat-pusat belanja ini didirikan untuk melayani para pembelanja yang membutuhkan berbagai produk dan layanan. Dengan mengumpulkan berbagai retailer di satu tempat, pengelola mal berusaha melayani kebutuhan-kebutuhan pembelanja dan mendapatkan bisnis dari pengelolaan malnya itu.

Namun, adanya persaingan yang keras di bisnis permalan tentu membuat pengelola mal harus berpikir keras. Mereka harus bisa memosisikan malnya di mata konsumen dan menciptakan wow factors yang kuat untuk menarik kehadiran pengunjung. Misalnya, adanya keunikan dalam penampilan dan sarana, strategi tenant mix tertentu yang pas untuk target pasar yang disasar, dan penyelenggaraan event-event tertentu.

Perkembangan mal yang luar biasa memang menarik perhatian berbagai pihak. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Sebuah media bahkan menyimpulkan bahwa pengelola mal harus mendefinisi ulang apa sebenarnya peran mal. Sebab, sekarang, banyak hal yang bisa dilakukan seseorang di mal di luar shopping, misalnya, makan siang dan bekerja di kafe-kafe yang ada. Bersosialisasi atau meeting dengan kolega atau klien juga bisa dilakukan di mal. Tidak hanya itu. Mal, khususnya kafe, juga bisa dijadikan tempat belajar para mahasiswa.

Bahkan, banyak anak muda yang datang ke mal untuk sekadar berolahraga di klub fitness yang ada di tempat itu. Anak-anak sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah pertama (SMP) juga banyak yang suka jalan-jalan dan mampir di photo box untuk berfoto bersama. Pada akhir pekan, kita bisa lihat, banyak bioskop di mal yang dipadati penonton.

Lalu, bagaimana dengan bank dan automatic teller machine (ATM)? Ternyata, pelbagai ATM bank yang ada di mal juga ramai dikunjungi nasabah. Bank pun silih berganti melakukan promosi, menawarkan berbagai layanan mereka, seperti kartu kredit, rekening tabungan, dan berbagai kredit.

Perlu pembaca ketahui, di antara pengunjung mal, ternyata, banyak juga yang tidak berbelanja. Sekalipun berbelanja, sebatas barang-barang kecil yang mereka ingat dan butuhkan. Tentu, masih cukup banyak yang betul-betul datang untuk berbelanja, baik kebutuhan sehari-hari, seperti groceries, maupun produk fesyen.

Bagaimana sesungguhnya tren yang terjadi di mall societies? Untuk mengetahui hal ini, tentu, perlu dilakukan sebuah kajian yang lebih mendalam dan bersifat kuantitatif.

Marketing Research Indonesia (MRI) memiliki bacaan seperti ini di Jakarta dari riset “Mall Shopper Habits” yang diselenggarakan setiap dua tahun. Setiap survei, MRI mewawancarai sekitar 500 pengunjung mal dari kelas AB. Bacaan di antara semua pengunjung mal terakhir adalah dari 2005. Sedangkan, pada 2006, survei secara khusus mempelajari pembelanja dari etnis Cina. Selain itu, penulis mendapatkan akses sejumlah data yang menarik dari Roper’s Report dari GfK yang mempelajari tren-tren perilaku konsumen di dunia, termasuk Indonesia.

Survei yang dilaksanakan GfK itu mewawancarai laki-laki dan perempuan berusia 13 tahun ke atas dari enam kota besar di Indonesia dengan mengambil 70% segmen yang di atas dalam hal sosial ekonomi. Sedangkan, di banyak negara maju, survei dilaksanakan di antara semua kelas sosial ekonomi.

Survei GfK itu menunjukkan, sekitar satu dari empat (23%) remaja dan dewasa “berbelanja” di sebuah mal tertutup dalam satu bulan terakhir. Sedangkan, hampir semua orang dewasa di Jakarta adalah pengunjung mal dalam 12 bulan terakhir.

Walau ada perbedaan waktu, dapat diperkirakan, jumlah pengunjung mal jauh lebih banyak daripada jumlah pembelanja di mal. Dengan demikian, bisa disimpulkan, pada masa sekarang, sangat banyak (mungkin mayoritas) pengunjung mal memiliki tujuan lain saat berkunjung ke mal dibandingkan dengan berbelanja. Dengan kata lain, mayoritas pengunjung mal tidak berpikir belanja ketika mereka mengunjungi mal.

Sudah sejak lama, mayoritas pengunjung mal menyambangi mal sebagai sebuah rekreasi. Hal ini bertahan hingga sekarang. Tapi, ada sejumlah tren di antara mereka yang menarik dicermati, walau mayoritas pengunjung mal masih menikmati waktu-waktu berbelanjanya dan jumlah pengunjung mal cenderung menurun dalam kurun waktu survei. Artinya, makin banyak yang kurang menyukai kegiatan shopping. Kemungkinan, hal itu berhubungan dengan kesibukan konsumen yang makin tinggi, sehingga mereka tidak bisa lagi menghabiskan waktunya untuk kegiatan shopping.

Tren menarik lain adalah sekarang makin banyak pengunjung mal yang mengunjungi mal untuk sekadar berbelanja (dari 15% pada 2001 hingga 45% pada 2005). Itu adalah tren yang berbeda dengan sekelompok pengunjung mal lain yang mengunjungi mal bukan lagi untuk berbelanja, melainkan untuk berbagai kegiatan lain.

Tampaknya, situasi juga mengakibatkan kian banyak pengunjung mal yang suka mengunjungi mal-mal baru (dari 31% menjadi 45%). Bisa jadi, hal itu disebabkan mereka bosan dengan mal yang biasa mereka kunjungi. Mereka pun mencoba mal-mal baru. Tak heran jika banyak mal baru saat pertama kali buka dipenuhi pengunjung. Tapi, kalau mal-mal baru itu tak hati-hati, tidak berapa lama kemudian juga akan sepi pengunjung.

Ketika pengunjung mal ditanya, mereka mengklaim, berbelanja masih merupakan kegiatan utama mereka di mal. Ini memang agak bertentangan dengan pengamatan sepintas dan simpulan di atas. Bisa jadi, memang, pengunjung selalu berbelanja “sesuatu” ketika mereka mengunjungi sebuah mal. Tapi, mungkin, kegiatan belanja ini makin bukan yang utama bagi mereka, melainkan merupakan sesuatu yang sekalian mereka lakukan saat mereka punya aktivitas lain di mal. Mayoritas naik dan turun, tapi masih banyak yang melakukan kegiatan window shopping. Artinya, lihat-lihat saja.

Tren yang spektakuler terjadi di mal pada tahun-tahun terakhir ini adalah kegiatan makan. Angkanya melonjak dari 7%, 26%, menjadi 80%, akhir-akhir ini. Mulanya, bisa jadi, pengunjung juga makan di mal. Tapi, bagi mereka, itu merupakan kebutuhan sekunder ketimbang belanja. Tapi, sekarang, tampaknya, sangat banyak yang datang ke mal benar-benar untuk makan, entah siang entah malam.

Satu hal menarik, pengunjung mal mengklaim, mereka melakukan transaksi-transaksi perbankan melalui cabang bank (10%) dan bahkan lebih banyak lagi yang melakukannya melalui ATM (24%)—yang pada tahun-tahun sebelumnya tidak disebutkan mereka.

Akhir-akhir ini, memang, bank tambah aktif masuk ke mal-mal dengan membuka cabang. Lebih-lebih menempatkan ATM masing-masing. Sejumlah bank bahkan membuka kantornya di mal-mal pada akhir pekan. Beberapa bank juga banyak yang menawarkan layanannya dengan melakukan promosi dan penjualan di mal-mal, seperti kartu kredit, rekening tabungan, dan layanan electronic channel (e-channel).

Bisa jadi, kegiatan pemasaran bank yang agresif di mal merupakan salah satu trigger makin meningkatnya kesadaran kegiatan berbank di mal, akhir-akhir ini. Kebutuhan akan uang tunai saat pengunjung mal berbelanja tentu mendorong mereka pergi ke ATM dan cabang bank.

Namun, tren ini bisa juga sejalan dengan perubahan kebiasaan pengunjung mal yang melakukan banyak kegiatan nonbelanja di mal. Sedangkan, mereka memang mencari mal di lokasi yang strategis dan aman yang cocok untuk letak bank atau ATM yang mereka butuhkan. Membaca tren yang terjadi di antara pengunjung mal, bank perlu makin memperhatikan mal sebagai lokasi distribusi mereka. Bank-bank juga perlu mempelajari aktivitas pengunjung yang makin beragam agar bisa mendesain kantor dan layanan yang pas untuk para pengunjung dan sekaligus nasabah itu. (*)

Penulis adalah Managing Director PT Marketing Research Indonesia (MRI).

Sumber : Infobank

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus